Sebagai seorang wanita yang sudah kehilangan rahimnya, dia tetap tegar menjalani hidup walau terkadang hinaan menerpanya.
Diam-diam suaminya menikah lagi karena menginginkan seorang anak, membuat ia meminta cerai karena sudah merasa dikhianati bagaimanapun dia seorang wanjta yang tidak ingin berbagi cinta dan suami.
Pertemuannya dengan seorang anak kecil membuat harinya dipenuhi senyuman, tapi ia juga dilema karena anak itu meminta ia menjadi ibunya itu berarti dia harus menikah dengan Papa dari anak itu.
Akankah Yasna menerima permintaan anak kecil itu atau kembali kepada mantan suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Pulang ke rumah Ibu
"Kamu ikut Ibu pulang ya Nak!" pinta Alina yang diangguki Yasna.
Hati orang tua mana yang tidak sakit melihat anaknya disakiti, meski kini statusnya adalah seorang istri, tapi bagi Alina dan Hilman Yasna tetaplah putri kesayangan mereka, tidak akan ada yang bisa merubahnya.
Yasna juga sama sedihnya, sebenarnya ia tidak ingin orang tuanya tahu tentang apa yang terjadi padanya dan rumah tangganya, ia tidak ingin membuat orang tuanya sedih dan mengkhawatirkannya.
Dalam pelukan orang tuanya Yasna menumpahkan air matanya, rasa malu, kecewa dan sedih karena gagal dalam membina rumah tangga menjadi satu, apalagi melihat air mata orang tuanya itu semakin membuat Yasna merasa bersalah.
"Ayo kita pulang, Nak" ajak Hilman.
"Bentar Yah, aku ambil baju-bajuku dulu," ucap Yasna berbalik.
"Ingat ya! Cuma baju, jangan coba-coba membawa barang berharga dari rumah ini," ujar Faida.
"Mama!" seru Zahran.
Langkah Yasna terhenti, keluarga Yasna memang bukan orang yang kaya, tapi mereka cukup Mampu untuk memenuhi semua kebutuhan Yasna, apalagi Yasna bukanlah wanita boros yang menghabiskan banyak uang untuk membeli barang yang tidak penting.
"Tenang saja saya tidak akan membawa apapun dari rumah ini, anda bisa mengambilnya dan jika tidak terpakai anda bisa membakarnya atau membuangnya," ucap Yasna dan kembali menghampiri kedua orang tuanya.
Sementara wanita yang berstatus istri kedua Zahran menatap Yasna sinis, wanita itu bernama Avina yang berusia dua puluh tiga tahun, dengan tubuh tinggi langsing dan rambut sebahu.
Selama menjadi istri Zahran seringkali Avina dibuat kesal, karena Zahran seringkali membandingkannya dengan Yasna, padahal Avina merasa dia lebih cantik dari Yasna, hanya saja ia memang tidak pandai memasak, hal yang paling Yasna sukai dan Zahran pun sangat menikmati semua masakan Yasna.
"Sayang, jangan pergi, maafkan aku, tadi aku tidak sengaja, aku hanya emosi saja," ucap Zahran memelas.
"Aku mengerti, tapi maaf aku harus pergi bersama orang tuaku, karena hanya mereka tempat ternyamanku, hanya mereka yang mencintaiku tanpa syarat," ucap Yasna berlalu.
Sungguh hancur hati Yasna, selama pernikahan mereka, Zahran tak pernah sekalipun berbuat kasar, tapi hari ini Zahran melakukannya, Yasna akui jika itu kesalahannya karena mengatakan sesuatu yang tak seharusnya ia ucapkan, tapi hatinya sudah terlanjur sakit mengetahui semuanya, orang-orang yang selama ini ia sayangi ternyata telah berbohong padanya.
"Ayo Bu, Yah kita pulang," ucap Yasna tersenyum, senyum yang dipenuhi luka tentunya.
Yasna dan orang tuanya pun pergi meninggalkan rumah yang sudah Yasna tempati selama lima tahun ini, rumah yang dulu menjadi tempat ternyamannya, rumah yang tidak mungkin lagi ia tempati.
"Ayah pesan taksi dulu ya!" ucap Hilman yang diangguki Alina, karena tadi mereka datang menggunakan motor.
"Non, biar saya antar, saya ada motor," ucap Zaki, dia juga melihat dan mendengar semua yang terjadi karena tadi Ibu Zahran memintanya membawakan koper istri kedua Zahran kedalam.
"Nggak usah Pak, saya nggak mau ngerepotin Bapak," tolak Yasna.
"Nggak papa Non, saya juga tidak ada pekerjaan, tunggu sebentar saya ambil motor saya," ucap Zaki berlalu tanpa menunggu jawaban Yasna.
