NovelToon NovelToon
Sebuah Titik Di Horizon

Sebuah Titik Di Horizon

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:960
Nilai: 5
Nama Author: Gama Lubis

Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.


Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bertemu

Jam sembilan empat puluh lima menit. Itu adalah waktu yang tertera di arloji milik Naima. Setelah berdesak-desakan di angkot selama satu setengah jam, tubuhnya terasa penat. Tapi akhirnya mereka sampai di Wonosobo, lebih tepatnya di stasiun Wonosobo menuju Semarang. Syukurlah mereka tiba lebih cepat dari yang diperkirakan. Kalau tidak, tiket kereta yang sudah mereka pesan akan hangus, dan mereka harus menunggu kereta selanjutnya.

Naima duduk di kursi tunggu, kedua tangannya bertumpu di pangkuan, memainkan tali arlojinya tanpa sadar. Di sebelahnya, Susi asyik mengunyah roti yang baru saja dibeli di warung depan stasiun. Aroma manis roti itu sempat tercium oleh Naima, tapi ia terlalu lelah untuk tergoda. Sementara itu, Bimo baru saja kembali dari kamar mandi, bergabung dengan Malik dan Rizal yang duduk di depan mereka. Ketiganya sibuk menatap layar ponsel masing-masing, sesekali terdengar tawa kecil dari Bimo yang mungkin membaca sesuatu yang lucu.

“Oiya, siapa yang pesan tiket?” tanya Naima sambil memiringkan kepalanya, memecah kesunyian di antara mereka.

Malik, yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, mendongak sambil mengerutkan dahi. “Bimo, ’kan?” tanyanya, memastikan.

Bimo, yang duduk dengan posisi santai sambil menyandarkan punggung ke kursi, mengangguk ringan. “Iya, gue yang pesen. Kita dapet gerbong dua semua, tapi nomor kursinya acak,” jawabnya dengan nada santai, seolah hal itu bukan masalah besar.

Susi mengerutkan alisnya sejenak. “Acak? Jadi kita nggak duduk bareng?” tanyanya dengan nada sedikit cemas, membayangkan harus duduk dengan orang asing selama perjalanan.

Rizal tersenyum tipis, menenangkan. “Santai, Sus. Yang penting kita satu gerbong. Duduknya bisa diatur nanti, asal nggak rebutan sama penumpang lain,” ucapnya sambil mengangkat bahu.

Bimo, yang sejak tadi diam, tiba-tiba menyela sambil tertawa kecil. “Udah, nggak usah ribet. Kalo acak ya acak aja. Siapa tau dapet jodoh Lo Sus,” ucapnya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.

Susi mendengus pelan, jelas menunjukkan ketidakpuasannya. Tapi, ia tidak mengeluarkan protes, hanya melipat tangan di dada dan memasang ekspresi kesal. Teman-temannya, sebaliknya, tampak santai, tidak terlalu mempermasalahkan posisi duduk yang acak.

Langit hari ini begitu cerah, dengan warna biru memukau yang hampir sempurna. Awan-awan putih bergerak perlahan, seperti iring-iringan yang dituntun oleh angin. Naima mendongak, membiarkan pandangannya menyapu hamparan langit luas. Ia menyandarkan punggungnya di kursi, mencoba mengendurkan otot-otot tubuh yang masih terasa kaku setelah perjalanan panjang.

Angin pagi itu bertiup lembut, menyentuh kulit dengan sentuhan dingin yang menenangkan. Ia membawa aroma khas stasiun—campuran bau besi rel yang berkarat, kayu tua yang lapuk, dan debu yang menyelimuti setiap sudut peron. Di antara itu semua, tercium pula wangi makanan hangat dari warung-warung sekitar, membaur seperti melodi yang tak terlihat. Suasana stasiun begitu hidup, penuh dengan aktivitas kecil yang terasa kontras dengan kekosongan di pikiran Naima.

Di kejauhan, terdengar suara kereta berdengung kencang, seperti seekor raksasa logam yang mendekat perlahan. Suara itu memecah suasana pagi yang sebelumnya tenang, memanggil para penumpang untuk bersiap. Kereta akan datang dalam hitungan menit.

Beberapa penumpang mulai bangkit dari tempat duduk mereka. Ada yang merapikan barang bawaan, ada pula yang sibuk memastikan tiket mereka masih tersimpan dengan baik. Di sudut lain, beberapa orang berdiri mendekati rel, mengambil take video singkat dengan latar belakang kereta yang sebentar lagi tiba. Mungkin untuk mengisi media sosial mereka, pikir Naima. Semua orang tampak sibuk dengan caranya masing-masing, menyibukkan diri di tengah waktu yang terus berjalan.

