Sebuah pulpen langganan dipinjam Faiq kini tergeletak begitu saja, pemuda yang suka menggodanya, mengusiknya dengan segala cara, ia tidak pernah kehabisan akal untuk mengerjai Vika.
Vika memandanya dengan harap si tukang pinjam pulpen itu akan kembali. Ia memelototi pulpen itu seolah memaksanya membuka mulut untuk memberitahu dimana keberadaan Faiq.
••••••••
Goresan Pena terakhir ini
Kini tinggalah kenangan
Yang pernah kita ukir bersama
Sekarang kau tak tahu dimana
Tak ada secarik balasan untukku
Akankah titik ini titik terakhir
Yang mengakhiri kisah kita?
Kisah kau dan aku
-Vika Oktober 2017
⏭PERHATIAN CERITA MURNI HASIL PEMIKIRAN AUTHOR, BILA ADA KESAMAAN TOKOH MAUPUN TEMPAT, DLL. MERUPAKAN MURNI KETIDAK SENGAJAAN⏮
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kepik Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Watak sesungguhnya
...| Jangan lupa untuk support ya |...
...| Happy Reading |...
...••★••...
Vika akhirnya ikut pulang bersama Faiq, itu semua dia lakukan agar tak ada lagi drama dari para fans Faiq yang berteriak histeris, berbisik bahkan memandang tak suka kepada Vika. Taksi yang membawa keduanya berhenti tepat di depan rumah Eyang Sinta, entah kebetulan semacam apa ini, Eyang Sinta dan juga Ibu Sekar sedang membeli sayur kepada tukang sayur keliling. Ketika Vika dan Faiq turun secara bersamaan dari taksi online, mata kedua wanita itu tampak gembira.
"Nah, ini Vika yang saya ceritakan tadi, Kar," Eyang Sinta memperkenalkan Vika kepada Bu Sekar. Wanita paruh baya itu tersenyum ketika Vika menyalaminya.
"Saya Vika, Tante," Vika memperkenalkan diri kepada wanita paruh baya yang terlihat mirip dengan Faiq, bisa dipastikan beliau adalah Ibunya Faiq. Bu Sekar mengusap punggung Vika dengan lembut.
"Saya sudah tahu. Tante pangling loh melihat kamu sekarang, dulu kamu tembem sekali sekarang mana pipi tembem nya?" ujar Bu Sekar, seraya mencubit pipi Vika.
"Vika, kamu ingat, dulu saat kamu kemari ada anak laki-laki yang mengambil sendalmu untuk membuat gawang?" ujar Eyang Sinta.
"Ah, Vika ingat. Dulu Kak Alam sama teman-temannya mengerjai Vika!"
"Hah? Apa lo bilang?" ujar Faiq yang tiba-tiba menyahut pembicaraan Vika dengan Eyangnya. Vika beserta kedua wanita paruh baya itu kompak menatap Faiq.
"Jadi lo si pipi bakpao? Lo si cengeng itu?" Faiq menggeleng, sedangkan Ketiga wanita itu mengernyitkan kening. "Faiq masuk dulu!"
"Kalian kok bisa pulang bareng? Terus itu lulut kamu kenapa bisa lecet?" tanya Bu Sekar. "Tadi Kak Faiq ngajak pulang bareng, Tan. Terus ini lecet kerena jatuh tadi." Vika nyengir, sangat tidak mungkin kalau dia menceritakan kronologi yang sesungguhnya. "Loh, gimana ceritanya jatuh sampe luka kaya gitu? Ini bekasnya bakalan susah hilang loh."
"Tadi Faiq nggak sengaja dorong Vika sampe jatuh. Tadi saya mau obatin luka dia, Eyang, tapi dianya nggak mau. Saya benar-benar minta maaf, Eyang."
Pandangan semua orang langsung tertuju kepada Faiq. Ternyata Faiq sudah berganti pakaian, ia menggunakan kaos putih dan celana pendek. "Bisa-bisanya kamu dorong Vika sampe luka kayak gitu?" tanya Bu Sekar. Beliau terlihat menyesal dengan luka di lutut Vika, akibat ulah anaknya.
"Faiq hampir ketabrak motor tadi, terus Vika nolong Faiq. Ibu tau sendirikan Faiq enggak suka dipegang-pegang terutama sama wanita lain, jadi Faiq dorong aja lagian dia juga narik-narik Faiq. Tapi ternyata narik biar Faiq enggak ketabrak, sekali lagi maaf."
