Blokeng adalah seorang pemuda berusia 23 tahun dengan penampilan yang garang dan sikap keras. Dikenal sebagai preman di lingkungannya, ia sering terlibat dalam berbagai masalah dan konflik. Meskipun hidup dalam kondisi miskin, Blokeng berusaha keras untuk menunjukkan citra sebagai sosok kaya dengan berpakaian mahal dan bersikap percaya diri. Namun, di balik topengnya yang sombong, terdapat hati yang lembut, terutama saat berhadapan dengan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Pesta Pora di Room Karaoke
Setelah merasa penat dengan segala kejadian yang ia alami belakangan ini—mulai dari tersangkutnya semangka di tenggorokan hingga insiden jatuh terpeleset dan tertimpa masalah bertubi-tubi—Blokeng merasa butuh pelampiasan. Ia pun memutuskan untuk melepas lelah dengan pergi ke tempat karaoke yang terkenal di ujung kota. Tempat itu dikenal sebagai "Room Happy" oleh warga sekitar, terkenal dengan suasana seru dan suasana yang “membebaskan.”
Blokeng masuk ke dalam dan langsung memilih sebuah room yang agak besar. Dengan tatapan penuh antusias, dia memanggil seorang PL, pemandu lagu, yang tampak menawan dan berpakaian menggoda. Si PL, bernama Rina, tersenyum manis, langsung menghampiri Blokeng dengan anggun. Blokeng merasa semangatnya terisi kembali, dan tanpa berpikir panjang, ia segera memesan sebotol minuman untuk memulai pesta.
Lagu pertama mulai diputar, dan suara Blokeng yang serak-serak basah menggema di dalam room, diiringi tawa dan tepuk tangan Rina. "Mas, suaranya keren juga!" goda Rina sambil tersenyum menggoda.
Blokeng tertawa lepas, merasa bangga dengan pujian itu. "Haha, gue mah emang punya bakat nyanyi yang nggak biasa, Mbak Rina! Kalo nyanyi bisa bikin cewek-cewek pada klepek-klepek."
Dengan nada menggoda, Blokeng melirik Rina dari ujung kaki hingga kepala. "Eh, Rina, kamu kok mulus banget sih. Pasti perawatan ya? Wah, yang begini nih bikin pusing!"
Rina hanya tertawa kecil dan mencubit lengan Blokeng. "Ih, Mas ini ada-ada aja. Mulus biasa aja kok, cuma suka ngerawat diri biar enak dipandang," katanya dengan mata menggoda, ikut larut dalam suasana riang.
Sambil menenggak minuman yang sudah ia pesan, Blokeng terus melanjutkan pesta poranya. Minuman mulai membuatnya mabuk, dan ia mulai makin berani menggoda Rina dengan candaan-candaan yang semakin liar. Rina hanya menanggapi dengan senyum dan sesekali menampar ringan pundak Blokeng saat dia mulai bercanda kelewat batas.
"Nih, nih, coba nyanyi bareng gue!" kata Blokeng sambil menyodorkan mikrofon kepada Rina. Mereka pun bernyanyi bersama, suara mereka saling bertumpuk dalam lantunan lagu. Di sela-sela lagu, Blokeng menggoda Rina tanpa henti, membuat suasana semakin riuh.
"Lah, Rina, kamu nggak takut nih deket-deket gue? Jangan-jangan ntar malah nempel terus!" goda Blokeng, tertawa dengan gaya khasnya.
Rina ikut tertawa, meskipun ia tetap menjaga batas profesionalitasnya. "Tenang aja, Mas. Saya udah biasa digodain. Tapi kalo Mas yang ngegodain sih beda, bikin ketawa terus," katanya sambil menatap Blokeng dengan tatapan tajam.
Pesta kecil itu terus berlanjut hingga akhirnya Blokeng mulai merasa berat di kepala. Mabuk, namun masih menikmati momen bersama Rina di dalam room karaoke itu. Meski begitu, di balik pesta pora yang ia rasakan, Blokeng sesekali merenung dalam hati, merasa kesepian di tengah hiruk-pikuk. Namun ia menepis perasaan itu, dan kembali bernyanyi seolah ingin melupakan segala keresahannya untuk sementara waktu.
Malam itu, Blokeng benar-benar menikmati waktunya, larut dalam kegilaan yang hanya ia pahami sendiri.
