Feng Yan seorang pemuda yang tadinya di anggap jenius telah membangkitkan jiwa beladiri berupa manik hijau misterius yang tidak pernah di kenali dan tidak memiliki tingkatan kualitas sehingga semua orang mulai memandang rendah dirinya. dari yang tadi jenius yang di puja kini berubah menjadi sampah yang di pandang rendah.
tahun demi tahun berlalu. Feng Yang tidak pernah berputus asa hingga suatu hari dia kembali dengan kekuatan yang luar biasa. dia bangkit dengan kekuatan yang menggemparkan Dunia.
ikuti terus perjalanan Feng Yan untuk menjadi yang terkuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jin kazama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Di Ambang Kematian.
Bab 2. Di Ambang Kematian.
Feng Yan masih terlalu muda untuk benar-benar memahami dunia sekelilingnya, dan pikirannya yang belum matang seringkali membuatnya berpikir pendek. Saat ia melangkah ke dalam Hutan Senyap, ketakutan merayap di benaknya, namun rasa sakit karena pengabaian ayahnya jauh lebih kuat. Di usianya yang masih kecil, dia telah membentuk keyakinan bahwa ayahnya tidak lagi mengharapkannya. Baginya, ayahnya yang seorang prajurit besar dari Kerajaan Naga Emas melihatnya sebagai beban, seseorang yang tak pernah cukup baik untuk diakui.
Hutan Senyap, yang terkenal dengan makhluk-makhluk buas dan legenda tentang petualang yang hilang, adalah tempat terakhir yang dipilih siapa pun dengan pikiran waras. Namun Feng Yan, dengan pemikiran polos dan hati yang penuh luka, menganggap bahwa dia tidak lagi punya tempat di rumah. "Mungkin lebih baik aku tidak kembali," gumamnya dalam hati, keyakinan itu menggerogoti hatinya yang rapuh.
Kabut tebal menghalangi pandangannya, pepohonan tinggi yang menjulang seperti sosok-sosok besar yang siap menelannya. Hawa dingin merayap hingga ke tulang, tetapi lebih dingin lagi adalah rasa diabaikan yang menekan dadanya. Tangannya yang kecil gemetar saat mencengkeram gagang pedang yang tampak terlalu besar untuk tubuhnya. Pedang itu milik ayahnya, dan meski terlalu berat untuk diayunkan dengan benar, Feng Yan membawanya sebagai simbol beban yang dia rasakan.
Dia berhenti sejenak, menelan ludah, berusaha menahan air mata yang mulai membasahi sudut matanya. "Ayah tak peduli," pikirnya dengan hati yang tertutup amarah dan kebingungan.
"Mungkin aku memang tak pernah diinginkan."
Dalam pikiran pendeknya, ia tak bisa melihat betapa rumitnya cinta dan pengharapan orang tua, apalagi memahami alasan di balik sikap dingin ayahnya.
Feng Yan melangkah lebih jauh, berusaha menekan rasa takut yang mulai menguasainya. Di dalam hatinya, masih ada secercah harapan. Bukan harapan untuk mendapatkan kasih sayang keluarganya kembali, melainkan harapan untuk membuktikan dirinya, meski hanya pada dirinya sendiri.
"Jika aku bisa menjadi kuat... jika aku bisa bertahan di sini, mereka pasti akan menyadari bahwa aku bukan hanya anak kecil tak berguna."
Namun, di balik keberaniannya, tersimpan kenyataan bahwa dia hanyalah seorang bocah yang takut, bingung, dan tersesat dalam emosinya sendiri. Setiap langkahnya di hutan itu adalah cerminan dari langkah-langkah kecil menuju kedewasaan, meski dalam bayang-bayang rasa sakit yang masih tak bisa ia pahami sepenuhnya.
Saat malam mulai menyelimuti Hutan Senyap, Feng Yan merasa semakin terisolasi. Suara hewan-hewan malam bergema di kejauhan, seolah mengingatkannya pada risiko yang ia ambil. Namun, dia terus melangkah, meski hatinya penuh keraguan dan rasa takut.