Vika sedikit kaget dengan pengakuan Faiq barusan. Vika sangat tidak menyangka bahwa pria arogan seperti dia memiliki keberanian untuk mengakui kesalahannya di depan semua orang. Padahal permintaan maafnya ketika di sekolah terkesan tidak tulus. Dan bagaimana bisa pria itu tidak suka disentuh apalagi oleh wanita? Sementara banyak perempuan yang mengidolakannya?
"Faiq, bawa Vika masuk obati lukanya, sekalian kasih makanan!" ujar Bu Sekar.
"Eh? Nggak perlu, Tan. Vika bisa obatin lukanya sendiri kok."
"Ya sudah, tapi nanti malem makan di rumah Faiq ya?! Eyang sama Bu Jumi juga." Bu Sekar mengundang Vika sekeluarga untuk makan malam, tentu saja undangan itu dengan senang hati mereka terima.
Begitu sampai di dalam rumah, Eyang Sinta langsung merapatkan tubuhnya ke Vika. beliau segera menanyakan hal-hal yang ia tahan sedari tadi. Hal itu membuat Vika menatap dengan penuh tanya.
"Gimana? Mas Faiq ganteng, Kan? Dia itu pintar loh, Ka, sudah dari SMP dia langgan juara umum di sekolah. Anaknya juga sopan, suka nyapa Eyang kalau ketemu, dia juga suka main ke sini buat sekedar nganter makanan."
"Jurus rayuan makanan ini, dia baik dan sopan itu cuma pencitraan aja, Eyang," gerutu Vika dalam hati, tidak mungkin dia berani menceloskan kalimat itu secara langsung. Apalagi Eyangnya terlihat begitu mengidolakan pemuda satu itu. Faiq memang baik dan sopan, tapi itu di depan Eyang dan Ibunya. Kalau sudah di luar apalagi dengan Vika, pria itu menjadi galak, narsis, menyebalkan pula. Sampai saat ini Vika masih heran mengapa banyak sisiwi yang mengidolakannya.
...***...
Pada malam harinya, Vika sekeluarga makan malam di rumah Faiq. Saat Vika akan menekan bel rumah Faiq, pintu utama rumah itu tiba-tiba terbuka, membuatnya terkejut. Di tengah rasa kegetnya, Vika langsung tersenyum ketika mendapati Bu Sekar keluar dari balik pintu. "Pagi, Tante," sapa Vika kepada Bu Sekar.
"Malam, Vika," balas beliau dengan senyum semanis cotton candy. "Eh?" Vika langsung tersenyum ketika sadar dia salah menyapa. Kemudian keduanya tertawa bersama disusul oleh Eyang Sekar dan juga Bu Jumi. Andai saja ada lubang Vika akan masuk kedalamnya tanpa ragu sedikitpun untuk menutupi tubuh terutama mukanya yang sudah memerah karena malu.
"Yuk, masuk."
Mau tidak mau, Vika tetap mengikuti Bu Sekar kedalam rumahnya. Tangan Vika ditarik, hal itu membuat Vika merasa canggung dan malu disaat yang bersamaan. Dan ternyata, sudah terjajar banyak sekali makanan di atas meja makan. Semua ditata rapi, apalagi baunya yang menggugah selera.
"Cepet turun, Faiq!" teriak Bu Sekar, disusul derap langkah dari lantai atas. Pria itu menatap Vika, tunggu dulu Vika tak mau terlibat dengan aksi tatap-menatap lagi, akhirnya Vika memindahkan tatapannya kearah makanan yang sudah tersaji, hal itu lebih nikmat daripada memandang wajah angkuh Faiq.
Pakaian Faiq tidak jauh berbeda dengan siang tadi, kali ini dia memakai celana training dan kaos oblong berwarna biru. Faiq segera mengamit tangan Eyang Sekar kemudian Bu Jumi untuk disalami. Kemudian melanjutkan langkahnya ke salah satu kursi. "Mana Zaki sama Aries? Kok nggak turun?"
