abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Jejak dalam Kegelapan
Isabella berdiri membeku, tatapannya tertuju pada topeng menyeramkan yang tergeletak di antara reruntuhan kastil. Topeng itu tampak retak, tetapi tetap memancarkan aura mengancam. Cahaya bulan yang redup membuat lekukannya terlihat lebih tajam, lebih hidup, seolah-olah sedang menatapnya kembali.
“Tidak mungkin...” gumam Isabella.
Ia melangkah mundur, tetapi suara samar dari dalam reruntuhan membuatnya terhenti. Sebuah erangan lemah, seperti seseorang yang terluka. Isabella mendengarkan dengan seksama, dan suara itu semakin jelas.
“Isabella... tolong aku...”
Suara itu mirip dengan suara Ella, meskipun Isabella tahu itu tidak mungkin. Ella sudah mati—ia menyaksikan kematiannya sendiri.
“Siapa di sana?!” seru Isabella, suaranya bergetar.
Tidak ada jawaban, hanya suara erangan yang perlahan berubah menjadi tawa pelan. Suara itu seperti menghantam benaknya, menciptakan rasa takut yang tidak bisa dijelaskan.
Isabella mencoba mengabaikan suara itu dan berbalik untuk pergi, tetapi topeng di tanah mendadak bergerak. Ia melihatnya melompat sedikit, seperti digerakkan oleh sesuatu yang tak terlihat. Isabella menjerit, lalu segera berlari, meninggalkan reruntuhan di belakangnya.
---
Kegelapan Hutan
Hutan di sekitar kastil terasa lebih gelap daripada sebelumnya. Pohon-pohon besar dengan cabang-cabangnya yang menyerupai tangan menjulur, tampak seperti ingin menangkapnya. Angin dingin berhembus, membawa bisikan-bisikan aneh yang membuat bulu kuduk Isabella meremang.
“Isabella...” bisikan itu datang lagi. Kali ini terdengar lebih dekat.
Ia berlari tanpa arah, hanya mengikuti instingnya untuk bertahan hidup. Namun, setiap langkah yang ia ambil terasa seperti membawanya kembali ke tempat yang sama. Ia mulai merasa seperti terjebak dalam lingkaran tanpa akhir.
“Berhenti bermain-main denganku!” teriaknya, suaranya memecah kesunyian hutan.
Tiba-tiba, di depannya, ia melihat bayangan seseorang. Bayangan itu berdiri diam, mengenakan jubah panjang, dan menatapnya dengan intens. Isabella berhenti, mencoba mengatur napasnya yang memburu.
“Siapa kau?!” tanyanya dengan suara serak.
Bayangan itu tidak menjawab, tetapi Isabella mengenali sosoknya. Itu adalah pria bertopeng—atau sesuatu yang menyerupai dirinya.
“Kau sudah mati!” Isabella berteriak. “Aku menghancurkan liontin itu! Kastilnya sudah runtuh!”
Bayangan itu perlahan mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Isabella. “Kebenaran belum terungkap. Kau mungkin telah menghancurkan kastil, tetapi kau belum menghancurkan apa yang sebenarnya mengikatmu di sini.”
“Apa maksudmu?” tanya Isabella, bingung dan takut.
Bayangan itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah maju, dan wajahnya menjadi lebih jelas. Kali ini, wajah pria bertopeng itu telah berubah—ia memiliki mata yang sama dengan Ella, teman Isabella yang telah mati.
Isabella terkejut dan mundur selangkah. “Tidak... ini tidak mungkin.”
Bayangan itu tiba-tiba menghilang, meninggalkan Isabella sendirian di tengah hutan. Tetapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, tanah di bawahnya bergetar, dan sebuah tangan keluar dari tanah, mencengkeram kakinya.
Isabella menjerit dan mencoba melepaskan diri, tetapi tangan itu terlalu kuat. Kemudian, lebih banyak tangan muncul, menarik tubuhnya ke bawah. Ia berjuang mati-matian, mencakar tanah dengan kukunya, tetapi tidak ada gunanya.
---
Kembali ke Kastil
Ketika Isabella membuka matanya, ia kembali berada di dalam kastil—tetapi kali ini, kastil itu tampak lebih aneh. Segala sesuatu di sekitarnya tampak kabur, seperti mimpi buruk yang menjadi nyata.
