Zeona Ancala berusaha membebaskan Kakaknya dari jeratan dunia hina. Sekuat tenaga dia melakukan segala cara, namun tidak semudah membalikan telapak tangan.
Karena si pemilik tempat bordir bukanlah wanita sembarangan. Dia punya bekingan yang kuat. Yang akhirnya membuat Zeona putus asa.
Di tengah rasa putus asanya, Zeona tak sengaja bertemu dengan CEO kaya raya dan punya kekuasaan yang tidak disangka.
"Saya bersedia membantumu membebaskan Kakakmu dari rumah bordir milik Miss Helena, tapi bantuan saya tidaklah gratis, Zeona Ancala. Ada harga yang harus kamu bayar," ujar Anjelo Raizel Holand seraya melemparkan smirk pada Zeona.
Zeona menelan ludah kasar, " M-maksud T-Tuan ... Saya harus membayarnya?"
"No!" Anjelo menggelengkan kepalanya. "Saya tidak butuh uang kamu!" Anjelo merunduk. Mensejajarkan kepalanya tepat di telinga Zeona.
Seketika tubuh Zeona menegang, mendengar apa yang dibisikan Anjelo kepadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
"Bu Zalina, sudah berapa lama anda mengalami sakit panggul dan kencing berdarah seperti ini?" tanya Dokter lelaki yang berada di depan Zalina.
Zalina tak lekas menjawab, dia sedang mencoba mengingat-ingat. "Kalau sakit panggulnya sudah agak lama. Tapi awal-awal tidak sesakit sekarang ini. Hanya sakit biasa. Jadi hilang timbul. Satu bulan ke belakang, jadi agak sering dan semakin sakit. Untuk kencing berdarahnya baru tadi pagi saja, Dok," papar Zalina menjelaskan.
Dokter muda itu mengangguk-anggukan kepala. "Baiklah Bu. Silakan Ibu berbaring dulu. Saya akan memeriksa keadaan Ibu. Mudah-mudahan tidak ada penyakit serius ya?"
Zalina beranjak dari kursi menuju ranjang pemeriksaan. Dia membaringkan badan sesuai perintah Dokter.
"Ya Tuhan ..." Air mata jatuh tak tertahan dari pelupuk mata Zalina. Dia terduduk lesu di sebuah bangku taman. Memandang nanar pada kertas putih yang ada di tangan.
Kertas dengan logo rumah sakit terkenal di Ibukota. Zalina seperti kehilangan separuh nyawa saat membaca semua keterangan tentang penyakit yang dideritanya. Belum lagi penjelasan dari Dokter yang tadi memeriksanya.
Semuanya seperti sebuah palu raksasa yang menghantam dada dan merontokan organ penting di dalamnya.
"Ya Tuhan ..." Zalina sesenggukan dengan kedua tangan menutup muka. Dunianya benar-benar sudah runtuh. Tak ada lagi harapan yang tertinggal. Semuanya menguar bersama vonis yang dikatakan Dokter.
"Bu Zalina, anda terdiagnosis mengidap kanker rahim stadium tiga."
"Zeona ... umur Kakak sudah tak lama lagi." Hancur sudah segalanya. Zalina benar-benar merasakan putus asa. Dia meratap, menangisi nasib buruk yang menimpanya.
Langit berlukiskan awan jingga menjadi saksi betapa hancurnya jiwa raga Zalina. Penyakit yang dideritanya saat ini mungkin teguran ataukah azab dari Tuhan atas pekerjaan hina yang selama ini ia lakukan.
Tapi apakah itu adil?
Padahal Zalina melakukan pekerjaan itu karena terpaksa demi menyambung hidupnya dan juga adik tersayangnya.
"Ya Tuhan ... ampunilah segala dosaku. Jika ada kesempatan, aku ingin sekali bertaubat dan kembali ke jalan yang benar."
_________
"Zeo, aku pulang dulu ya? Mas Anjel bentar lagi pulang. Tadi dia nelepon aku, katanya lagi di jalan!" beri tahu Meta yang membuat Zeona sedikit memberengutkan wajah.
Ada sedikit rasa takut yang menjalar saat ingat pada kejadian semalam. Di mana Anjelo mengerjainya dengan sangat liar dan keras. Padahal tadi malam adalah yang pertama untuk Zeona. Tapi dirinya langsung dihadapkan pada naf su membara seorang Anjelo. Zeona was-was, di takut jika sore ini, Anjelo akan mengerjainya lagi.
"Zeona!" Lamunan itu buyar karena Meta menoel-noel pipi Zeona.
"Eh i-iya Kak Nta." Zeona menyahuti seruan Meta.
"Kenapa bengong?" Meta mengerutkan kening.
"Nggak papa, Kak." Zeona berusaha menyembunyikan ketakutannya. Dia tidak mau merepotkan Meta. Sepupu Anjelo itu sangat baik sekali padanya. Dia merasakan seperti sedang berada di samping sosok kakaknya. "Kak Nta, t-terima kasih sudah menemaniku. Hati-hati di jalan ya, Kak." Zeona membungkukan sedikit badannya.