Dia tak bisa kembali,setidaknya itulah yang dia yakini. Ayahnya, menurut pandangannya yang sederhana, sudah tidak lagi mengharapkannya. Dan di hutan ini, mungkin dia akan menemukan sesuatu yang bisa mengubah nasibnya atau mengakhirinya.
Feng Yan melangkah semakin dalam ke Hutan Senyap, tetapi keraguan mulai menyusup ke dalam dirinya. Setiap suara dari dedaunan yang tertiup angin membuatnya gemetar. Rasa takut merayap di dadanya, dan kegelapan hutan yang pekat semakin menekan hatinya yang rapuh.
Ia merasa kecil, tak berdaya, dan di ambang menyerah. “Apa aku bisa melewati ini?” Tanyanya pada dirinya sendiri, air mata hampir jatuh.
Namun, saat keraguan itu mencapai puncaknya, entah kenapa, sebuah getaran halus muncul dari dalam dirinya. dari jauh, dari lautan jiwanya. Feng Yan berhenti di tempat, terkejut oleh sensasi aneh itu.
Di dalam kedalaman jiwanya, manik hijau yang telah lama ia abaikan mulai bergetar, memancarkan kehangatan yang lembut. Getaran itu pelan tapi jelas, seolah menenangkan kekacauan yang berputar-putar dalam pikirannya. Seakan ada suara yang berkata, "Kamu tidak sendirian."
Rasa hangat itu membungkus dirinya, membasahi luka-luka emosinya yang terbuka, menenangkan rasa takut yang telah lama menguasai hatinya. Feng Yan menghela napas panjang, merasakan ketenangan yang aneh, seolah seseorang atau sesuatu menuntunnya melalui kegelapan ini.
Meski dia masih bocah, dan masih merasa takut, getaran dari manik hijau itu membuatnya yakin bahwa di dalam dirinya ada kekuatan yang belum dia sadari sepenuhnya.
"Siapa... atau apa kau?" Pikirnya, menyadari keberadaan misterius dari manik tersebut, namun perasaan ragu yang tadi begitu kuat mulai memudar. Meski kecil, manik hijau itu seperti memberi isyarat bahwa dia bisa melanjutkan perjalanannya, bahwa dia tidak sepenuhnya tersesat atau ditinggalkan. Sebuah kekuatan halus tetapi penuh harapan yang perlahan-lahan meneguhkan hatinya.
Dengan nafas yang lebih tenang, Feng Yan menguatkan kembali tekadnya. "Aku tidak sendirian," bisiknya. Meski ia belum sepenuhnya memahami apa arti getaran itu, dia merasa lebih yakin dari sebelumnya.
Kini langkahnya lebih mantap, meskipun ia masih bocah yang mencari jati diri di tengah kegelapan Hutan Senyap, ia tahu bahwa sesuatu di dalam dirinya—sebuah kekuatan tersembunyi, akan membantunya menemukan jalannya.
Dengan manik hijau itu bergetar pelan di lautan jiwanya, Feng Yan terus maju, tekadnya semakin teguh. Hutan ini bukan hanya tempat mengerikan yang penuh dengan bahaya, tetapi juga medan ujian yang akan menyingkap potensi yang selama ini tertidur dalam dirinya.
Suasana Hutan Senyap semakin mencekam. Seiring berjalannya waktu, kabut mulai menebal, dan udara di sekitar terasa semakin dingin. Langit yang mulai gelap memperkuat kesunyian yang menyesakkan.
Feng Yan, bocah kecil yang baru berada di tingkat pembangunan fisik level 9, merasa kegelapan semakin menutupinya, seolah-olah hutan ini sedang menelannya perlahan. Setiap langkahnya terasa berat, meskipun manik hijau dalam jiwanya masih bergetar dengan lembut, seolah berusaha menenangkan hatinya yang dipenuhi keraguan.
Sudah satu jam berlalu sejak ia melangkah masuk ke hutan, tapi area di sekitarnya begitu sunyi hingga terasa janggal. Bahkan suara jangkrik, yang biasanya menandakan kehidupan malam, tak terdengar. Hening.
