Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecemburuan Denis
Suasana kantor masih sibuk ketika Refal muncul di depan ruangan kerja Veltika. Pria itu tampak rapi dengan setelan jas biru tua, lengkap dengan senyum khas yang selalu membuat banyak orang terpesona. Veltika baru saja menyelesaikan rapat ketika Refal mengetuk pintu kaca kantornya.
"Veltika, ada waktu malam ini? Aku ingin mengajakmu makan malam. Sudah lama kita tidak berbicara santai tanpa urusan pekerjaan," ucap Refal sambil melirik Veltika dengan tatapan hangat.
Veltika tersenyum tipis, mencoba meredam kegugupannya. "Tentu, Refal. Aku rasa malam ini tidak ada jadwal apa pun." Padahal, ia tahu Denis mungkin akan keberatan, tetapi ia tidak bisa menolak ajakan Refal begitu saja.
Di sudut lain ruangan, Denis yang kebetulan baru keluar dari rapat melihat percakapan itu. Mata pria muda itu menajam saat melihat Refal mendekatkan diri pada Veltika. Bibirnya mengatup rapat, dan ekspresi wajahnya berubah. Gairah cemburu yang selama ini ia pendam perlahan membakar dirinya.
"Aku pulang duluan," ujar Denis singkat saat melewati Veltika tanpa menunggu jawaban. Suaranya dingin, tak seperti biasanya.
Veltika menatap kepergian Denis dengan tatapan bingung. Ia tahu sesuatu mengganggu pria itu, tetapi ia memilih untuk tidak mengejarnya. Di sisi lain, Refal masih berdiri menunggu jawaban pasti dari Veltika, tidak menyadari gejolak yang baru saja terjadi di antara mereka.
"Baiklah, Refal. Nanti malam, aku akan menyusulmu di restoran," jawab Veltika akhirnya. Namun, di dalam hati, pikirannya masih tertinggal pada Denis pria yang diam-diam telah mengisi ruang hatinya lebih dalam dari yang ia bayangkan.
"Baiklah, hati-hati, Denis," ucap Refal dengan ramah saat melihat Denis melintas di depan mereka. Nada suaranya santai, seolah tak ada yang perlu dipertanyakan. Namun, Refal tak bisa mengabaikan tatapan dingin Denis yang menusuknya sesaat sebelum berlalu.
Denis berhenti sejenak, memandang Refal dengan sorot mata yang sulit diartikan. Seperti ada sesuatu yang ingin diucapkannya, tetapi ia menahan diri. "Ya, hati-hati juga," balas Denis singkat, suaranya terdengar dingin, jauh dari kesan ramah.
Tatapan mereka bertemu sesaat—dua pria dengan latar belakang yang berbeda, namun memiliki satu kesamaan: perhatian mereka tertuju pada Veltika. Denis kemudian melangkah pergi dengan cepat, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, berusaha meredam perasaan yang membuncah dalam dirinya.
Refal menoleh ke arah Veltika, mengangkat alisnya. "Dia selalu seperti itu? Sepertinya dia tidak suka padaku," ujar Refal setengah bercanda, meski ada nada ingin tahu dalam suaranya.
Veltika menghela napas pelan, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Dia hanya lelah. Hari ini cukup banyak pekerjaan di kantor," jawabnya dengan senyum tipis, mencoba mengalihkan topik.
Namun, jauh di dalam hatinya, Veltika tahu cemburu Denis bukan sekadar kelelahan. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mulai sulit mereka sembunyikan dari dunia luar.
Veltika berdiri di depan cermin, jemarinya yang ramping merapikan lipatan terakhir dari dress hitam elegan yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Kain lembut itu jatuh anggun hingga menutupi lekuk tubuhnya, memberikan sentuhan klasik yang membuatnya terlihat menawan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghalau perasaan gugup yang perlahan merayap di hatinya.
Ketika pintu kamar terbuka, Denis sudah berdiri di sana, bersandar santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Matanya langsung tertuju pada Veltika, pandangannya penuh kekaguman. Tatapan Denis seakan tak bisa berpaling, seolah-olah wanita di depannya adalah pusat dari seluruh dunianya.
"Kamu terlihat… luar biasa," ucap Denis, suaranya rendah, penuh kekaguman yang tak mampu ia sembunyikan.
Veltika tersenyum kecil, berusaha terlihat biasa saja meski jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. "Terima kasih. Tapi ini hanya makan malam biasa," balasnya sambil meraih clutch hitam kecil di meja.
Denis melangkah mendekat, matanya tetap terfokus pada Veltika. "Biasa? Aku rasa tidak ada yang biasa dari caramu terlihat malam ini," gumamnya, suaranya nyaris berbisik. Ia berdiri begitu dekat, cukup dekat hingga Veltika bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang menembus jarak di antara mereka.