Sambil mulai terhanyut oleh efek minuman yang sudah berputar-putar dalam tubuhnya, mata Blokeng makin liar mengamati Rina, si pemandu lagu. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari kemulusan paha Rina yang terlihat dari balik gaun pendeknya. Blokeng berusaha menjaga sikap, tapi dalam hatinya, sudah mulai ngiler melihat sang PL yang tampil begitu memikat.
Dengan nada canda, Blokeng mendekat sambil tersenyum iseng. "Rina, kenapa sih kamu mulus banget, udah kayak porselen," katanya sambil tertawa. Ia berharap godaan itu terdengar seperti candaan biasa, meski tatapannya menunjukkan hal yang lebih.
Rina hanya tersenyum, menanggapinya dengan gaya yang profesional, tapi tetap manis. "Ah, Mas Blokeng ini ada-ada aja. Mulus ya biasa aja, Mas, kan harus jaga penampilan," sahutnya sambil tertawa kecil, mencoba mengalihkan suasana.
Blokeng makin mendekat, rasa mabuk membuatnya semakin berani. Tangannya secara refleks bergerak seakan ingin menyentuh, tapi buru-buru ia menarik kembali, menyadari batas-batas yang ada. “Eh, sorry, sorry, kebawa suasana,” katanya setengah tertawa, mencoba membuat semuanya terdengar ringan.
Rina menanggapinya dengan senyum ramah, dan segera mengalihkan perhatian dengan menawarkan mikrofon. "Nyanyi lagi yuk, Mas! Biar makin seru."
Blokeng, meski dalam hatinya masih penasaran, menerima mikrofon itu dan kembali bernyanyi. Namun, matanya sesekali tetap melirik ke arah Rina, menikmati suasana dengan cara yang ia sendiri tidak bisa jelaskan. Pesta kecil di room karaoke itu pun terus berlanjut, Blokeng tenggelam dalam euforia sesaat, diiringi tawa dan tatapan mata yang penuh godaan.
Blokeng, yang sudah hampir kehilangan kendali karena mabuk, semakin berani. Ia mencoba membuat suasana semakin liar dengan menawarkan minuman pada Rina. “Ayo, Rina, sekali-sekali biar kamu ikut ngerasain senengnya,” katanya sambil menyodorkan segelas minuman padanya.
Rina, yang tampak ragu, hanya tersenyum sopan sambil menolak, “Nggak ah, Mas Blokeng, aku kan di sini kerja. Lagian nggak biasa minum gitu.”
Namun, Blokeng, yang sudah kehilangan banyak kesadaran karena alkohol, tidak mengerti atau tidak peduli. Ia tetap menawarkan gelasnya. “Ayo lah, Rina, biar kamu lepas dikit. Tenang aja, nggak bakal kenapa-kenapa!” katanya memaksa, dengan tatapan yang semakin intens.
Rina akhirnya tertawa kecil sambil tetap menolak, tetap menjaga sikap profesionalnya. Melihat kegigihannya, Blokeng akhirnya menghentikan paksaan itu dan tertawa sendiri, merasa kalah namun masih menikmati suasana. Ia mengalihkan energinya kembali ke pesta, menyanyikan lagu keras-keras dengan penuh semangat dan tanpa kendali. Di sisi lain, Rina tampak lega karena Blokeng akhirnya menyerah, namun tetap mencoba bertahan dengan senyum.
Suasana room karaoke itu terus berlangsung dalam kekacauan yang diwarnai nyanyian Blokeng yang sumbang namun penuh semangat. Meski tidak berhasil dengan rencananya, ia tetap merasa puas menikmati malam itu dengan caranya sendiri.
Blokeng dan Rina berada di dalam room karaoke yang sepi, hanya berdua saja. Semua sudah teratur, minuman di meja, dan lagu-lagu favorit sudah diputar. Rina, si pemandu lagu (PL), tampak ceria, dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Blokeng yang duduk santai di kursi menatapnya dengan cermat, senang bisa menghabiskan waktu berdua dengan Rina. Malam itu terasa berbeda dari biasanya.
Rina tampak lincah, menguasai mikrofon dengan penuh percaya diri. Blokeng yang sedang menatapnya, tak bisa menahan sedikit geli di dalam hatinya. Senyum nakalnya terlihat, tapi dia memilih untuk diam sejenak, menikmati musik dan suasana.
"Enak banget nih nyanyi berdua aja, ya?" kata Blokeng, sambil menyodorkan gelas minuman kepada Rina.
