Semua itu karena rasa ego. Ego untuk mendapatkan orang yang dicintai, tanpa berfikir apakah orang yang dicintai memiliki perasaan yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
"Ada banyak kejutan, tetapi kejutan yang paling mengejutkan adalah ketika ku tahu kamu masih menyimpan photo masa lalumu."
Aku dan Mas Adam sudah siap-siap, hendak berangkat ke rumah orang tua mas Adam. Mas Adam menyetir mobil dengan kecepatan sedang, ia tak banyak bicara begitu juga dengan aku.
"Pokoknya kita harus terlihat sebagai pasangan normal lainnya," ujarnya setelah sekian lama kami berdua membisu di dalam mobil ini.
Aku mengangguk setuju, "iya mas" ujarku singkat.
Setelah Berjam jam berada di dalam mobil, akhirnya kami pun sampai di rumah orang tua Mas Adam.
"Tunggu..." mas Adam menghentikan ku saat aku hendak membuka pintu mobil. Aku menatap mas Adam aneh.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kita sedang bersandiwara jadi pasangan umumnya, jadi kamu jangan turun, biar aku yang bukain pintu. Tunggu..." Ujar mas Adam, langsung bergegas keluar dari pintu. Dan membukakan pintu mobil untukku. Wajar saja ia bertindak demikian, sebab ibu dan ayahnya sudah berdiri di teras, dan menatap ke arah mobil.
Perlahan lahan aku pun keluar dari mobil rasanya tak enak jika Adam terpaksa harus membukakan pintu mobil ini untukku.
"Gandeng tanganku..." bisik mas Adam, memberikan tangannya untukku. Aku pun dengan sigap meraih tangannya.
"Jangan lupa tersenyum, dan bersikap manis," bidiknya lagi, aku pun terseyum. Orang tua Adam ikut membalas senyumku dan Adam.
"Ehhh, anak dan mantu ibu sudah sampai. Ayo masuk, kalian pasti capek kan selama perjalanan, ibu sudah masakin makanan di meja makan" ujar Bu Minah ramah, seraya meletakkan tangannya di punggungku.
*****
Di meja makan
"Bagaimana perjalanannya, menyenangkan atau gimana? Jalanan macet tidak?" tanya Bu Minah kepadaku antusias. Saat ini kami sedang menyantap masakan Bu Minah yang rasanya enak sekali.
"Alhamdulillah menyenangkan Bu, jalanan tidak begitu macet Bu." Ujarku seraya tersenyum.
"Alhamdulillah kalau begitu" ujar Bu Minah.
"Oh ya Bu, masakan ibu enak banget, nanti Zara mau lah di ajarin sama ibu," ujarku memuji masakan Bu Minah.
"Ah kamu bisa aja Zara. Ini memang masakan suami kamu, Adam. Nanti ibu ajarin ya," ujar Bu Minah tersenyum ramah. Aku dengan kikuk menatap ke arah Kak Adam, yang juga menunduk dengan kikuk seraya menyendok kan nasi ke mulutnya.
"Oh ya, kalian rencananya bulan madu ke mana?" tanya Bu Minah, aku semakin bingung mau jawab apa. Untungnya tatapan Bu Minah kini beralih dariku menuju putranya 'adam'
"Ehemmm" mas Adam berdehem, mungkin ia juga bingung mau jawab apa.
"Untuk itu, belum kami rencanain Bu, nanti sepulang dari sini mungkin kami akan mulai membahas ke mana baiknya kami berbulan madu." Jawab mas Adam, aku hanya menunduk mendengarkan mulutnya berkata kata. "Iya kan Dek Zara?" Lanjut mas Adam. Ah, ternyata ia tak mau terperangkap sendiri tanpa melibatkan aku.
"Iya Bu, yang di katakan oleh Mas Adam adalah benar adanya," sahutku ragu. Aku tak enak jika berbohong begini.
"Baguslah, kalian harus cepet cepet kasih ibu dan ayah cucu. Biar ramai" ujar ibu Minah, aku hanya balas tersenyum.
******
"Kita tidur se kamar?" Tanyaku ragu, khitanan anak kakak sepupu mas Adam akan digelar besok pagi. Jadj sebelum ke rumah kakak sepupu Mas Adam, kami memilih untuk menginap di rumah orang tuanya Adam. Kemudian besok pagi kami akan berangkat bersama.
Kak Adam tak menyahut apapun, ia tampak sangat kelelahan, dan langsung saja merebahkan tubuhnya ke atas kasur empuk miliknya semasa ia masih lajang dan tinggal di rumah ini.
"Kak, ini serius kita tidur se kamar?" tanyaku lagi. Aku masih dalam posisi berdiri. Ku lihat mas Adam yang tadinya memejamkan mata, kini membuka matanya lebar lebar dan melihatku.
