Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Mereka saling menatap, tatapan dengan sorot penuh luka di hati masing-masing.
Sungguh bukan seperti ini keinginan Pamungkas. Dia ingin sang istri menyerah dan kembali dalam pelukannya.
Namun Nur tetap keras kepala menurutnya. Dia yakin suatu saat Nur akan menyesali keputusannya, dan tak lama dia pasti akan memohon agar bisa kembali padanya.
Nur bangkit berdiri. Memcoba tegar dengan segala keputusan sang suami.
"Baiklah Mas, tolong talak aku sekarang," ucap Nur dingin.
"Nur enggak Nur! Jangan seperti ini, aku ngga bisa, lebih baik aku yang mundur!" sela Sisil meraih tangan Nur.
Nur tetap bergeming, dia tak akan mau lagi luluh dengan semua bujukan dan tipu daya Pamungkas serta Sisil.
"Mas tolong, aku ngga mau menikah sama kamu, kita batalkan rencana kita, tolong jangan berpisah dengan Nur karena aku Mas!" pinta Sisil mengiba.
Pamungkas membuang napas, tentu saja dia bimbang. Semuanya semakin bertambah kacau.
"Hentikan Sil, biarkan saja. Kita lihat sejauh mana dia bisa bertahan hidup!"
"Tak usah banyak bicara Mas, cepat talak aku!" sela Nur muak.
Pamungkas merasa geram karena desakan Nur yang seolah-olah terus merendahkan harga dirinya.
"Baiklah jika itu maumu Nur. Nur Bahira binti Abdullah, dengan ini saya menjatuhkan talak satu padamu, saya bebaskan kamu dari kewajibanmu sebagai seorang istri!" ucap Pamungkas tegas.
Air mata dari ketiga perempuan di sana luruh seketika. Namun yang aneh, meski sakit entah kenapa ada sudut hati Nur yang merasa lega.
Amanda dan Sisil yang mendengar Pamungkas menjatuhkan talak pada Nur tak kuasa ikut menangis. Bahkan Sisil justru yang paling histeris. Aneh memang, tapi begitulah keadaan saat itu, entah apa yang dia rasakan.
"Terima kasih Mas, hari ini juga aku akan pergi," ucap Nur pelan.
"Jangan bawa apa pun selain pakaian lusuhmu, semua harta ini sudah kau sepakati untuk tak di bagi bukan? Jadi tunjukan padaku omongan besarmu itu!"
Nur mengepalkan tangannya dan menatap sang suami dengan sinis.
"Makanlah semuanya mas. Kamu tahu aku punya Tuhan yang akan selalu menjagaku. Ingat saja, Dia tidak tidur, setiap kesakitan dan ketidak adilan yang aku rasakan, aku bersumpah kau akan mendapatkannya juga suatu saat!" ucap Nur mengutuk.
"Kamu menyumpahiku Nur?" cibir Pamungkas.
"Kamu enggak akan seperti sekarang andai saja kamu bisa merawat diri. Kamu membosankan, bahkan tak bisa menyenangkanku sebagai seorang suami."
Nur tak menggubris hinaan sang suami. Dia benar-benar tak mengenal Pamungkas lagi. Dulu lelaki itu begitu memujanya dan memperlakukannya dengan sangat baik.
Namun kini, mulutnya sangat busuk hingga tega menghinanya di depan anak dan sahabatnya.
"Kamu memiliki seorang ibu dan kakak perempuan, jangan sampai karmamu menimpa mereka!"
"CUKUP! SEBAIKNYA KAMU PERGI SEKARANG!"
Lagi-lagi Pamungkas tak terima keluarganya di bawa-bawa. Jujur saja dia takut akan semua ucapan Nur dan Ridho akan terjadi.
Nur segera berlalu dari sana menuju kamarnya. Tak lama Amanda menyusulnya.
"Mah, jangan seperti ini kenapa mamah tega—"
"Cukup ka, maafkan mamah, kalau kamu enggak bisa ikut mamah sekarang enggak papa. Memang sebaiknya kamu ikut papah. Suatu saat kalau mamah sudah berhasil mama akan jemput kakak dan adek ya."
Amanda menggeleng, dia tak mau kehilangan peran kedua orang tuanya. Sang ayah sangat bisa di andalkan secara materi dan ibunya bisa merawat dirinya dan sang adik dengan baik, lantas bagaimana kelak jika Nur pergi meninggalkan mereka.
Amanda tak sanggup membayangkannya.
Setelah berhasil memasukkan pakaiannya dalam koper, Nur bergegas keluar kamarnya, tak lupa dia juga berpamitan kepada Amanda.
"Jaga diri kakak baik-baik, tolong jaga adek juga nanti mamah akan sering-sering jenguk kalian," ucap Nur dengan air mata menetes.
Di ruang keluarga, Pamungkas masih menenangkan Sisil. Hati Nur sudah kebas melihat pemandangan menyakitkan itu.
"Kamu yakin tak ada barang mewah milikku yang kamu bawa?" ucap Pamungkas mengintimidasi.
"Kamu benar-benar ba*ji*ngan ya Pamungkas. Kukira selama hampir dua puluh satu tahun kita bersama kamu tahu bagaimana aku. Pantang bagiku untuk mencuri, meski itu semua adalah hakku!"
Pamungkas tersentak mendengar Nur menghina dirinya dengan panggilan yang sangat menyakitkan.
Tak pernah sekalipun sang istri membentak apa lagi melawan ucapannya.
Namun kini, Nur dengan lantas mengatakannya ba*ji*ngan, suatu panggilan yang sangat-sangat buruk menurutnya.
"Aku pergi, jangan lupa lekas urus perceraian kita. Kirim surat itu ke rumah Zahra."
Pamungkas terdiam. Hatinya benar-benar sakit mendengar panggilan Nur padanya.
Apa sebegitu sakitnya hati kamu Nur?
Meski tak menyangkal jika sang istri berubah karena dirinya. Namun Pamungkas tetaplah gengsi mengakui kesalahannya.
"Nur!" panggil Sisil hendak mencegah kepergian sahabatnya, tapi segera di cegah oleh Pamungkas.
"Biarkan dia pergi," ucap Pamungkas sendu.
"Kamu benar-benar keterlaluan Mas, tega kamu mengatakan hal itu sama Nur? Apa kamu lupa sama perjuangan dia?"
.
.
.
Lanjut