Sebelum Faiq berucap, suara dua manusia itu sudah cukup menjawab dimana keberadaan Zaki dan Aries. Semua orang yang ada di lantai bawah, menatap penampakan kedua remaja yang sedang berebut sisir. Vika memandang kedua kakak kelasnya dengan heran, sementara itu Bu Sekar, Eyang dan juga Bu Jumi memandangi mereka dengan jengah. Sudah berkali-kali mereka melihat adegan berebut seperti itu, setiap kali Zaki dan Aries menginap di rumah Faiq.
"Kan gue yang lebih dulu ambil sisir ini. Lo pake sisir yang bulet aja!" Zaki menarik sisir itu, sehingga Aries semakin mempertahankannya dengan segenap tenaga yang ia punya. "Gue nggak suka pake sisir yang itu, bisa gatel kepala gue!"
"Heleh, kepala lo secondhand makanya gampang gatel!"
"Makanya, lo pake sisir yang itu aja. Kan kepala lo nggak beli di pasar loak, biasanya juga pake sisir yang itu, kenapa sekarang lo mau pake yang ini?!" teriak Aries, tak mau mengalah. Karena biasanya juga Aries yang memakai sisir itu, kenapa tiba-tiba sekarang Zaki ingin memakai sisir seharga dua ribu ini?
"Lo enggak bosen apa pakai sisir ini terus? Ganti yang itu aja kenapa!" Zaki meninggikan suaranya.
"Nggak mau! Gue mau nya yang ini, Titik pake tanda seru tiga!" kekeuh Aries sambil menarik sisir itu. Semua orang yang ada di bawah percaya sisir itu sebentar lagi akan tergeletak di tempat sampah.
Faiq memijat pelipisnya yang tiba-tiba pening. Di depan umum saja kedua sejoli itu berlaga keren, menjadi pria yang pantas dipuja para wanita. Tapi kalau sudah di rumah dan hanya mereka saja yang ada, maka keluarlah watak asli mereka. Kekanakan, menjengkelkan, tidak mau kalah, tak ada sisi mempesona-mempesonanya sama sekali. "Kalau kalian masih ribut, sisir itu gue patahin sekarang juga!"
Teriakan Faiq barusan, terdengar seperti lolongan serigala membuat dua pria itu terperanjat. Keduanya sama-sama melepaskan genggaman pada sisir dua ribuan itu, hingga jatuh ke lantai, mereka masuk ke kamar setelah Aries mengambil kembali sisir itu.
Zaki dan Aries segera meminta maaf kepada semua ketika keduanya sudah turun ke lantai bawah, mereka sadar diri telah membuat kediaman Bu Sekar yang biasanya damai, adem tentrem menjadi ramai seperti Pasar Senin. Tapi Bu Sekar justru senang, karena dengan kehadiran Zaki dan Aries membuat suasana rumah terasa lebih hidup, lebih terasa atmosfer kekeluargaannya.
Karena pada kenyataannya keluarga mereka terpecah menjadi dua, karena suatu permasalahan antara Faiq dan Satya. Ditambah watak Satya yang seperti almarhum ayahnya, mereka sama-sama tidak suka Faiq balapan liar, dan jarang ada di rumah, almarhum ayah mereka berdua sangat ketara membeda-bedakan Faiq dengan Satya, apalagi karena perangai keduanya sangat bertolak belakang, Faiq yang begajulan sedangkan Satya yang baik dan paham etika.
Langkah Zaki dan Aries terhenti ketika meliat gadis di samping Eyang Sinta. Sempat saling bertukar pandang kemudian menyadari siapa sosok di depannya itu. "Yang tadi pulang bareng Faiq, Kan?" tanya Zaki, kemudian pria itu mengulurkan tangannya. "Nama gue Zaki, temennya Faiq. Lo boleh kok suka sama gue, mau pacaran juga, Hayuk!"
"Jangan mau! Ceweknya di mana-mana!" cemooh Aries, "mending sama gue aja, kenalin gue Aries!" ujar Aries sambil menyomot tangan Vika untuk bersalaman. Sedangkan di sisi lain ada Faiq yang menyorotnya tajam, oleh karena itu Aries langsung melepaskan tangannya. "Ohh, nggak boleh ya, Bos? Keep calm Bos, just kidding!" ujar Aries yang langsung duduk di sebelah Zaki.
...*...
...*...
...*...
...TBC...
...Thanks for Reading 💙🌻...
...Jangan lupa like dan komen ya🫶...
...Luv You All💙🌻...
^^^🐞Kepik senja^^^