Terlalu hening, sampai-sampai setiap helaan napasnya terdengar jelas di telinganya sendiri. Feng Yan menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. Ada rasa gelisah yang perlahan-lahan menggerogoti pikirannya, seolah ada sesuatu yang salah di tempat ini.
Namun, Feng Yan yang masih kecil dan belum berpengalaman, tidak menyadari bahwa setiap bagian dari Hutan Senyap dijaga oleh makhluk buas yang sangat kuat. Baginya, tempat ini hanyalah sebuah medan ujian untuk menemukan kekuatan yang ia cari, tapi dia belum tahu bahwa makhluk-makhluk tersebut dapat menghancurkannya dengan mudah, terutama dengan tingkat kekuatannya yang sekarang.
Langkah Feng Yan semakin pelan, naluri alaminya mulai menyadari bahaya meski pikirannya belum sepenuhnya memahami ancaman yang mengintai. Dia tak tahu bahwa setiap pohon, setiap sudut dari hutan ini diawasi oleh mata-mata liar, milik monster-monster yang bersembunyi di balik kegelapan. Dan yang paling mengerikan, mereka diam-diam merasakan keberadaan bocah kecil ini, menunggu saat yang tepat untuk menyergap.
Dengan hati yang berat dan ketakutan yang makin tumbuh, Feng Yan terus melangkah, meskipun setiap serat di tubuhnya menjerit untuk berbalik. Namun, tekad untuk membuktikan dirinya, untuk menjadi lebih kuat, menahannya di jalur yang ia pilih. Dia belum tahu bahwa langkah selanjutnya bisa membawa pertemuan dengan sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah dia bayangkan.
Sementara itu, di Kediaman keluarga Feng.
Malam terasa hening. Feng Han, ayah Feng Yan, duduk di ruang kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen dan tugas-tugas yang belum selesai. Tapi, pikirannya terus melayang pada putranya.
Selama ini, ia terjebak dalam perannya sebagai Kepala keluarga, merasa terbebani oleh tanggung jawab yang begitu besar, hingga tanpa disadari, ia telah mengabaikan Feng Yan. Ada rasa bersalah yang tumbuh di dalam hatinya, semakin kuat setiap kali ia mengingat bagaimana ia telah dingin dan berjarak terhadap putranya.
Akhirnya, Feng Han tidak bisa lagi menahan perasaannya. Dengan sebuah helaan napas panjang, ia menyingkirkan dokumen-dokumen yang ada di mejanya.
"Apa yang selama ini aku lakukan?" gumamnya pelan. Dia berdiri dan melangkah keluar dari ruang kerjanya, meninggalkan tumpukan tugas yang seharusnya ia selesaikan.
Kali ini, ada sesuatu yang lebih penting. Dia merasa dorongan kuat untuk menemui Feng Yan, untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini tertahan. Feng Han tahu bahwa anaknya pasti kesepian. Dan kini, dia ingin memperbaiki kesalahan itu.
Dia ingin mengatakan kepada Feng Yan betapa dia sangat menyayanginya, meskipun sering kali tidak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata. Dia ingin Feng Yan tahu bahwa meski posisinya sebagai Kepala keluarga sering kali membuatnya tampak tegas dan dingin, di dalam hatinya, Feng Yan adalah anak yang paling membanggakan.
Saat dia mendekati kamar putranya, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Jam menunjukkan pukul 03.00 pagi. Waktu yang tidak biasa bagi Feng Han untuk berkeliling, apalagi ke kamar Feng Yan. Namun, malam ini ada sesuatu yang mendorongnya.
Kamar Feng Yan begitu sunyi, seolah tiada kehidupan di dalamnya. Feng Han mengira bahwa mungkin putranya masih tidur lelap. Sejenak, ia berpikir untuk kembali ke ruang kerjanya. Namun, entah kenapa, perasaan kuat menggerakkan hatinya untuk melihat wajah putranya sebelum kembali bekerja.