Sementara itu, suara pengumuman dari pengeras suara menggema, memberitahu kedatangan kereta yang semakin dekat. 

Naima dan kawan-kawan lekas menaiki kereta begitu kereta itu berhenti. Orang-orang berdesakan, berlomba-lomba masuk ke dalam gerbong, seolah waktu tak cukup untuk semua. Suara derit pintu dan langkah kaki tergesa memenuhi udara, menciptakan riuh yang khas dari stasiun.

Naima mengikuti langkah teman-temannya, berusaha menjaga jarak agar tidak terpisah. Tas kecilnya ia peluk erat di depan dada, sesekali matanya melirik ke arah tiket di tangannya untuk memastikan nomor kursinya. Di belakangnya, Susi menggerutu pelan.

“Duh, rame banget, kayak antrian sembako aja,” ucap Susi sambil berusaha menyeimbangkan tubuhnya di tengah dorongan penumpang lain.

Bimo yang berada di depan mereka menoleh ke belakang, senyumnya tipis. “Sabar, Sus. Namanya juga kereta ekonomi, nggak ada istilah sepi,” katanya dengan nada santai, seolah sudah terbiasa dengan keramaian seperti ini.

Setelah berhasil masuk ke dalam gerbong, Naima berhenti sejenak untuk mencari tempat duduknya. Matanya menyapu deretan kursi yang hampir penuh. Di antara itu, ia melihat pasangan muda yang duduk bersebelahan, seorang ibu dengan anak kecil di pangkuannya, dan beberapa remaja yang sibuk memainkan ponsel.

“Nomor kursi gue di sini,” ujar Bimo sambil menunjuk salah satu kursi di dekat jendela. Ia segera duduk, lalu melambai pada yang lain. “Lo semua di sebelah mana?”

Naima melihat tiketnya lagi. “Kursi gue nomor 12B, di sana,” katanya sambil menunjuk ke deretan kursi yang sedikit lebih jauh. Ia menoleh ke Susi dan Malik, memastikan mereka juga tahu posisi kursi masing-masing.

“Gue 12C, sebelah lo, Aim,” sahut Susi sambil tersenyum lega. “Untung nggak jauh-jauh.”

Malik melirik tiketnya dengan wajah bingung. “Nomor gue 14D. Ah, jauh amat dari kalian,” katanya dengan nada setengah protes.

Rizal hanya mengangkat bahu. “Gue malah di 10A, bro. Udah, nikmatin aja. Nanti juga kita bisa ngobrol lagi pas sampai.”

Naima hanya tersenyum kecil, lalu berjalan menuju tempat duduknya. Dengan langkah ringan, ia mencoba mengabaikan keramaian di sekitarnya. Saat menemukan kursinya, ia segera duduk dan meletakkan tas di pangkuan. Pandangannya mengarah ke jendela, mencoba menikmati pemandangan luar yang perlahan bergerak saat kereta mulai melaju.

Susi di sebelahnya sudah terlelap beberapa waktu lalu, kepalanya miring ke arah jendela, napasnya terdengar pelan dan teratur. Kereta bergerak dengan ritme yang monoton, menciptakan getaran halus yang seolah menjadi lagu pengantar tidur. Perjalanan mereka memang panjang, dan tidur singkat tadi malam belum cukup untuk benar-benar mengistirahatkan tubuh.

Naima sendiri tetap terjaga. Matanya memandang kosong ke luar jendela, ke hamparan sawah yang membentang tanpa ujung. Ia mencoba menikmati ketenangan itu—ritme kereta, angin dingin dari AC, dan suara desis roda yang bergesekan dengan rel. Tapi, entah kenapa, rasa gelisah itu tetap menghantui.

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.

Di pemberhentian berikutnya, saat beberapa penumpang naik, seorang pria tiba-tiba duduk di kursi tepat di hadapannya. Gerakannya santai, nyaris tanpa beban, seolah dunia ini miliknya. Naima mengangkat wajah, sekilas ingin memastikan siapa yang baru saja mengganggu ruangnya.

Dan detik berikutnya, tubuhnya membeku.

Matanya membola, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Jantungnya mendadak berdegup kencang, seperti dipukul palu bertubi-tubi. Tangannya yang semula tergeletak di pangkuan perlahan mengepal tanpa sadar. Udara di sekitarnya terasa berubah, menjadi lebih berat dan menekan.

Yudha.

Lelaki itu tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah ia lupakan—penuh kesan arogan, dingin, dan sedikit meremehkan. Matanya menyapu wajah Naima, seperti membaca reaksi gadis itu dengan sangat detail.