Ia berdiri di tengah aula besar, dan di sekelilingnya ada lingkaran teman-temannya yang telah mati. Mereka semua berdiri diam, tubuh mereka penuh luka dan darah, tetapi mata mereka kosong, seperti boneka yang digerakkan oleh tali.
“Kenapa kau membawa kami ke sini, Isabella?” suara Alex terdengar, dingin dan penuh tuduhan.
“Aku tidak tahu! Aku tidak bermaksud melakukan ini!” jawab Isabella, air mata mengalir di wajahnya.
“Kau tahu,” jawab Lia dengan suara datar. “Kau tahu apa yang kau lakukan. Kau menyimpan rahasia itu dariku, dari kami semua. Rahasia yang membuat kami terjebak di sini.”
Isabella merasa tubuhnya lemas. “Rahasia apa? Aku tidak mengerti!”
Mereka semua bergerak mendekat, dan Isabella merasa dikelilingi. Setiap langkah yang mereka ambil membawa aroma kematian yang menyengat.
“Kastil ini tidak memilihmu secara acak,” suara Alex kembali terdengar. “Kau adalah pemicu segalanya. Kau membawa liontin itu, dan kau membawa kita semua ke kematian.”
---
Rahasia Tersembunyi
Isabella memutar otaknya, mencoba mengingat sesuatu yang mungkin ia lupakan. Apa yang sebenarnya terjadi sebelum mereka datang ke kastil?
Tiba-tiba, sebuah kilasan ingatan muncul di benaknya. Ia ingat malam sebelum perjalanan ke kastil. Ia menerima liontin itu dari seorang wanita tua di pasar. Wanita itu memperingatkannya tentang bahaya liontin itu, tetapi Isabella tidak peduli.
“Apa hubungan liontin ini dengan semua ini?” Isabella berteriak, mencoba mencari jawaban.
Suara pria bertopeng terdengar lagi, kali ini bergema di seluruh ruangan. “Liontin itu adalah kunci. Kau telah membuka gerbang, dan gerbang itu tidak akan pernah tertutup sampai kau menebus dosa-dosamu.”
“Apa yang harus kulakukan?!” Isabella bertanya, suaranya penuh putus asa.
“Pengorbananmu belum cukup,” pria itu menjawab. “Kau harus memberikan segalanya. Jika tidak, kastil ini akan terus hidup, dan mereka yang kau sayangi akan terus menderita.”
Isabella terdiam. Ia menatap teman-temannya yang telah mati, bayangan pria bertopeng, dan liontin yang kini kembali tergantung di lehernya, meskipun ia tahu telah menghancurkannya sebelumnya.
Dengan tangan gemetar, ia memegang liontin itu. “Jika ini satu-satunya cara...”
Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, suara tawa menyeramkan menggema di seluruh kastil. Dinding-dindingnya mulai runtuh lagi, dan lantai di bawahnya pecah, membuka jurang besar yang penuh dengan api.
Sesuatu yang lebih besar dari apa pun yang pernah Isabella lihat muncul dari jurang itu—sosok hitam dengan mata merah menyala, bertanduk seperti iblis. Makhluk itu mengulurkan tangannya, meraih Isabella.
Kastil bergetar hebat, dan Isabella merasa dirinya ditarik ke arah jurang. Dengan kekuatan terakhirnya, ia menghunus belati dan mencoba melawan, tetapi makhluk itu terlalu kuat.
“Ini belum berakhir,” bisik pria bertopeng, tepat sebelum semuanya berubah menjadi gelap.
---
Di Tengah Kegelapan
Ketika Isabella membuka matanya lagi, ia berada di tempat yang tidak dikenalnya. Langit di atasnya merah, dan tanah di bawahnya penuh dengan retakan yang menyala dengan cahaya oranye.
Kastil itu telah hilang, tetapi suara-suara dari masa lalu terus menggema di sekitarnya.
Isabella kini tahu bahwa ia tidak lagi di dunia yang ia kenal. Ia telah melangkah ke dalam neraka kastil, tempat di mana kebenaran dan kebohongan menjadi satu, dan tidak ada jalan keluar.