Dia mendekati pintu kamar dan terkejut mendapati bahwa pintu itu tidak terkunci. Feng Han mengernyit. Sejauh yang ia tahu, Feng Yan selalu mengunci kamarnya saat tidur, seperti kebiasaan anak-anak lainnya di keluarga besar. Rasa penasaran dan khawatir mulai menggerayangi pikirannya, tapi ia tidak berpikir terlalu jauh. Mungkin putranya hanya lupa.
Dia membuka pintu perlahan, dan matanya segera mencari sosok kecil yang seharusnya berbaring di tempat tidur. Namun, yang ia lihat hanya tempat tidur yang kosong. Feng Yan tidak ada di sana.
Ruangan tampak rapi, tetapi sunyi. Perasaan tak nyaman semakin membebani dada Feng Han. Dia berjalan mendekati meja kecil yang berada di dekat tempat tidur putranya, dan di sana, dia menemukan sesuatu yang membuat hatinya bergetar. Sepucuk surat tergeletak di atas meja.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Feng Han mengambil surat itu, jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan tak enak yang tiba-tiba menyelimutinya. Ia membuka surat itu dan mulai membaca dengan cermat. Mata Feng Han melebar seiring kata-kata dalam surat itu terungkap. Feng Yan, putranya yang masih kecil, telah pergi.
Feng Han tertegun, dan dunia seakan berhenti sejenak. Putranya, yang selama ini ia abaikan, telah meninggalkan rumah tanpa ada seorang pun yang menyadari. Kebenaran itu menghantam dirinya dengan keras. Penyesalan dan kekhawatiran berputar di dalam pikirannya.
“Bagaimana mungkin aku tak menyadarinya?” Tanyanya dalam hati, rasa bersalah semakin menghujam jiwanya.
Tanpa pikir panjang, Feng Han segera keluar dari kamar, memanggil beberapa penjaga untuk mencari Feng Yan. Tapi di dalam hatinya, ia tahu, putranya sudah melangkah jauh.
Kembali ke Hutan senyap.
Di dalam Hutan Senyap suasana tegang menyelimuti Feng Yan. Dalam keadaan penuh ketegangan hawa panas menyergapnya dan bulu kuduknya meremang. Dia merasa tenang sejenak berkat manik hijau di dalam lautan jiwanya. Namun ketenangannya hancur saat dia menyadari ada bahaya yang mendekat.
Di balik kabut tebal empat sosok besar muncul. Dan mereka adalah Serigala api dengan kulit merah menyala dan api kecil yang melilit tubuh mereka.
Air liur panas menetes dari rahang mereka. Menandakan bahwa mereka adalah predator ganas yang tidak akan segan segan menyerang. Keempat monster ini adalah tingkat 2 level 3 jauh lebih kuat dari dirinya yang berada di tingkat pembangunan fisik level 9.
Tatapan Feng Yan berubah serius. Dia pun mengumpat
"Sialan! Apa apaan ini? Belum belum aku sudah menghadapi 4 monster tingkat 2. Benar benar sial!" Gerutunya dengan ekspresi wajah yang berubah ubah.
Rasa takut semakin menyelimuti hatinya, saat dia merasakan getaran tanah menjadi semakin kuat. Menandakan ke empat monster itu mulai mendekat dangan sangat cepat.
Dia bahkan sampai menggigit bibirnya untuk menghilangkan rasa panik. Namun manik hijau di dalam dirinya bergetar memberikan perasaan familiar yang membuatnya tenang.
Fikirannya sedikit lebih jernih. Ya, hanya sedikit dan itu cukup untuk menyadarkannya bahwa dia harus berjuang jika ingin hidup. Untuk sesaat tekadnya bangkit dan semangat yang ada di dalam dirinya melonjak.
Tiba tiba salah satu Serigala melompat ke arah Feng Yan dengan kecepatan yang mengejutkan. Dia terpaksa berlari berusaha menghindar. Bahkan cakar tajam Serigala itu hampir merobek wajahnya.
