Di tolak tunangan, dengan alasan tidak layak. Amelia kembali untuk balas dendam setelah delapan tahun menghilang. Kali ini, dia akan buat si tunangan yang sudah menolaknya sengsara. Mungkin juga akan mempermainkan hatinya karena sudah menyakiti hati dia dulu. Karena Amelia pernah berharap, tapi malah dikecewakan. Kali ini, gantian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*16
Tuan muda yang satu ini cukup menakutkan sebenarnya. Hanya saja, wajahnya terlalu tampan dan tubuhnya terlalu bagus untuk menjadi pertimbangan. Mana latar belakangnya sangat menjanjikan lagi.
Jadinya, se menakutkan apapun dia, tetap saja dia jadi incaran. Meskipun dia tidak pernah terlihat senyum. Tidak pernah terlihat tertawa. Selalu berwajah dingin seolah tidak pernah bahagia. Tidak ada yang mempertimbangkan hal itu tentang dia. Karena wajahnya sudah terlihat sempurna tanpa harus mengukir senyum sebagai pemanis.
....
"Nona muda, bagaimana rencana anda untuk kembali ke keluarga Racham? Apa masih berjalan sesuai dengan yang telah anda rencanakan?"
Pertanyaan Esti langsung mengalihkan perhatian Melia. Dia yang awalnya sibuk dengan laptop, kini langsung mengangkat wajahnya untuk melihat wanita tersebut.
"Sebenarnya, aku ingin kembali lebih cepat dari yang telah aku rencanakan. Tapi, karena kejadian kemarin, aku membatalkan niat ku untuk memajukan waktu kembali. Aku akan pulang sesuai jadwal yang telah aku katakan padamu waktu itu."
"Baiklah kalau gitu, berarti, nona akan kembali dalam satu minggu lagi?"
"Katakan, apa saja yang harus saya persiapkan, Nona muda?"
Melia tersenyum manis.
"Tidak ada, Esti."
"Hah? Tidak ada, nona? Apa nona yakin?"
Wajah kaget dari perempuan itu langsung mengundang tawa kecil dari Melia. Tentu saja, tawa tersebut lagi-lagi menambah rasa bingung yang ada dalam hati Esti.
"Nona muda. Ada apa? Kenapa anda tertawa?"
"Tentu saja aku menertawakan dirimu, Esti."
"Bagaimana bisa kamu bertanya aku mau mempersiapkan apa. Karena aku sudah menyiapkan semuanya sejak lama."
Melia bangun dari duduknya.
"Perusahaan keluarga Racham adalah hasil kerja keras kakek ku. Tapi, papa ku yang menjalankannya. Namun, papa yang tidak punya perasaan malah membahagiakan wanita simpanan dan anak tidak sahnya dengan hasil jerih payah kakek. Sedangkan anak kandungnya dia abaikan. Jadi, aku rasa, sudah waktunya dia diberikan pukulan. Jadi, aku sudah siapkan sejak lama hal itu, Es."
Melia yang sebelumnya membelakangi Esti, sekarang memutar tubuh untuk melihat wanita tersebut. "Jadi, aku pulang sekarang tidak akan memperlihatkan apapun yang aku miliki. Aku akan pulang dengan tangan kosong. Aku akan melihat mereka bahagia terlebih dahulu. Barulah setelahnya, aku akan buat mereka tidak berdaya di tanganku."
"Nona muda sangat menakutkan ternyata. Lebih menakutkan dari yang aku bayangkan."
"Kamu bisa aja, Es. Aku tidak akan semenakutkan sekarang jika aku tidak terluka sebelumnya."
"Sepertinya, aku harus berterima kasih pada mereka yang sudah menyakiti diriku dulu. Tanpa ulah mereka, aku pasti tidak akan jadi seperti sekarang."
"Nona bisa aja. Cara berterima kasihnya dengan balas dendam, bukan?"
"Kamu ini yah."
"Hm."
Keduanya terlihat sangat dekat jika hanya berduaan saja. Mereka tidak terlihat seperti ketua dan bawahan kalau bukan di depan anggota yang lain, atau saat tidak sedang membahas pekerjaan. Tapi sebaliknya, mereka akan terlihat sebagai teman atau bahkan sebagai saudara jika mereka sedang berbicara hal pribadi berdua.
Esti yang juga datang dari keluarga yang hancur itu tentu saja bisa memahami perasaan Melia dengan sangat baik. Karenanya, mereka bisa sangat dekat seperti saat ini. Saling menguatkan, saling menjaga, juga saling mendukung satu sama lain. Memang, yang lebih memahami perasaan itu adalah orang yang sama-sama datang dari keadaan yang sama, bukan?
Di sisi lain, Citra sedang mengadu pada mamanya tentang perlakuan Ricky padanya. Dia pun meminta sang mama untuk memikirkan cara agar Ricky segera menikahkan dia. Dengan cara itu, dia akan bisa berkuasa meski Ricky tidak memberikan hati padanya.