Rina tertawa, menerima gelas tersebut. "Iya, Blokeng. Biasanya ramai, jadi lebih seru kalau cuma kita berdua. Kita bisa nyanyi lebih bebas," jawab Rina, matanya menyiratkan keceriaan yang tulus.
Blokeng hanya mengangguk dan menyesap minumannya. Tapi tak lama, dia merasakan suasana semakin intim. Terlebih, Rina tampaknya semakin santai. Tak hanya nyanyi, dia juga sesekali menyelipkan obrolan ringan di antara lagu-lagu yang mereka nyanyikan bersama.
"Blokeng, kamu suka banget ya karaoke?" tanya Rina, menyipitkan matanya dengan sedikit penasaran.
"Iya, aku suka. Tapi lebih suka kalau sama kamu, sih," jawab Blokeng dengan sedikit bercanda.
Rina terkekeh, tidak menjawab langsung. Dia melanjutkan bernyanyi, namun matanya sesekali melirik Blokeng, terlihat geli dengan komentar yang baru saja dilontarkan. Blokeng pun makin menggoda dengan melihat gerakan tubuh Rina yang lincah mengikuti irama lagu.
Namun, sesaat setelah Rina selesai bernyanyi, suasana berubah sedikit lebih serius. Rina menaruh mikrofon ke meja dan berdiri, berjalan ke sisi meja yang lain. "Aduh, Blokeng... aku harus ke kamar mandi nih," katanya sambil melangkah cepat ke pintu. "Tunggu sebentar, ya?"
Blokeng mengangguk sambil tersenyum. "Iya, nggak masalah. Cepetan ya, Rina."
Rina melangkah pergi dengan cepat, sementara Blokeng duduk kembali, menunggu dengan sabar. Beberapa menit berlalu, namun rasa kesendirian sedikit terasa. Blokeng mulai melirik ke pintu, menunggu Rina kembali. Suasana karaoke yang semula ceria kini terasa sedikit sepi, hanya ada suara musik dan lampu-lampu yang bersinar redup di ruang tersebut.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Rina masuk kembali, namun kali ini ekspresinya tampak sedikit berbeda. Dia terlihat cemas, matanya melirik ke arah Blokeng.
"Eh, lama banget, Rina. Ada apa?" tanya Blokeng, penasaran melihat perubahan ekspresi Rina.
Rina tersenyum canggung. "Aduh, maaf. Tadi ada sedikit masalah di luar," jawabnya, lalu duduk kembali. "Tapi nggak apa-apa, kita lanjut nyanyi, ya?" Dia mengangkat gelasnya, mencoba mengalihkan perhatian.
Blokeng menatapnya sejenak, merasakan ada yang aneh dengan sikap Rina. Namun, dia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. "Ayo, kita lanjut. Malam ini seru kok," jawab Blokeng dengan santai.
Rina menyarankan lagu baru, dan mereka pun kembali bernyanyi bersama. Kali ini, suasana terasa lebih akrab, meski ada sedikit ketegangan yang terbangun di antara mereka. Rina dan Blokeng tetap menikmati waktu bersama, dengan tawa yang sesekali meledak di tengah-tengah nyanyian mereka.
Namun, saat tengah asyik bernyanyi, Blokeng kembali merasa ada hal yang mengganggu pikirannya. Dia melihat Rina dari sudut matanya, dan matanya sedikit terfokus pada gerakan tubuhnya yang semakin santai. Blokeng merasa geli, tapi juga sedikit tertarik.
Rina, yang sudah melihat tatapan Blokeng, tersenyum nakal. "Apa, Blokeng? Kenapa kamu lihat aku terus?" tanya Rina sambil menggoda.
Blokeng tersenyum dan mengangkat bahu. "Nggak ada apa-apa. Kamu sih emang keren," jawabnya sambil tersenyum lebar.
Rina tertawa kecil. "Ih, kamu ini, bikin malu aja," katanya, sembari menyodorkan gelasnya kepada Blokeng. "Ayo, kita cheers dulu, terus lanjut nyanyi!"
Blokeng mengangguk, lalu mereka bersulang bersama, menikmati malam yang semakin larut. Meskipun malam itu mereka berdua saja di room karaoke, kedekatan antara mereka semakin terasa. Tidak ada yang mendominasi, tidak ada yang merasa canggung. Semua terasa ringan, penuh canda tawa, dan sedikit kekonyolan di antara mereka.
