Di balik suami yang sibuk mencari nafkah, ada istri tak tahu diri yang justru asyik selingkuh dengan alasan kesepian—kurang perhatian.
Sementara di balik istri patuh, ada suami tak tahu diri yang asyik selingkuh, dan mendapat dukungan penuh keluarganya, hanya karena selingkuhannya kaya raya!
Berawal dari Akbar mengaku diPHK hingga tak bisa memberi uang sepeser pun. Namun, Akbar justru jadi makin rapi, necis, bahkan wangi. Alih-alih mencari kerja seperti pamitnya, Arini justru menemukan Akbar ngamar bareng Killa—wanita seksi, dan tak lain istri Ardhan, bos Arini!
“Enggak usah bingung apalagi buang-buang energi, Rin. Kalau mereka saja bisa selingkuh, kenapa kita enggak? Ayo, kamu selingkuh sama saya. Saya bersumpah akan memperlakukan kamu seperti ratu, biar suami kamu nangis darah!” ucap Ardhan kepada Arini. Mereka sama-sama menyaksikan perselingkuhan pasangan mereka.
“Kenapa hanya selingkuh? Kenapa Pak Ardhan enggak langsung nikahin saya saja?” balas Arini sangat serius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Sudah Ada Rasa Sayang
“Kalau kayak gini caranya, mending lapor polisi saja. Takutnya kembali terulang. Bentar, ... aku telepon polisi dulu,” ucap Ardhan berangsur menyudahi gandengan tangannya dari Arini. Karena seperti niatnya, ia akan langsung menghubungi polisi.
“Di sini sinyalnya bagus,” lirih Ardhan ketika melihat layar ponselnya dan mendapati lambang sinyal dalam keadaan penuh.
“Asal jangan masuk rumah. Kalau masuk rumah, sinyalnya langsung hilang,” ucap Arini yang masih bertahan di sebelah sekaligus di hadapan Ardhan. Detik itu juga, apa yang ia katakan membuat kedua mata Ardhan menatapnya.
“Demi apa pun, bahkan walau hanya di dalam mimpi, aku enggak pernah membayangkan apalagi berharap, bisa sedekat ini. Dia bosku, dan ... semua mata selalu akan silau jika melihatnya. Lihatlah, tidak ada yang tidak kagum kepada pak Ardhan. Pesona Pak Ardhan mengalahkan ketajaman golok ja gal milik bapak mertua,” batin Arini. Dunianya seolah berhenti berputar hanya karena tatapan kedua mata Ardhan kepadanya dan terasa sangat dalam.
Berbeda dari biasanya, tatapan Ardhan kali ini memang berbeda, dan Ardhan juga menyadarinya. “Entah kenapa, ... lihat dia lari-lari dikejar orang bawa golok kayak tadi, ... jantungku seolah nyaris copot,” batin Ardhan yang memang menatap dalam kedua mata Arini. Mendadak, mata maupun hatinya jadi sendu hanya karena ia begitu mengkhawatirkan Arini.
Ardhan tak mau Arini terluka. Rasa itu terjadi karena baginya, Arini sudah menjadi bagiannya. Arini akan menjadi pasangannya. Status mereka sudah ‘semu pacaran’.
“Jangan sampai kenapa-kenapa lah ... Arini memang bukan siapa-siapa, tapi orangnya seru banget!” batin Ardhan yang lanjut menghubungi polisi menggunakan ponselnya.
Ardhan akui, Arini sudah mulai membuatnya nyaman. Karena andai tidak, tak mungkin ia khawatir dan jantungnya seolah nyaris copot ketika melihat Arini dalam bahaya. Andai Ardhan tidak sayang Arini, tak mungkin Ardhan bertaruh nyawa demi mengamankan Arini. Tadi, Ardhan nekat mengejar Arini agar calon istrinya itu tidak terluka karena golok ibu Minah.
“Arini memang lain dari yang lain. Bukannya berlindung kepadaku, dia justru melarangku dekat dia agar aku enggak terluka,” batin Ardhan sudah berbicara dengan polisi. Akan tetapi, kedua matanya tetap sibuk mengawasi Arini.
