Alden adalah seorang anak yang sering diintimidasi oleh teman-teman nakalnya di sekolah dan diabaikan oleh orang tua serta kedua kakaknya. Dia dibuang oleh keluarganya ke sebuah kota yang terkenal sebagai sarang kejahatan.
Kota tersebut sangat kacau dan di luar jangkauan hukum. Di sana, Alden berusaha mencari makna hidup, menemukan keluarga baru, dan menghadapi berbagai geng kriminal dengan bantuan sebuah sistem yang membuatnya semakin kuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4 Naira dan Lucy
Alden berjalan menyusuri jalanan Kota Nirve dengan perasaan campur aduk. Dia melewati lorong-lorong sempit dan gang berliku, berusaha mencari petunjuk di mana pencuri berkerudung kuning itu mungkin berada.
Sepanjang perjalanan, Alden mengamati sekeliling, mencoba memahami suasana kota yang penuh kontras ini.
Di satu sisi, ada kehidupan yang tampak normal dengan orang-orang beraktivitas seperti biasa; di sisi lain, dia bisa merasakan bayang-bayang kegelapan dan bisnis ilegal yang bersembunyi di bawah permukaan.
"Aku harus menemukan cara untuk bertahan di sini," gumam Alden seraya berpikir.
Masih dengan tekad mencari informasi, Alden memutuskan untuk mengunjungi kedai kopi kecil di ujung jalan. Tempat itu tampak ramai, penuh dengan berbagai tipe orang, mulai dari para pekerja yang sedang istirahat hingga para gembong bisnis gelap yang merencanakan sesuatu di pojok ruangan.
Saat dia masuk, Alden menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, mencari wajah yang tampak ramah untuk diajak bicara, hingga matanya tertuju pada seorang pria tua yang duduk sendirian dengan secangkir kopi di tangannya.
Wajahnya penuh kerutan, namun matanya mencerminkan kebijaksanaan dan mungkin tahu tentang berbagai hal di kota ini. Alden mendekat dan mengangguk sopan.
"Bolehkah saya duduk?" tanyanya. Pria tua itu menatap Alden sejenak sebelum mengangguk. "Tentu, anak muda. Apa yang membawamu ke kedai ini?"
Alden menghela napas sebelum menjelaskan situasinya, tentang kehilangan tasnya dan pencuri berkerudung kuning yang mencurinya.
Dia berharap pria tua itu mungkin memiliki informasi atau petunjuk. Pria tua itu menghela napas panjang sebelum berbicara.
"Kedengarannya seperti Naira, pencuri berbakat yang sering berkeliaran di kawasan ini. Dia terkenal sulit ditangkap, sepertinya tidak akan mudah untukmu."
Alden mencondongkan tubuh lebih dekat, tertarik dengan informasi itu. "Apa yang bisa saya lakukan untuk menemukannya?"
"Aku tidak tahu, tapi dia sering terlihat di pasar malam," lanjut pria tua itu. "Namun dia bukan orang yang mudah didekati. Jika kau ingin mengambil kembali barangmu, sebaiknya bersiap untuk menghadapi lebih dari sekadar kecepatan dan kelincahan."
Alden mengangguk, merasa berterima kasih atas petunjuk itu. "Terima kasih atas informasinya. Saya akan mencobanya."
Sebelum Alden pergi, pria tua itu menambahkan, "Berhati-hatilah, anak muda. Kota ini tidak akan bersahabat pada orang yang rapuh."
Dengan peringatan terakhir tersebut, Alden meninggalkan kafe, ia tahu bahwa pertarungan berikutnya mungkin lebih dari sekadar mengejar pencuri.
"Aku menantikan apa yang ingin kau lakukan." gumam pria tua itu dengan senyuman yang sulit diartikan.
Pada malamnya, Alden mendapati dirinya berada di pasar malam yang ramai, penuh dengan tawa dan teriakan pedagang, lampu-lampu berwarna-warni menerangi suasana yang kontras dengan efek suram kota.
Dia mulai mencari-cari sosok Naira yang mungkin sedang melakukan aksinya.
"Itu dia." Ucap Alden akhirnya mendapati bayangan berkerudung kuning di sela-sela kerumunan, Alden tahu ini adalah kesempatan yang harus dimanfaatkannya.
Dengan hati-hati, dia mempersiapkan strategi, siap untuk menghadapi apapun yang akan terjadi. Kali ini, dia tidak akan mudah melepaskan kesempatan untuk mendapatkan kembali apa yang menjadi miliknya.
Alden sadar betul bahwa menyergap Naira bukanlah tugas yang mudah. Gerakan Naira terlalu lincah di antara kerumunan, seakan dia menari dengan bayangan.
Alden mengikuti dari kejauhan, memanfaatkan keramaian untuk berlindung dari pandangan pencuri itu. Namun, suara tidak terduga dari sistem berbunyi.
[Quest baru, bantu gadis kecil yang tersesat menemui keluarganya. Hadiah 1000 koin, Vision +1, dan 1 kotak skill random tingkat E.]
"Kenapa harus sekarang," gumamnya.