"Iya, Zeo. Aku pulang dulu ya, bye!" Zeona mengantarkan Meta sampai ke ambang pintu.
"Hai Mas!" Berseru Meta saat berpapasan dengan Anjelo di lobi. "Jangan lupa transfer ya ke rekeningku. Dua kali lipat loh! Aku 'kan udah nemenin dia!" kekeh Meta dengan kerlingan menggoda.
Anjelo berdecih seraya menjitak pelan kepala adik sepupunya itu. "Pulang sana!" Dia mendorong tubuh Meta.
"Iya. Iya!" sungutnya cemberut. Namun detik selanjutnya Meta tersenyum kecil. "Mas, kalau sekarang mau main lagi, harus pelan-pelan. Jangan kayak singa yang kelaperan. Kasihan anak orang sampe demam dan meriang! Buas banget sih jadi cowok!" sindir Meta seraya lari terbirit-birit karena Anjelo sudah mengangkat tangannya untuk menjewer telinga Dokter muda itu.
"Dasar sepupu kurang ajar!" dengus Anjelo menarik kembali tangannya, lalu memasukan ke dalam saku celana. Dia masuk ke dalam lift untuk menuju ke unit apartemennya.
"Mbak Meta?" Yang disapa langsung mengerutkan dahi.
"Eh, ada Mas Eric. Lagi nungguin Mas Anjel ya?" todong Meta seraya tercengir lucu, memamerkan gigi kelincinya yang sebesar kapak 212.
"Tidak Mbak. Saya cuma disuruh nganterin saja. Tidak disuruh menunggu. Bapak katanya mau menginap lagi di sini," jelas Eric dengan suara lembut mendayu.
"Ooh begitu ya?" Berbanding terbalik dengan Meta yang agak pecicilan. "Yaudah deh, kalau gitu, aku duluan ya, Mas?" Meta melanjutkan langkah untuk mencegat taksi di depan jalan sana. Niat itu terhenti karena suara Eric mengintruksi.
"Tunggu Mbak!"
"Ada apa lagi Mas?"
"Bagaimana kalau Mbak Meta pulang bareng saya saja? Tujuan kita 'kan searah."
Senyum lebar terbit dan Meta langsung menganggukkan kepala. "Ok Mas Eric!"
Sementara itu di dalam unit hunian Anjelo, lelaki itu menghampiri istri keduanya yang duduk memepet kepala ranjang. Zeona menundukkan kepala sambil meremat jemari.
"Bagaimana keadaan kamu?" Anjelo menjatuhkan tubuhnya di samping Zeona. Membuat gadis berkaos putih kebesaran itu menegang.
"Ss-sudah baikan, Tuan. Ss-saya sudah sehat kembali." Zeona menjawab dengan suara gugup. "M-maafkan saya karena sudah merepotkan Tuan?"
Usapan lembut terasa mendarat di punggung Zeona. Gadis itu seketika menegakkan kepala. Rasa geli menjalar. Membuat dia mendesis tak wajar.
Tangan Anjelo mulai masuk ke balik kaos berlengan pendek yang dipakainya. Mengusap punggung mulus itu dari atas ke bawah.
"T-Tu-an ..." Susah payah Zeona mengeluarkan suara karena rasa geli akibat perbuatan lelaki dewasa di sampingnya.
Bukannya berhenti, tangan lebar dan panjang itu kini berpindah ke bagian depan. Mengusap perut rata Zeona dan naik ke atas dada. Menelusup lewati kain kacamata. "Ssshh ..." Suara syahdu lolos dari bibir Zeona ketika Anjelo memainkan puncak gunungnya.
"I want to f() ck you again, Zeona!"
Melebarlah kedua mata Zeona mendengarnya. Jantungnya mulai berdetak tak beraturan. Ingin menolak, tapi Zeona ingat pada perjanjian.
Bahwa kapanpun dan di manapun Anjelo menginginkan tv bvhnya, maka Zeona tidak boleh menolak dan membantah. Tak ada hak untuk melakukan itu.
"Kamu adalah milikku Zeona. Kamu adalah wanitaku. Pemu as naf suku dan pengha ngat ranjangku! Seumur hidupmu, kamu akan menjadi budak n a f su ku!"
Perkataan itu tidak bisa dibantah. Karena Zeona sudah terikat hitam di atas putih. Pernikahan sirinya dengan Anjelo murni keinginannya sendiri dan dia jugalah yang menawarkan diri untuk menjadi budak n a f s u lelaki kaya raya itu, demi untuk membebaskan kakaknya dari jeratan dunia hina.
Zeona sudah merebah di atas tempat tidur. Sementara Anjelo sedang sibuk mencum bui gunung indah berbentuk bulat dan padat. Meng hi sapnya bagai seorang bayi yang kelaparan.
"T-tuan ... ka-pan anda a-akan membe-baskan Ka-kak ss-saya?" Suara Zeona terpatah-patah karena rasa geli yang ia rasa.
Anjelo mengangkat wajahnya sejenak. Menyisakan cecap basah di dada indah Zeona yang kini sudah memerah. "Malam ini, Zeona. Maka dari itu, kamu harus memuaskan saya!"
Makasih udah baca😊