"Kita memang tidur se kamar tapi tida sekasur, kamu boleh tidur di sofa, atau di mana saja, terserah. Dan aku akan tidur di kasur" enteng sekali mas Adam berkata demikian, di mana mana laki laki yang tidur di sofa atau di lantai, dan perempuan tidur di kasur. Sungguh tidak memuliakan wanita sekali.
"Bagaimana kalau di balik, mas Adam yang tidur di sofa dan aku yang tidur di atas ranjang," ujarku seraya melipat tanganku di atas dada.
"Heii kau ini, nih bantalmu, jangan banyak protes" ujarnya seraya melemparkan sebuah bantal papan ke padaku. Kemudian dia berbaring miring, menguasai seluruh tempat tidur. Mengesalkan sekali.
Aku pun memilih mengalah dan berbaring di atas sofa.
Ruangan ini hening, sepertinya mas Adam sudah tenggelam dalam mimpi mimpinya. Aku menatap wajah mas Adam dari kejauhan, rasanya masih belum menyangka bisa menatapnya sedekat ini. Aku mengalihkan pandanganku ke seluruh isi kamar, tak terasa aku tersenyum sendiri. Membayangkan dulu semasa lajang mas Adam banyak menghabiskan waktunya di kamar ini. Dan malam ini, bukan hanya mas Adam yang ada di sini tetapi ada aku juga.
Ada perasaan bangga dan senang karena saat ini aku resmi menjadi milik mas Adam.
Besok aku dan mas Adam sudah kembali ke rumah kami, jadi rasanya sangat sayang sekali jika aku tidak melihat lihat lebih jelas apa saja isi di dalam kamar kak Adam ini.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, tetapi itu tidak menyurutkan semangatku untuk mengecek isi kamar kak Adam.
Aku beranjak dari sofa, mula mula aku mengamati lukisan alam di dinding. Estetik sekali. Ada lukisan pantai, hutan, dan pemandangan langit. Ternyata selera kami dalam hal lukisan sama juga ya. Aku sangat suka lukisan alam bertema senja atau berlatar langit malam, dan lukisan yang terpajang di kamar kak Adam juga adalah lukisan yang berlatar senja dan langit malam.
Setelah itu aku beralih ke furniture yang ada di kamar ini. Lemari dengan ukiran khas itali, guci antik di sudut kamar, dan ada pula kaca rias tak jauh dari tempat tidur. Aku beranjak ke arah sana. Meja ini memang sudah kosong, tak ada lagi apa apa, ya wajar saja namanya juga empunya sudah tidak tinggal di sini lagi.
Iseng iseng aku membuka laci meja rias ini, dan ternyata tidak di kunci. Dan ternyata isinya sama saja, kosong. Tidak. Aku menemukan sebuah bingkai photo yang di letakkan terbalik. Aku mengambil bingkai itu, dan melihat, photo siapa itu. Ada sedikit rasa cemburu di hatiku, tat kala melihat photo seorang wanita berpose mesra dengan mas Adam, mereka menyunginggkan senyum bahagia.
Di bawahnya ada tulisan, yang bertulis "Cinta Sampai jannah-Nya. Tiada bidadari lain di hatiku, selain dirimu. Selia"
Aku sudah tahu ini sebelum menikah, tetapi rasanya masih saja sama. Sakit. Aku sakit melihat photo Mas Adam bersama wanita yang ku tebak bernama Selia ini. Tetapi, lebih sakit lagu ketika aku membaca tulisannya.
"Apa yang kamu lakukan dengan photo itu!" Aku terkejut, ketika mas Adam merampas begitu saja dengan kasar photo itu dari tanganku. Mas Adam tampak sangat marah, ku kira ia sudah tertidur pulas, entah ia terbangun atau dia hanya pura pura tidur. Aku tidak tahu. Yang pasti aku sangat ketakutan saat ini. Takut kak Adam marah, sebab aku sudah lancang membuka laci meja riasnya.
"Maaf mas, tadi aku tidak..."
"Apa... Tidak apa... Sopankah membuka laci meja rias orang lain tanpa seijin dari si pemiliknya?" mas Adam memotong perkataanku.
"Aku tidak bermaksud untuk membukanya, tetapi..."
"Ahhh, sudahlah... Kamu harus ingat kesepakatan kita dari awal. Jadi, tolong jangan mengusik terlalu jauh kehidupanku." Ujarnya, seraya memeluk photo tersebut, dan membawanya tidur, tanpa memperdulikan ku yang masih berdiri menatapnya. Sebegitunya kah dia mencintai wanita itu? Rasanya sakit sekali, haruskah aku menyerah saat ini juga? Tapi bagaimana dengan orang tuaku, mereka pasti sangat malu jika pernikahan seumur jagung ini harus kandas begitu saja.