Karena Zaki memaksa akhinya Yasna tak menolak lagi.
"Kamu sama Ayah saja, biar Ibu sama Zaki," ucap Ibu.
"Iya Bu," jawab Yasna.
Suara deru motor terdengar, keluarga Yasna sudah meninggalkan rumah Zahran, Zahran saat ini sedang dilema, ia bingung harus memilih siapa? Satu sisi ada istri yang begitu ia cintai dan sisi lainnya ada Mama dan anak-anaknya, mengenai wanita itu Zahran sama sekali tidak peduli, terserah apa yang dilakukannya yang penting anaknya baik-baik saja.
"Bik, bawa koper Avina kekamar Zahran dan buang semua barang-barang Yasna!" perintah Faida.
"Jangan coba-coba menyentuh barang Yasna sedikitpun, tidak ada yang boleh menempati kamar itu selain Yasna, jika dia ingin tinggal disini, cari kamar lain dan jangan coba-coba memasuki kamar itu jika tidak ingin dalam masalah," ucap Zahran berlalu.
"Zahraann, Zahrann," panggil Faida, namun Zahran tak peduli sama sekali, ia terus berjalan memasuki kamar dan menguncinya.
"Bik, bawa koper Avina ke kamar tamu," ucap Faida pelan sambil memijit kedua sisi keningnya.
"Ma, kenapa di kamar tamu? sia-sia dong aku datang kesini kalau ujung-ujungnya pisah kamar sama Mas Zahran?" tanya Avina kesal.
"Zahran itu orangnya keras kepala, jadi kita harus pelan-pelan, nanti malam Mama akan antar Nursya kesini, kamu manfaatkan saja dia," ucap Faida, Nursya adalah putri pertama Zahran dan Avina.
"Iya Ma," jawab Avina.
"Mama pulang dulu, jaga diri kamu baik-baik," ucap Faida yang diiyakan Avina.
*****
"Terima kasih ya Zaki, sudah mengantar kami, ini ada sedikit rezeki buat kamu," ucap Alina sambil memberi beberapa lembar uang.
"Tidak perlu Bu, saya cuma bantu antar saja, selama ini Non Yasna sudah terlalu baik sama saya," tolak Zaki, karena Yasna pernah menolong anak Zaki yang saat itu sedang dirawat Rumah sakit dan saat itu Zaki sama sekali tidak memiliki uang, ia berniat meminjamnya pada Yasna, tapi Yasna malah membantu Zaki tanpa meminta kembali uangnya.
"Tidak apa-apa ini rezeki buat keluarga kamu," ucap Alina bersikeras.
"Baiklah Bu saya terima, sekali lagi terima kasih," jawab Zaki.
"Justru kami yang harusnya berterima kasih," sela Alina.
"Saya permisi dulu Bu, Assalamualaikum," pamit Zaki.
"Waalaikumsalam," sahut Alina.
"Ayo kita masuk, kamu mandi dulu sana, baju kamu juga masih ada kan di kamar?" tanya Alina.
"Masih ada kok Bu, maafin Yasna ya Bu, Yasna sudah gagal," sesal Yasna.
"Kamu ini bicara apa? Semua yang terjadi sudah takdir yang harus kamu jalani, tidak perlu meminta maaf, yang penting saat ini kamu harus kuat dan siap apapun yang akan terjadi nanti," ujar Hilman sambil membelai rambut Yasna.
"Yasna akan berusaha Yah, Yasna masuk dulu mau mandi," pamit Yasna yang diangguki Alina.
Yasna segera berlalu, ia merasa sangat bersalah pada orang tuanya karena kembali menjadi beban mereka, meski mereka mengatakan tidak apa-apa, tapi sebagai seorang anak ia merasa tidak berguna.
Alina dan Hilman juga memasuki kamar mereka, didalam kamar Alina menangis kembali sambil menutup mulutnya agar tidak terdengar keluar.
"Bu, sudah jangan menangis lagi, nanti Yasna juga ikut sedih lihat Ibu menangis," ucap Hilman yang tengah memeluk istrinya.
"Ibu tidak tega lihat Yasna Yah, dia kehilangan semuanya satu persatu, dia sudah kehilangan rahimnya dan sekarang suaminya, lalu bagaimana hidup Yasna nanti Yah?" tanya Alina dengan suara tertahan.
"Masih ada kita yang akan selalu bersamanya," ucap Hilman.
"Umur kita sudah tua Yah, kita tidak tahu berapa lama lagi kita hidup," ucap Alina.
"Sudahlah Bu, itu kita pikirkan nanti, sekarang kita harus selalu ada untuk Yasna agar dia tidak kesepian," ucap Hilman yang diangguki Alina.
.
.
.
.
.