Arini menemui Marini yang berdiri di teras sambil menatap Arini penuh emosi. Tatapan tajam, wajah kesal, juga kedua tangan bersedekap, menyertai Marini. Berbeda dengan Arini, Marini tak sampai berhijab, selain Marini yang juga sampai menor.
“Maksud kedatanganku ke sini bukan buat pulang, Mbak. Alasanku ke sini murni buat meminta restu karena aku akan menikah lagi. Mbak sudah lihat kan, siapa calonnya? Mbak pasti kenal, apalagi tampaknya, Mbak sudah tahu detail kejadian yang menimpaku. Ya walau ... pada kenyataannya, Mbak tetap menyalahkan aku. Aku paham, Mbak. Aku paham keadaan Mbak!” santai Arini benar-benar tenang.
“Saat dengan Akbar saja, mas Joko suamimu enggak ada apa-apanya, Mbak. Sementara yang sekarang, ... yang sekarang itu Pak Ardhan. Siapa sih, yang enggak kenal pak Ardhan?” Arini tersenyum lembut merayakan kemenangannya. Kemenangan karena ia tetap menjadi wanita tangguh, sesakit apa pun luka sekaligus keadaan yang menimpanya. Tanpa terkecuali, luka terbesar dalam hidupnya dan justru berasal dari orang-orang terdekatnya. Orang-orang yang selama ini Arini urus sekaligus nafkahi.
“Tentunya, aku bukan Killa yang katanya orang kaya, orang berpendidikan, tapi cara pikir sekaligus seleranya m u r a h a n!”
“Disakiti termasuk oleh pasangan, ya cari gantinya yang levelnya lebih tinggi. Karena harga diri maupun kualitas seseorang, dilihatnya dari cara pikir dan prestasinya, kan, Mbak?”
“Jujur, ... aku kecewa banget saat Mbak justru menyalahkanku. Siapa yang selingkuh. Siapa yang jadi korban. Siapa yang disalahkan. Bisa-bisanya Mbak begitu. Ya ... siap-siap saja sih Mbak. Semoga suami Mbak enggak sampai main g i l a seperti mas Akbar.”
“Jaga ucapanmu, Rin!”
“Aku dan mas Akbar saling mencintai. Tidak ada adegan percobaan b u n u h diri agar aku dinikahi. Yang saling mencintai saja, bisa selingkuh. Apa kabar yang ada unsur p a k s a a nnya?” Arini tetap santai walau sang kakak yang menjadi lawannya, sudah kelabakan.
“Ya sudah kalau gitu ... kalau gitu, bawa dan urus Ibu! Gantian kamu yang urus, apalagi sekarang kamu dapat suami kaya!” murka Marini.
“Siapa takut! Enggak dapat suami kaya saja, aku sanggup urus, apalagi sekarang? Alasanku selama ini enggak bisa urus Ibu dan hanya kasih uang semampuku kan memang murni kamu enggak mau aku di sini. Kamu sengaja tahan ibu di sini agar kamu punya alasan buat dapat rumah dan tanah ini. Namun Mbak jangan lupa, dulu aku yang sekolahin Mbak! Dulu aku sempat kasih makin Mbak! Biasa saja ya, Mbak! Aku enggak doyan ke mas Joko kamu! Dia yang cinta mati ke aku!” Saking muaknya, Arini sengaja menabrak tubuh sang kakak ketika lewat di hadapannya.
“Sssttt!” kesal Marini yang kemudian meringis menahan sakit di bahunya akibat ditabrak Arini.
Arini menghampiri sang ibu yang tengah duduk ditemani dua ibu-ibu. Di kursi kayu yang ada di sana, ibu Yati tengah sesak napas. Dua ibu-ibu di sana, menjaganya sambil mengipasinya menggunakan kipas anyaman bambu atau yang warga setempat sebut ‘ilir’.