“Lama tidak bertemu, Naima,” katanya santai, dengan nada rendah yang menusuk.

Naima tidak menjawab. Napasnya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang mengikat dadanya. Bayangan masa lalu yang ia coba lupakan seketika menyerbu pikirannya, membuatnya sulit untuk berpikir jernih.

Yudha bersandar di kursinya, masih dengan senyum kecil yang memuakkan. “Apa kabar?” tanyanya ringan, seolah-olah tidak ada apa-apa di antara mereka.

Namun, Naima tidak terjebak lagi. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tidak ingin terlihat lemah, tidak di hadapan lelaki ini.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dingin, suaranya nyaris bergetar, tapi ia berusaha terdengar tegas.

Yudha terkekeh kecil, seolah pertanyaan itu adalah hal paling lucu yang pernah ia dengar. “Kebetulan saja,” jawabnya santai. “Kita memang ditakdirkan bertemu lagi, Naima.”

Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang bisa Naima bayangkan. Ia tahu Yudha. Ia tahu betul cara lelaki itu bermain dengan kata-kata, menciptakan jebakan halus yang sulit dihindari. Tapi kali ini, ia tidak akan jatuh lagi.

Naima menatap Yudha tajam, tatapan yang penuh dengan rasa muak dan kemarahan yang tertahan. 

Yudha memiringkan kepala sedikit, ekspresinya seperti seseorang yang melihat hal lucu. “Ah, aku berharap apa. Tentu saja kamu akan bereaksi begitu, ’kan?” katanya, dengan nada bercampur antara keluhan dan ejekan. Senyumnya miring, penuh kesan meremehkan. “Tapi justru itu yang bikin aku rindu, tahu?”

Naima mengeratkan cengkeraman di ujung bajunya, mencoba menahan diri. Suara Yudha seperti racun yang merembes perlahan, membuat dadanya terasa sesak. “Menjauh dari aku, Yudha,” katanya dengan suara bergetar ringan, meski dia berusaha keras terdengar tegar.

Yudha terkekeh pelan, tapi ada nada sinis yang terselip di sana. “Hm, aku tersinggung, loh,” ucapnya, suaranya rendah namun menusuk. “Kamu kelihatan nggak mau banget ketemu aku?”

Naima mendelik, tatapannya tajam, namun dia tetap menahan diri. Dia tahu cara kerja Yudha—kata-katanya seperti jebakan yang licik, manipulatif, dengan racun yang terselubung di setiap nadanya.

Yudha melangkah sedikit lebih dekat, mengabaikan penolakan Naima. “Kamu tahu, Naima,” katanya, suaranya kini lebih rendah, lebih tajam, dan hampir mendesak. “Aku terus memikirkan kamu, loh. Setiap hari.”

Naima tidak menjawab, tapi sorot matanya berubah. Dari kegelisahan, kini menjadi kemarahan yang ia coba kendalikan. Dia bisa merasakan perangkap itu—perangkap yang dulu pernah menjebaknya, membuatnya kehilangan sebagian dari dirinya.

“Kamu nggak ingat waktu yang pernah kita habiskan bersama?” lanjut Yudha, kali ini dengan nada yang dibuat-buat prihatin. Senyumnya samar, penuh kepalsuan. “Aku ngerti kok. Aku salah waktu itu. Maaf. Tapi... kamu mau, ’kan, kita seperti dulu lagi?”

Naima terdiam. Tapi di dalam kepalanya, pikirannya berputar liar. Kata-kata Yudha itu seperti belati yang menggores luka lama, mencoba membuka kembali rasa sakit yang telah ia kubur dalam-dalam.

Yudha tersenyum lebih lebar kali ini, senyum yang memuakkan. Dia mengangkat tangannya, hendak menyentuh wajah Naima, seolah-olah mencoba mendekatkan dirinya lebih jauh.

Namun, sebelum tangannya menyentuh kulitnya, Naima lebih dulu menepis dengan kasar. Tubuhnya bergerak cepat, hampir refleks, seperti menangkis sesuatu yang menjijikkan.

“Berhenti ganggu saya!” seru Naima lantang, suaranya menggema di dalam gerbong. Dia bahkan berdiri dari tempat duduknya, tubuhnya bergetar ringan, entah karena amarah atau adrenalin yang meluap. Kata-katanya tegas, penuh emosi yang selama ini ia tahan.

1
sSabila
Hai kak aku udah baca beberapa part dan sudah aku like, ceritanya bagus banget kak

Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"

Ditunggu ya kak
Beerus
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
gamingmato channel
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
☯THAILY YANIRETH✿
Mantap jiwaa!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!