Feng Yan berkelit, tapi serangan berikutnya membuatnya jatuh, rasa sakit yang tajam segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Saat itu juga dia sadar jika nyawanya terancam. Dalam situasi ini hanya ada satu pemikiran di dalam benaknya
"Apakah aku akan mati? Hahaha! Sungguh miris." Ucapnya dengan getir.
Dia bahkan belum membuktikan apapun kepada ayahnya dan semua orang yang merendahkannya, dan kini nyawanya justru berada dalam bahaya.
Dengan sekuat tenaga dia berusaha bangkit. Namun Serigala lainnya mendekat dan menatapnya dengan lapar. Dalam sekejap Feng Yan terjepit di antara dua Serigala. Merasakan hawa panas ekstrim yang menyebar dan menyelimuti dirinya. Dia meraung melampiaskan semua rasa frustasi yang selama ini di pendamnya.
"Aku tidak akan menyerah!" Suaranya menggelegar dan menggema di tengah hutan yang sunyi.
Dia memutuskan untuk melawan dengan segala cara. Sungguh ironis, ini masih dua monster dan dua monster lainnya belum bergerak.
Saat ini Feng Yan terjebak di antara dua monster dan wajahnya sudah sangat pucat. Campuran antara takut dan nekat. Jantungnya berdebar kencang. Feng Yang mengumpulkan keberaniannya yang tersisa. Tapi serangan berikutnya membuatnya terjatuh lagi.
Hidungnya mencium bau darah saat salah satu Serigala menggigit lengannya. Rasa sakit yang mengerikan hampir membuatnya kehilangan kesadaran.
"Ini bukan akhir!" Gumamnya berusaha melawan dengan tenaganya yang nyaris tak tersisa. Namun itu tidak terlalu berguna. Perbedaan kekuatan membuat Feng Yan merasa sangat frustasi.
Dia merasakan kesadarannya hampir memudar. Tapi dengan keras kepala dia menggeretakkan giginya dan terus bertahan.
"Aku pasti akan bertahan." Sebuah cahaya samar memancar dari dalam dirinya. Melawan kegelapan yang perlahan menenggelamkannya.
Di ambang kematian Feng Yan terhuyung mempertaruhkan segalanya. Di saat saat terakhirnya harapan dan keputusasaan bertemu menciptakan kekuatan yang tak terduga.
Dia berjuang sekuat tenaga, ingin membuktikan jika dirinya bukanlah mangsa yang mudah. Namun apa daya. Tubuhnya sudah benar benar lelah dan perlahan kesadarannya pun mulai menghilang. Tapi sebelum dia benar benar kehilangan kesadaran dia mengatakan sesuatu.
"Hei manik hijau, aku tidak tahu sebenarnya dirimu itu jiwa beladiri macam apa, tapi buatlah dirimu berguna setidaknya satu kali ini saja." Ucapnya. Setelah itu dia benar benar pingsan dan matanya mulai tertutup rapat.
Di dalam jiwanya. Manik hijau mulai bergetar. Seolah menanggapi keinginan Feng Yang, manik hijau itu meletus dengan cahaya hijau keemasan yang sangat terang.
BOM!
Seketika gelombang kejut yang luar biasa dahsyat menyebar ke segala arah. Para monster Serigala yang tadinya sudah siap memangsa Feng Yan pun terpental sejauh 10 meter. Begitu juga dengan dua Serigala lainnya yang belum bertindak.
Merasakan kekuatan asing yang sangat mengerikan, keempat monster itu gemetar ketakutan. Meraka ingin berlari tapi hak yang mengejutkan terjadi.
Cahaya hijau keemasan yang keluar dari tubuh Feng Yan mengunci empat monster itu. Detik berikutnya hal yang mengejutkan terjadi.
Sinar hijau keemasan itu mulai membungkus tubuh empat monster Serigala dan detik berikutnya darah dan daging dan organ mereka di serap dan di murnikan menjadi energi Qi yang perlahan masuk ke salam tubuh Feng Yan. Menyisakan empat kerangka yang terbungkus oleh kulit merah.
Hal ajaib pun terjadi...
terlalu lama bulet di sini aja hadeh lebih baik cabut by by by