Malam itu, waktu berjalan cepat, penuh dengan cerita, tawa, dan sedikit perasaan yang mulai berkembang. Tetapi, siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya?
Di tengah kegembiraan mereka yang terus berlanjut, Rina tiba-tiba berhenti sejenak dan memegang perutnya. Wajahnya tampak sedikit berubah, menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan.
"Blokeng, aku... kebelet ngising nih," ujar Rina dengan ragu sambil memegang perutnya.
Blokeng yang mendengarnya langsung tertawa ringan, tidak menyangka kalau dalam suasana yang begitu santai, Rina bisa merasa seperti itu. "Hahaha, ya udah cepat aja, jangan ditahan-tahan, nanti malah nggak enak."
Rina tersenyum malu-malu, dan langsung bergegas menuju kamar mandi. Blokeng hanya bisa menggelengkan kepala, masih terhibur dengan kejadian yang baru saja terjadi.
Sambil menunggu, Blokeng memutuskan untuk memutar lagu lain, menikmati momen sejenak dengan suasana kamar karaoke yang semakin sepi. Ketika dia melihat ponselnya, tiba-tiba dia mendapat pesan dari teman lama yang ingin bertemu, namun dia lebih memilih melanjutkan waktu dengan Rina di room karaoke.
Tak lama kemudian, Rina keluar dari kamar mandi, terlihat sedikit lebih santai. "Aduh, lega banget," kata Rina sambil tertawa kecil.
Blokeng mengangguk, "Hahaha, enak ya bisa keluar dari situ, pasti lebih nyaman."
Rina duduk kembali dan mengambil gelas minumnya. "Ayo, lanjut karaoke lagi, Blokeng. Malam masih panjang," ajaknya, kembali dengan semangat yang sama.
Mereka pun kembali melanjutkan malam itu dengan canda tawa, meskipun ada sedikit kejadian yang membuat Rina merasa canggung, namun suasana tetap hangat dan penuh dengan keceriaan.
Setelah beberapa jam berlalu, suasana di dalam room karaoke semakin santai. Blokeng dan Rina mulai merasa kelelahan, tetapi tetap menikmati waktu yang ada. Meskipun Blokeng sempat agak mabuk, ia masih bisa berbicara dengan lancar. Rina, sebagai pemandu lagu, tetap terlihat profesional meskipun ia juga ikut terhibur dengan suasana yang lebih santai malam itu.
Blokeng yang sedikit kehilangan kendali akhirnya memutuskan untuk menghentikan sesi minumannya dan mulai mengingat waktu. "Udah larut, Rina. Aku harus pamit nih," kata Blokeng sambil menatap jam di tangannya.
Rina, yang sudah mulai bersiap untuk beristirahat, mengangguk. "Iya, Blokeng. Jam segini memang udah lama. Terima kasih sudah ngajak aku, seru juga malam ini," jawab Rina, tersenyum.
Blokeng menepuk-nepuk kantong celananya, memastikan uang dan barang-barang pribadinya ada. Setelah membayar tagihan, ia berbalik kepada Rina. "Eh, makasih ya, Rina. Kapan-kapan kita main lagi, ya, tapi mungkin yang lebih santai aja."
Rina tertawa kecil. "Iya, boleh. Kapan-kapan kita bisa ngobrol santai aja tanpa minum-minum," jawabnya sambil membereskan beberapa benda yang ada di atas meja.
Blokeng mengangguk dan melangkah menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi dan berkata, "Hati-hati di sini, ya. Jangan terlalu capek."
Rina tersenyum dan melambaikan tangan. "Tenang aja, Blokeng. Aku biasa kok. Semoga selamat sampai rumah ya."
Blokeng mengangguk, melangkah keluar dari room karaoke dengan langkah ringan. Ia merasa sedikit lega setelah malam yang cukup lama dan seru. Sebuah malam yang membantunya melupakan beberapa beban, meski hanya sementara. Sesampainya di luar, udara malam terasa sejuk, dan ia tahu saatnya untuk pulang dan beristirahat.
Dengan langkah pelan, Blokeng melangkah menuju jalan utama, meninggalkan tempat itu dengan perasaan campur aduk. Mungkin ini bukan pertemuan terakhirnya dengan Rina, dan siapa tahu, suatu saat mereka akan bertemu lagi dalam keadaan yang berbeda.