"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAAT INI RUMAH BUKAN TEMPAT KU
Z ilfi menatap langit-langit kamar, terjaga di malam yang tenang. Suara tangisan sayup-sayup terdengar dari kamar sebelah, suara yang sudah familiar di telinganya selama beberapa hari terakhir. Santi, yang selama ini selalu penuh semangat dan mengatur segalanya, berubah total sejak kegugurannya. Ia lebih sering mengingat, menangis di sudut-sudut yang sepi. Pak Falah mencoba menghiburnya, namun percuma. Duka itu seperti tembok besar yang membentang di antara keduanya.
Zilfi? Tidak ada yang berubah. Hari-harinya tetap sama.
Zilfi hanya anak tiri di rumah itu. Mereka menganggap Zilfi sebagai bagian dari keluarga, tapi tak pernah benar-benar menjadi bagian dari duka mereka. Keguguran itu seperti badai yang melanda kehidupan mereka, namun hanya angin sepoi-sepoi yang menyelimuti hati Zilfi. Tak ada kesedihan yang menghantamnya dengan keras.
Pagi itu, ketika Santi masih bersembunyi di balik selimutnya dan Pak Falah duduk murung di ruang tamu, Zilfi memutuskan untuk berbicara. “Ayah , aku ingin kembali lagi ke asrama"
Pak Falah langsung menoleh padanya, wajahnya lelah. “Kenapa buru-buru? Liburan sekolahmu masih beberapa hari lagi."
Zilfi mengangkat bahunya. “Aku sudah cukup lama di sini. Di asrama, aku punya rutinitas, teman-teman, dan... yang lainnya."
Pak Falah menghela napas. Zilfi tahu, bahwa Ayahnya ingin Zilfi tinggal lebih lama, mungkin agar zilfi bisa membantu menghibur Santi. Tapi zilfi bukan tipe orang yang bisa memberikan pelukan hangat atau kata-kata penghiburan. zilfi tak tahu cara menghibur orang yang berduka.
“ayah pikir kamu senang di sini,” suaranya bergetar sedikit. Ada nada kecewa yang samar keluar dari mulut pak Falah.
“Aku tidak merasa ada yang salah, yah. Tapi aku juga tidak merasa ada yang benar. Di asrama, aku bisa fokus."
Pak Falah terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan."Baiklah kalau itilu yang kamu inginkan."
Zilfi tahu kalau ayahnya tidak sepenuhnya mengerti. Mungkin pak falah berharap zilfi akan merasa terikat dengan rumah ini, bahwa zilfi akan merasa perlu berada di sini saat keluarganya menghadapi masalah. Tapi bagian Zilfi dalam cerita ini tidak seperti yang mereka bayangkan. Zilfi tak memiliki kenangan yang mengikatnya di sini. Rumah ini hanyalah tempat singgah sementara.
Keesokan harinya,Pak Falah mengantar Zilfi kembali ke asrama.
Di mobil, zilfi menatap jendela, memperhatikan pemandangan yang berlalu. ia tak merasa sedih meninggalkan rumah itu, tak merasa lega juga. ia hanya merasa... kosong. Tapi mungkin, di asrama, ia bisa merasa lebih teratur, lebih punya arah. Mungkin, di tempat yang penuh rutinitas itu, ia bisa menemukan rasa yang hilang dari ingatan yang sekarang.
Rumah itu, keguguran itu, santi yang terisak di kamar semuanya terasa seperti episode singkat dalam kehidupan. Dan seperti episode lainnya, zilfi hanya menontonnya berlalu, tanpa benar-benar terlibat.
Saat mobil berhenti di depan gerbang asrama, Zilfi meraih tasnya tanpa banyak bicara. Pak Falah keluar dulu, membukakan pintunya. “Kamu yakin baik-baik saja, Zilfi?” tanyanya, matanya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa diartikan.
Zilfi mengangguk singkat. “Aku baik-baik saja, Yah.” Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, pikirnya.
Saat Pak Falah hendak pergi, Zilfi menahan napas. Ada dorongan dalam dirinya untuk mengatakan sesuatu mungkin meminta maaf, atau sekadar mengucapkan kata-kata penghiburan untuk ayahnya. Tapi dia tidak tahu kata-kata yang tepat. Merasa itu terlalu kabur. Jadi, ia hanya mengangguk lagi dan melihat ayahnya pergi, mobil itu menghilang di tikungan, menyisakan debu yang berputar perlahan di ujung jalan.
Di dalam asrama, Zilfi kembali ke rutinitasnya. Kamar yang dulu ia tinggalkan terasa sama, tapi juga berbeda. Seprei yang sama, lemari yang sama, bahkan suara hiruk-pikuk teman-teman sekamarnya terdengar familier. Namun, ada perasaan yang menggantung di hatinya, sebuah ruang kosong yang tak bisa ia isi. Zilfi duduk di tempat tidur, matanya menatap jendela. Ia merasa seharusnya ada sesuatu yang ia rasakan, sesuatu yang lebih dari sekedar kehampaan.
Malam itu, ketika lampu sudah dipadamkan dan suasana di asrama mulai hening, Zilfi terbaring terjaga. Pikirannya kembali ke rumah, ke Santi yang terisak dalam diam, dan ayah yang mencoba menjadi jembatan yang tak pernah terbangun. Apakah seharusnya dia merasa bersalah karena pergi? Apakah seharusnya ia tetap tinggal untuk membantu mereka melewati masa sulit itu? Namun, jauh di lubuk hati, Zilfi tahu bahwa kehadirannya tak akan mengubah apa pun.
Zilfi bukan bagian dari kesedihan mereka .
tak lama kemudian handphone asrama berbunyi menandakan ada pesan masuk. Dari ayahnya. Hanya satu kalimat singkat: "Kami rindu kamu di rumah."
Zilfi menatap pesan itu lama, menggantung di atas layar. Ia bisa saja mengetikkan balasan singkat, sesuatu yang sopan dan formal seperti biasanya. Tapi kali ini, dia tidak langsung membalas. Ia membiarkan pesan itu tetap terbuka, membiarkan rasa yang sulit dijelaskan menggantung di udara.
Waktu terus berlalu, dan perlahan Zilfi menutup matanya. Tangisan Santi, rasa lelah ayahnya, dan perasaannya yang kosong ,semua itu menghilang di balik kesibukan asrama. Di sini, semuanya lebih mudah. Di sini, ia hanya perlu menjalani hari tanpa terlibat terlalu dalam.
Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang mulai tumbuh di dalam dirinya, sebuah kesadaran bahwa meskipun ia merasa tidak terikat dengan rumah itu, ia tetap menjadi bagian dari cerita mereka, bahkan jika ia hanya pengamat di pinggiran. Dan di satu titik, ia tahu bahwa pada akhirnya, ia harus menghadapi kenyataan yang sedang ia hindari.