“Bu ... ayo kita ke rumah sakit.” Arini bukanlah orang yang akan menitikkan air matanya di hadapan orang yang ia sayangi, khususnya sang ibu. Susah payah Arini menahan air matanya untuk tidak mengalir, bahkan meski sang ibu sibuk menangisinya dan itu membuat perasaannya hancur.
“Enggak usah, Rin. Ibu enggak mau terus-menerus ngerepotin kamu.”
“Ibu enggak usah berpikir begitu. Gimana Ibu bisa sembuh kalau pikiran Ibu saja dipenuhi pikiran sama beban. Sudah, cukup santai saja. Ibu itu sudah tua, sudah saatnya Ibu menikmati hidup!” Setelah mengelap asal air mata sang ibu, Arini yang jadi sangat lemah lembut, berangsur merangkul sang ibu.
Niatnya Arini akan memapah sang ibu. Namun Arini mendadak merasa sakit luar biasa di punggung kepalanya. Hingga yang ada, Arini tak jadi memapah sang ibu.
“Kok kepalaku sakit banget, ya?” batin Arini yang kemudian meraba bagian punggung kepalanya yang sakit.
Arini langsung melotot syok. Sebab bagian yang sakit justru ia rasa lembek mirip jelly. “Kepala kok gini? Oalah ... pasti ini yang tadi kena palu ... ya ampun ... ini aku enggak amnesia apalagi sampai diamputasi. Diamputasi kepalanya sih gimana,” lirih Arini yang memang jadi panik.
“Assalamualaikum ...?” sapa Ardhan yang menatap canggung Marini.
Karena belum mengenal Marini, Ardhan bergegas menyalaminya. Orang keren, ganteng, dan makin ganteng karena Ardhan diketahui sebagai orang kaya, masuk rumah ibu Yati. Semua mata makin menatap takjub Ardhan. Sebab selain tampan sekaligus kaya, Ardhan juga tak segan bertukar sapa kemudian menyalami warga di sana.
“Mirip mbahnya ... mbah Kalandra. Itu ke situ, rumahnya mbah Arum kan.” Silih berganti, warga di sana dan memang berdatangan hanya untuk bertemu dengan Ardan, berkomentar.
Ardhan mengangguk-angguk sambil tersipu. Untungnya, warga di sana tidak ada yang membahas kelakuan Killa dan Akbar, selaku alasan hubungannya dan Arini ada. Semuanya kompak membahas hal-hal baik mengenai keluarga besar Ardhan, dan mereka bilang menempel juga pada sosok Ardhan. Dikata mereka, sopan santun sekaligus sikap merakyat Ardhan, sangat mirip dengan kakek nenek, maupun orang tua Ardhan yang terkenal sangat baik. Orang kaya yang sangat baik, dermawan, tepatnya.
Bertepatan dengan mas Joko yang keluar dari dapur kemudian menjadi bagian dari kebersamaan di ruang keluarga yang ramai. Akhirnya Ardhan juga sampai di sebelah Arini. Detik itu juga Arini mengabarkan keadaan kepalanya, selain Arini yang berniat memboyong sang ibu ke klinik.
“Ibu harus uap biar enggak sesak, Pak!” sergah Arini serius.
“Oh ... bentar. Ini katanya pak Saiman sudah dekat. Bentar lagi pasti sampai. Ya sudah siap-siap. Apa yang perlu dibawa? Bawa KTP saja, keperluan lain gampang. Bawa ke klinik mama saja!” sigap Ardhan yang buru-buru menyalami ibu Yati dengan takzim.
“Ya ampun ... ke calon mertua kok lupa,” batin Ardhan langsung jaim. Namun, ia agak kaget ketika Arini menggandengnya kemudian membawanya kenalan dengan pria yang Arini sebut “mas Joko”.
Bersambung ....
(Bismillah, semoga retensi aman. Semoga pembaca yang belum baca segera nyusul. Soalnya, kak Ojan saja belum muncul biar gelud sama papa Azzam dulu 🤲💪💙)
ayo up lagi
batal nikah wweeiii...
orang keq mereka tak perlu d'tangisi... kuy lah kalean menikah.. 🤭🤭🤭🤭🤭🤣🤣🤣