Sementara itu, Ricky sendiri sedang sibuk dengan kebahagiaan yang masih tidak pasti. Dia yang seharusnya beristirahat di rumah, eh ... malah pergi ke kantor tanpa bisa Fendi tahan.
"Tuan muda yakin mau berangkat ke kantor hari ini? Bagaimana kalau kondisi anda semakin memburuk, tuan muda?"
"Aku tahu apa yang sedang tubuhku rasakan, Fendi. Tidak perlu cemas."
"Tapi-- "
"Jalan saja. Yang memberikan perintah di sini aku, bukan?"
"Iy-- iya, tuan muda. Ba-- baiklah."
"Tapi, bagaimana kalau kita tunggu dokter Resta datang dulu, tuan muda. Dia bilang, dia pulang gak lama 'kan?"
"Atau, gini saja. Saya hubungi dokter Resta sekarang, tuan muda. Biar dia tahu kalau tuan muda tidak ada di kediaman."
Tatapan lekat Ricky berikan.
"Tidak perlu, Fendi."
"Jalan sekarang!"
"A ... iy-- iya. Ba-- baiklah kalau begitu."
"Jalan sekarang, pak!" Fendi memerintahkan sopir menjalankan mobil.
Mobil itupun akhirnya meninggalkan halaman kediaman Amerta. Perjalanan beberapa waktu, akhirnya, mereka tiba di kantor.
Sebenarnya, Ricky masih merasa tubuhnya belum pulih dari pukulan yang dia terima. Luka dalam itu sangat kuat ternyata. Beberapa di rawat dengan sangat baik saja masih tidak cukup untuk memulihkan dirinya. Karenanya, dia lebih memilihkan mengabaikan rasa nyeri yang sesekali dia rasakan ketika tubuhnya bergerak.
Di kantor pribadi miliknya, dia duduk bersandar kan diri di kursi belakang meja. Suasana hening, tangan Ricky langsung meraih laci di samping tempat dirinya duduk.
Laci itu dia buka, sebuah bingkai foto langsung dia keluarkan dari dalam sana. Matanya menatap bingkai foto tersebut dengan binar terang. Manik mata bahagia sedang terlihat.
Tangan Ricky ringan menyentuh bingkai foto tersebut. Lalu, membelainya dengan penuh kasih.
"Aku tahu, kamu pasti sedang sangat marah padaku. Semua tidak akan terjadi jika bukan karena aku. Maafkan aku, kamu pantas marah."
Belum juga sempat Ricky selesai bicara, Fendi malah datang tiba-tiba. Masuk tanpa mengetik pintu terlebih dahulu sambil memperlihatkan wajah cemas.
"Tuan muda. Sistem perusahaan kita di serang lagi."
Sontak, kedatangan Fendi sedikit mengejutkan Ricky. Gegas, dia menarik laci untuk menyimpan bingkai foto yang sebelumnya dia lihat.
"Apa yang terjadi sebenarnya?"
"Hacker itu menyerang sistem kita dengan brutal. Saat ini, data perusahaan pinggiran telah hilang, tuan muda."
"Sial! Itu adalah data yang paling penting untuk kita pertahankan."
Ricky bergegas melihat laptopnya. Benar saja, sistem perusahaan mereka sedang di serang. Tapi, kali ini, dengan sistem yang berbeda. Dia berusaha keras untuk melakukan pertolongan agar data perusahaannya tidak hilang lebih banyak lagi.
Usaha itu ternyata berhasil. Kelihatannya, hacker yang ini memang bukan hacker yang biasanya menyerang perusahaan mereka. Jadinya, kebolehan yang dia miliki masih bisa ia andalkan.
"Selidiki penyerang kita kali ini, Fendi. Sepertinya, itu bukan orang yang sama dengan yang sebelumnya."
"Maksud, tuan muda?"
"Kita diserang oleh orang lain sekarang?"
"Selidiki saja dulu. Aku sendiri tidak yakin sebenarnya. Tapi, jika itu orang yang sebelumnya, usaha ku untuk mencegah tidak akan berhasil. Tapi kali ini, aku bisa mencegahnya. Aku yakin, dia pasti bukan orang yang sama dengan yang sebelumnya."
Fendi pun ikut yakin sekarang. Dia segera melakukan apa yang Ricky perintahkan padanya. Dan, benar saja, penyerang mereka kali ini memang bukan orang yang sebelumnya. Itu orang yang berbeda.
"Sudah aku duga. Kali ini orang yang berbeda datang menyerang sistem perusahaan kita."
"Tapi, meskipun begitu, orang ini cukup kuat karena mampu menembus sistem pertahanan perusahaan ku. Cukup kuat untuk dijadikan lawan."