Aku berjalan dengan kaki gemetar ke arah sofa, tempat tidur ku. Baru saja kami berlakon layaknya suami istri di hadapan orang tua. Dan saat ini pula, Mas Adam membentakku dengan semena-mena. Apakah aku tak ada harga dirinya di hadapannya? Apakah aku hanya bernilai keset kaki di matanya. Jika benar begitu, sungguh tega dirinya.
*****
"Ayo, kita berangkat" ujar Bu Minah, kami hendak pergi ke rumah kakak sepupu mas Adam yang tidak jauh dari rumah ibu mertuaku. Kami berangkat dengan menggunakan mobil mas Adam, di mana mas Adam dan ayah mertuaku duduk di depan, sedangkan aku dan ibu mertuaku duduk di belakang.
"Nah, kalian juga harus cepet cepet kasih ibu cucu, biar nanti kita buatkan acara khitanan seperti kakak sepupumu" ujar Bu Minah kepada mas Adam, seraya memegang tanganku. Aku hanya tersenyum saja.
"Doakan saja yang terbaik Bu" ujar mas Adam, seraya menatap Bu Minah dari kaca spion mobil.
Setelah kurang lebih lima belas menit menempuh perjalanan dengan menggunakan mobil, akhirnya kami pun sampai di lokasi acara. Di sana telah berkumpul keluarga besar mas Adam.
Kami pun turun.
"Heiii... Gandeng tanganku" ujar Mas Adam menyamai langkahku, dia berbisik agar tidak siapapun yang mendengar selain aku.
" Maa mas, lupa" ujarku seraya menggandeng tangan mas Adam
"So sweetnya pengantin baru," ujar Santi sepupu mas Adam.
"Iya dok harus" ujar Mas Adam. Dan aku hanya tersenyum saja
"Ayo, di minum airnya" ujar Kak Lili, sepupu mas Adam yang anaknya sedang khitanan saat ini.
"Ohh iya mbak" ujarku seraya mengambil segelas air yang sudah terhidang di meja.
Beberapa detike kemudian seorang anak laki laki datang berlarian ke arah kami.
"Kevin salam ini Tante sama ommu" ujar mbak Lili.
"Zara ini Kevin, anak mbak yang mau dikhitan hari ini" ujar mbak Lili memperkenalkanku kepada Kevin anak usia 12 tahun.
"Hallo Kevin, nama Tante zara, Tante istrinya om kamu, Mas Adam" ujarku.
"Hallo Tante, saya Kevin" ujarnya seraya salam takjim kepadaku dan mas Adam. Setelah itu, aku pun memberikan kado yang telah kami persiapkan dari rmah kepada Kevin.
"Terima kasih Tante, om" ujar Kevin.
"Sama sama" aku menyahut bersamaan dengan mas Adam.
"Cieee pengantin baru kompak banget" risak mbak Lili, yang membuatku sedikit merasa malu.
"Kapan rencana mau kasih ponakan sama mbak?" tanya mbak Lili, yang membuatku semakin merasa tak enakan kepada mas Adam.
"Nanti mbak" ucapku asal.
"Jangan nanti nanti, harus gerak cepat, kevin udah besar loh, agar Kevin ada temennya" ujar mbak Lili.
Aku dan mas Adam pun hanya saling pandang, dan tersenyum kepada mbak Lili.
Setelah acara khitanan selesai, kami pun kembali ke rumah ibu mertuaku. Kami menginap satu hari lagi di sini, dan akan pulang esok hari.
"Sudah sana kalian istirahat, pasti lelah sekali kan? Ibu dan bapak juga mau istirahat" ujar Bu Minah, kami sampai di rumah sudah jam 9 malam, untungnya kami sudah makan di perjalanan.
"Baik Bu, Adam juga mau langsung tidur, capek banget" ujar mas Adam. Ibu dan ayah mertuaku pun langsung istirahat, begitupula dengan aku dan mas Adam.
Seperti biasa aku tidur di sofa, dan mas Adam tidur di kasur.
Aku merebahkan tubuh di kasur, mataku belummbisa terpejam, photo beserta tulisann kemarin masih terngiang ngiaang di dalam fikiranku. Sungguh beruntung wanita yang di cintai oleh mas Adam dengan begitu hebatnya. Bahkan meskipun mereka telah bercerai, tetapi nama itu belum hilang dari hati dan fikiran mas Adam.
Aku menjadi ragu dengan keputusanku untuk bertahan, apakah aku mampu untuk melalui semua ini atau tidak, aku pun tidak tahu.