Dipinang adiknya, tapi dinikahi kakaknya. Loh!! Kok bisa? Terdengar konyol, tapi hal tersebut benar-benar terjadi pada Alisya Mahira. Gadis cantik berusia 22 tahun itu harus menelan pil pahit lantaran Abimanyu ~ calon suaminya jadi pengecut dan menghilang tepat di hari pernikahan.
Sebenarnya Alisya ikhlas, terlahir sebagai yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan tidak dapat membuatnya berharap lebih. Dia yang sadar siapa dirinya menyimpulkan jika Abimanyu memang hanya bercanda. Siapa sangka, di saat Alisya pasrah, Hudzaifah yang merupakan calon kakak iparnya justru menawarkan diri untuk menggantikan Abimanyu yang mendadak pergi.
*****
"Hanya sementara dan ini demi nama baikmu juga keluargaku. Setelah Abimanyu kembali, kamu bisa pergi jika mau, Alisya." ~ Hudzaifah Malik Abraham.
Follow ig : desh_puspita
******
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 05 - Sweet Dreame
"Bercanda, tidurlah ... kamu lelah 'kan?"
Belum sempat Alisya menjawab, Hudzai sudah lebih dulu meneruskan ucapannya. Bukan salah Alisya, tapi memang waktu antara Hudzai bertanya kemudian meneruskan ucapannya sangatlah dekat, nyaris tidak berjarak.
Alisya yang masih terkejut usai mendengar pertanyaan sang suami mendadak bingung sendiri. Jangankan hendak bicara banyak, tapi mendengar perintah Hudzai dia patuh begitu saja dan kembali merebahkan tubuhnya.
Tetap setia dengan posisi menatap langit-langit kamar sembari mere-mas ujung kerudungnya karena tidak memiliki keberanian cukup untuk berhadap-hadapan. Jika ditanya apa alasannya sudah pasti karena tadi dia sempat bersikap tak sopan dan bicara dengan urat.
Padahal, jelas-jelas Hudzai lembut, hanya karena dia terbawa suasana sikap sang suami yang sedemikian rupa justru Alisya anggap dingin padanya.
"Kamu tidak panas?"
"Tidak," jawab Alisya sembari menggeleng pelan.
Dia pikir Hudzai hanya akan bertanya, tapi ternyata jawaban tidak yang dia lontarkan justru membuat sang suami berpikir bahwa dirinya kedinginan.
Alhasil, tanpa diminta Hudzai menarik selimut hingga menutupi dadanya. Tak berhenti di sana, pria itu juga berusaha meraih lampu tidur di atas nakas hingga membuat jarak keduanya begitu dekat.
"Ehm lampunya mau tetap nyala atau dimatikan saja?"
Alisya sudah gugup setengah mati, tapi Hudzai justru sengaja bertanya sembari menatapnya yang membut pemilik mata bening itu berdebar tak karu-karuan.
"Nyala_ eh matiin," jawabnya sampai salah bicara.
Menatap Hudzai dari jarak sedekat ini ternyata lebih menantang. Rahang tegas dan senyum tipis yang dia miliki cukup mematikan.
Ditambah lagi, aroma khas dari parfum yang Hudzai gunakan begitu menenangkan, juga membuatnya terkesan maskulin.
"Yang mana jadinya? Nyala atau matikan?" tanya Hudzai sekali seakan sengaja berlama-lama dengan posisi mereka yang sedekat itu.
"Matikan saja," jawab Alisya sembari menahan napas sebelum kemudian mengatupkan bibir.
Hingga Hudzai selesai baru dia bisa bernapas lebih lega. "Ma-makasih, Kak."
Terlalu gugup, Alisya sampai gagap manakala mengucapkan terima kasih. Lucunya lagi, dia yang masih terbawa suasana memanggil sang suami dengan sebutan Kak karena memang sejak dulu, hanya itu yang Alisya tahu.
Sebenarnya yang dipanggil tidak masalah, dia hanya tersenyum tipis melihat gelagat sang istri di sebelahnya. Mungkin terlalu lelah menatap langit-langit kamar, Alisya kini membelakangi sang suami.
Tidak ada perdebatan sampai di sini, Hudzai yang kebetulan lelah setengah mati tidak butuh waktu lama untuk memejamkan mata.
Sementara di sisi lain, Alisya yang tidur di sebelahnya sama sekali tidak bisa tidur. Matanya terus terbuka, di bawah temaram lampu tidur dia masih sibuk dengan pikirannya.
"Kalau dipikir-pikir ternyata aku belum minta maaf ...."
Alisya membatin, malam semakin larut, tapi pikirannya tak tenang juga. Kemungkinan karena masih ada perasaan yang mengganjal, dan hati kecil Alisya menduga karena dia belum sempat meminta maaf, itu saja.