Alden bertemu secara tak terduga dengan seorang gadis kecil yang sedang memegangi sebuket bunga layu. Sejenak hatinya bimbang antara mengejar Naira atau menolong gadis kecil itu.
Namun, tatapan putus asa gadis tersebut mengingatkannya pada perasaannya saat pertama kali tiba di kota ini—terasing dan tak berdaya.
Dengan lembut, Alden mendekati gadis itu.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya lembut, ia menunduk agar sejajar dengan tinggi gadis itu.
Gadis kecil itu mengangguk pelan, meskipun matanya yang berwarna coklat besar tampak berkaca-kaca. "Aku terpisah dengan kakakku," katanya dengan suara pelan yang hampir tenggelam dalam kebisingan pasar.
Alden tahu dia harus segera bertindak kalau tidak ingin kehilangan jejak Naira, tetapi dia juga tak tega meninggalkan gadis kecil ini sendirian.
Sambil berpikir cepat, dia memutuskan untuk menolong gadis itu menemukan keluarganya. Mereka berjalan menyusuri pasar, Alden memastikan bahwa dia masih bisa mengawasi kerumunan dari sudut matanya, berharap Naira tidak menghilang sepenuhnya dari pandangannya.
"Ngomong-ngomong, siapa nama kakakmu?" Alden bertanya untuk memecah keheningan.
"Namanya Naira."
"Oh, nama yang bagus," sahut Alden sebelum akhirnya ia merasakan ada sesuatu yang janggal.
"Jangan-jangan—"
"Ketemu! Kak Naira!!"
Alden hanya bisa tersenyum pahit melihat gadis kecil itu berlari memeluk Naira, sosok yang sedari tadi ia incar. Jantungnya berdegup kencang, tidak menyangka bahwa pencuri gesit yang selama ini menjadi incarannya ternyata adalah kakak dari gadis yang ditolongnya.
Naira membungkukkan badan, mendekap gadis kecil itu erat-erat sebelum menatap Alden dengan mata waspada namun berkilau lembut.
"Terima kasih telah menemukannya," katanya, suaranya lebih lembut dari yang Alden duga.
Mengambil momen ini, Alden berbicara dengan hati-hati. "Kau bisa berterima kasih dengan cara mengembalikan tasku."
Naira terdiam sejenak, "Barang-barang itu sudah tidak bersamaku," ucap Naira, suaranya tenang namun tegas.
Alden merasa sedikit tidak puas, "Aku tidak terima kebohongan."
"Aku serius, barang-barang seperti kartu identitas dan pakaian semuanya sudah kutukarkan dengan makanan dan air bersih, kau bisa memeriksa rumahku jika tidak percaya."
"Kalau begitu, bagaimana dengan uangnya? Tidak mungkin kau menghabiskannya secepat itu?"
"Keras kepala sekali."
Naira menghela napas panjang. Sebenarnya dia bisa saja melarikan diri dari Alden, namun ia masih merasa berterima kasih karena sudah menyelamatkan adiknya, Lucy.
Tidak ada akhir yang baik bagi gadis kecil yang terpisah dari keluarganya di kota itu, bahkan mungkin beberapa organisasi kriminal sudah mengawasi Lucy sebelum bertemu dengan Alden.
"Aku berhutang budi padamu, jadi aku berjanji akan mendapatkan kembali barang-barangmu," ujar Naira, malas berurusan dengan hal yang tidak penting.
"Itu sudah wajar, lagipula kaulah yang mengambil dariku."
"Terserahmu saja, sekarang pergilah. Aku akan menemuimu besok untuk menjelaskan situasinya lebih lanjut."
Naira ingin segera pergi dari hadapan Alden untuk menghindari tuntutan lebih lanjut, namun Alden langsung menghentikannya.
Alden tidak punya tempat untuk bermalam, jadi dia meminta Naira untuk memberinya tempat tinggal sementara.
Naira ingin menolak, namun itu juga kesalahannya karena mengambil dan menghabiskan seluruh uang curian. Sekarang ia tidak bisa menolak kedatangan korban yang datang untuk mengeluh.
"Ugh, merepotkan."
Saat malam menelan kota, lingkungan dengan reputasi kriminalitas tinggi berubah menjadi dunia yang berbeda.
Jalanan menjadi senyap, hanya sesekali dipecahkan oleh bunyi langkah tergesa atau suara kendaraan yang melaju kencang.
Suasana mencekam terasa di udara, seolah-olah setiap sudut kota mengisyaratkan peringatan akan bahaya yang tidak terlihat.
Pemilik toko menutup kedai mereka lebih awal, dan para penghuni memilih berdiam diri di dalam rumah untuk menghindari risiko yang tak terduga.
Di sudut-sudut terpencil, kelompok-kelompok kecil tampak berbisik, berbicara dalam nada rendah.
Mereka adalah bagian dari realitas malam di lingkungan ini—sosok yang memanfaatkan kegelapan untuk menjalankan bisnis ilegal atau sekadar mempertahankan teritori.
Bagi para penduduk, malam hari adalah iklim ketidakpastian. Mereka bisa saja menjadi saksi atau korban kejahatan.