Sesaat, mereka hanya saling menatap, tenggelam dalam keheningan yang diwarnai oleh ketegangan halus. Hingga akhirnya, Veltika tersadar dan melangkah mundur perlahan. "Kita tidak bisa terlambat," katanya, berusaha mengalihkan fokus mereka.
Denis menahan senyum tipis, lalu membuka pintu lebar-lebar. "Tentu. Aku akan memastikan kita sampai tepat waktu," ujarnya, meski dalam hati, ia tahu malam ini akan terasa panjang karena Refal juga akan berada di sana.
Veltika menatap Denis dengan tatapan tajam, menyembunyikan gejolak yang berkecamuk di dalam dadanya. Ia tahu Denis mengaguminya, menginginkannya dengan cara yang hampir obsesif. Namun, akhir-akhir ini, caranya memperlakukannya mulai terasa mengganggu—seolah-olah dirinya adalah milik Denis sepenuhnya, seperti barang berharga yang harus selalu berada di bawah kendalinya.
"Kita harus berangkat sekarang," Denis berkata sambil melangkah mendekat, tangannya terulur seakan ingin meraih pergelangan Veltika.
Namun, Veltika mundur selangkah, menghindari sentuhan itu. "Aku bisa pergi sendiri," ucapnya tegas, suaranya tetap lembut, tapi penuh dengan ketegasan yang sulit dibantah.
Denis mengerutkan kening, tak terbiasa menerima penolakan seperti itu darinya. "Aku hanya ingin memastikan kamu aman, Vel. Aku tidak suka membiarkanmu pergi dengan Refal," katanya, mencoba terdengar masuk akal, meskipun nada posesifnya tetap terasa jelas.
Veltika menghela napas, berusaha menahan amarah yang mulai memuncak. "Denis, aku bukan barang yang perlu diawasi setiap saat. Aku punya kehidupan sendiri, keputusan sendiri. Dan Refal hanya teman lama. Kamu harus berhenti bersikap seperti ini."
Denis terdiam, jelas tak menyukai kata-kata itu. Tapi Veltika tak peduli. Ia meraih clutch-nya dengan anggun, berdiri tegak dengan penuh percaya diri. "Jika kamu tidak bisa mempercayai aku, mungkin kita perlu bicara serius tentang hubungan ini," tambahnya sebelum berjalan melewati Denis tanpa menoleh lagi.
Di balik punggungnya, Denis mengepalkan tangan, merasa frustrasi. Ia tahu Veltika benar, tapi perasaan takut kehilangan wanita yang ia cintai membuatnya sulit mengendalikan diri.
Bu Sri yang sedang membersihkan rumah, dengan hati-hati menaiki tangga untuk mengantarkan pakaian kotor Veltika, terhenti sejenak saat mendengar percakapan mereka. Suara Veltika yang tegas dan Denis yang terdengar agak frustasi menyentuh pendengarannya. Dengan langkah pelan, Bu Sri mendekati pintu kamar Veltika dan berhenti beberapa langkah sebelum pintu, mencoba mendengar lebih jelas tanpa ketahuan.
"Denis, aku bukan barang yang perlu diawasi setiap saat," terdengar jelas suara Veltika, penuh dengan ketegasan. "Aku punya kehidupan sendiri, keputusan sendiri."
"Tapi aku hanya ingin memastikan kamu aman, Vel," suara Denis terdengar hampir memohon, diiringi dengan ketegangan yang jelas terasa dalam kata-katanya.
Bu Sri yang sudah lama bekerja di rumah ini, tentu saja tahu bahwa hubungan antara Veltika dan Denis selalu penuh dengan ketegangan. Namun, apa yang baru ia dengar kali ini lebih dalam dari sekadar kekhawatiran biasa. Ada sesuatu yang lebih. Ketegangan, mungkin bahkan jarak yang belum pernah diperlihatkan sebelumnya.
Bu Sri merasa sedikit cemas. Ia tahu, meskipun hubungan mereka tampak sempurna di luar, ada banyak hal yang belum pernah diketahui oleh orang lain, dan sekarang, ia mendengar percakapan yang menunjukkan adanya perbedaan yang mendalam antara keduanya.
Dengan hati-hati, Bu Sri mundur, memutuskan untuk kembali ke dapur. Hatinya penuh dengan pertanyaan dan sedikit rasa khawatir tentang masa depan hubungan antara Veltika dan Denis. Seperti halnya ketika ia melihat kedekatan mereka yang begitu intens, ia juga bisa merasakan ada ketegangan yang menyelimuti mereka, yang mungkin akan membuat semuanya lebih rumit dari yang terlihat.