"Tapi gimana bilangnya ya?" Sebab utamanya sudah dia dapatkan, dan kini Alisya bingung bagaimana cara menyampaikan.
Dia berpikir keras, sejak kecil sudah dididik bersama teman-temannya yang lain tentang pentingnya sebuah kata maaf dalam hidup.
"Kak Hudzai maaf, tapi Alisya kas_ ah terlalu manja, nanti dia ilfeel kalau kata kak Iqlima."
"Ehm terus gimana ya? ... Maaf atas sikapku yang mungkin tanpa sengaja membuatmu terluka, sungguh aku han_ ck terlalu puitis, jatuhnya hiperbola nanti malah dianggap bercanda."
"Atau begini saja? Kak Hudzai maaf ... aku tadi tidak sopan, kalau mau hukum boleh_ aih jangan-jangan!! Nanti dihukum sungguhan belum tentu aku bisa jalankan."
Bibirnya diam, tapi hatinya begitu berisik. Setelah lama memikirkan, pada akhirnya Alisya mengambil keputusan.
Kata-kata yang dia yakini sudah siap, tapi begitu hendak bicara baru Alisya sadari bahwa dirinya terlambat. Hudzai sudah benar-benar terlelap, tapi memang tidak mendengkur jadi wajar saja Alisya tak sadar.
Dia yang tadi bermaksud meminta maaf mau tidak mau harus mengurungkan niat. Dalam diam, Alisya memandangi wajah sang suami lekat-lekat.
Semakin lama Alisya pandangi, semakin menguar rasa ibanya, padahal yang patut dikasihani adalah diri sendiri. Seakan tergerak membalas tindakan Hudzai, Alisya melakukan hal sama.
.
.
Tepat tengah malam, Hudzai merasa tak nyaman. Tubuhnya persis ditimpa batang pohon hingga perlahan dia membuka mata.
Betapa terkejutnya dia manakala sadar bahwa sesuatu yang pertama kali dia lihat ialah telapak kaki yang berada tepat di dadanya.
"Astaghfirullahaldzim, Alisyaaa."
Sembari menghela napas panjang, dia menggeleng pelan. Hudzai sampai istighfar manakala sadar jika sang istri tidur dengan posisi terbalik. Kaki di kepala, kepala di kaki dan ya, begitulah posisinya.
Berbantalkan lengan dan menjadikan kaki sang suami sebagai guling sukses membuat kesan anggun dan lemah lembut yang tertuju padanya hancur seketika.
Dalam waktu kurang dari 24 jam, Hudzai sudah menemukan sisi lain dari sosok Alisya yang digambarkan begitu sempurna bahkan katanya sempat ingin dipinang anak kiyai atau semacamnya.
"Bisa-bisanya dia tidur begitu? Di sini memang tidak ada guling atau bagaimana?" Hudzai menatap sekeliling, memang benar tidak ada guling jadi wajar saja andai Alisya mencari sesuatu yang bisa dipeluk.
Akan tetapi, kenapa harus kaki? Bukankah tubuh akan lebih masuk akal untuk dipeluk? Begitu pikir Hudzai yang kemudian menjadi bahan pertimbangan dan membuatnya bergerak cepat untuk memperbaiki posisi tidur sang istri.
Bukan karena tidak suka, tapi aneh saja. Dimana-mana, kaki untuk berjalan dan tidak ada sejarahnya jadi objek dalam berpelukan.
Tak butuh tenaga ekstra bagi Hudzai, tubuh sang istri yang begitu kurus semakin memudahkannya. Cukup hanya dengan beranjak duduk dan menarik sang istri melalui pinggangnya.
"Heuuh?" Alisya yang setengah sadar jika tubuhnya seperti melayang jelas gelagapan.
Hingga Hudzai menguncinya dalam pelukan, Alisya menggosok mata dan bermaksud menjauh. Saat itulah, Hudzai kembali menariknya hingga tubuh Alisya membentur dadanya.
"Tidur yang benar ... jangan seperti kipas angin bisa tidak? Hem?"
"Bi-bisa."
Tanpa menjawab lagi, Hudzai membuang napas kasar dan kembali memejamkan mata. Sementara itu, pelukan di tubuh sang istri tidak juga dia lepas hingga mau tak mau, Alisya harus bersedia tidur dalam kekuasaan sang suami.
Awalnya dia kaku, tapi lama kelamaan bisa menyesuaikan diri, terlebih lagi rasa kantuknya memang mendominasi.
"Masya Allah, mimpiku kali ini indah sekali ... saking indahnya aku tidak ingin terbangun lagi."
.
.
- To Be Continued -