Attention!! Lapak khusus dewasa!!
***
Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
Tolong bijak dalam memilih bacaan. Buat bocil gak usah ikut-ikutan baca ini, ntar lu jadi musang birahi!
Gak usah julid sama isi ceritanya, namanya juga imajinasi. Halu. Wajar saja kan? Mau kambing bertelor emas juga gapapa. :"D
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Takdir Dari Semesta
Hampir saja Vincent terhanyut dalam pelukan Megan. Tapi sebelum ia benar-benar kehilangan kontrol, bayangan Valeska tiba-tiba menyeruak di pikirannya—mengingatkannya pada sesuatu yang lebih berarti daripada nafsu sesaat.
Matanya langsung terbuka. Ia sadar sepenuhnya sekarang. Perempuan di depannya bukan Valeska.
Vincent buru-buru menarik diri, melepaskan ciuman itu, bahkan mendorong tubuh Megan hingga perempuan itu terjatuh di atas tempat tidur.
“Vin?! Apa-apaan kamu?” seru Megan, jelas terkejut dengan perubahan sikapnya yang mendadak. Tangannya sibuk merapikan baju tidurnya yang sedikit berantakan. “Kenapa kamu dorong aku?”
Tapi Vincent hanya berdiri di ujung tempat tidur, menyeka bibirnya seolah ingin menghapus apa yang baru saja terjadi. Tatapan matanya dingin dan penuh penyesalan.
“Hampir saja gue masuk perangkap lo,” ucapnya dengan nada rendah tapi tajam.
Megan terdiam, matanya membulat penuh protes. “Perangkap? Maksud kamu apa?”
Namun Vincent tak peduli lagi. Tanpa menjawab, ia mengambil jaketnya yang tersampir di kursi, lalu berjalan keluar dari kamar Megan.
“Vincent! Vincent, kembali ke sini!” teriak Megan dari belakang. Tapi lelaki itu tidak berhenti, bahkan tidak menoleh.
***
“Shit!” Vincent memukul setir mobilnya, frustrasi dengan dirinya sendiri.
Ia marah-marah karena hampir membiarkan dirinya terjebak dalam skenario yang dibuat Megan. Tapi lebih dari itu, ia marah karena bahkan di tengah semuanya, ia tidak bisa mengalihkan pikirannya dari satu orang: Valeska.
Mengambil napas panjang, Vincent mengarahkan mobilnya ke tempat yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang. Taman kota. Hanya di sana ia bisa melarikan diri dari kekacauan yang terus berputar di kepalanya.
Setelah memarkir mobil di area parkir yang dijaga tukang parkir ilegal, Vincent membeli beberapa makanan ringan dan minuman dari kios kecil di dekat gerbang. Kemudian ia masuk ke dalam taman yang sudah sepi, memilih spot di dekat danau buatan.
Vincent duduk di atas rumput, menghadap air yang tenang. Ia membuka bungkus rokok, menyalakannya, dan menghembuskan asap perlahan ke udara. Langit malam itu kosong. Tidak ada bulan, tidak ada bintang. Hanya kegelapan yang menemaninya.
“Permisi.” Tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya dari belakang.
Vincent menoleh, dan apa yang dilihatnya membuat napasnya tertahan. Seorang gadis berdiri di sana, mengenakan hoodie pink yang kebesaran, membawa secangkir minuman panas di tangannya.
Valeska?
Itu pasti khayalan, pikir Vincent. Tapi suara gadis itu terdengar lagi.
“Boleh gabung nggak?” tanyanya lembut.
Mata Vincent membulat. Gadis itu benar-benar ada di depannya sekarang. Saat ia sudah hampir menyerah mencarinya, Valeska justru muncul begitu saja—di momen yang sama sekali tidak terduga.
“Lo…” Vincent hampir mengucapkan namanya, tapi suara itu tertahan di tenggorokan.
“Ya?” Valeska mengangkat alis, bingung dengan reaksi Vincent yang seperti mengenalnya.
Vincent buru-buru menggeleng, mencoba bersikap normal. Ia menarik senyum santai. “Lo mau gabung? Duduk aja.”
Valeska tersenyum kecil sebelum duduk bersila di samping Vincent, jarak mereka hanya beberapa sentimeter.
Vincent masih tidak percaya. Bagaimana ini mungkin? Bagaimana ia bisa bertemu dengannya di tempat dan waktu seperti ini?
“Hmm ... sepi ya,” gumam Valeska sambil memandangi danau.
“Karena udah tengah malam,” jawab Vincent, menyalakan rokok baru untuk menyembunyikan kegugupannya.
Valeska terkekeh kecil. “Bukan itu maksud gue. Maksud gue…” Ia menunjuk ke atas, ke arah langit. “Langitnya. Kosong.”
Vincent menatap ke atas, mengikuti arah tunjuknya. “Ah, iya. Nggak ada bulan. Nggak ada bintang.”
“Mereka lagi mager kali ya,” kata Valeska, tertawa kecil.
Vincent ikut tersenyum. “Atau lagi sibuk. Nggak sempat keluar.”
Valeska tertawa lagi, lebih lepas kali ini. Tawanya membuat Vincent merasa aneh. Tenang, tapi sekaligus resah.
Ia memandang gadis itu dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Bagaimana mungkin ia terlihat begitu santai—begitu bahagia? Bukankah ia seharusnya teringat tentang malam di bar?
"Lo masih pelajar?" Vincent membuka percakapan sambil menyelipkan nada pura-pura ingin tahu di suaranya.
Valeska mengangguk. "Iya, kelas 12."
"Kelas 12?" Vincent mengangkat alis. "Terus kenapa keluyuran tengah malam begini?"
"Oh itu," jawab Valeska santai, "tadi abis nganterin kakak kerja. Kebetulan dia dapat shift malam. Jadi sekalian mampir sini dulu."
Vincent melirik jam tangannya, memastikan sesuatu. "Tapi sekarang udah jam 12 malam, loh. Lo nggak takut keluyuran segini?"
Valeska menggeleng kecil, senyumnya terulas tipis. "Orang sini kenal sama saya kok. Lagian rumah saya nggak jauh. Yang jaga parkir juga kakak sepupu saya."
"Oh, pantesan," gumam Vincent, mulai paham. "Jadi lo sering main ke sini?"
"Nggak juga," jawab Valeska sambil memainkan tali hoodie-nya. "Cuma kalau lagi banyak pikiran aja."
Di bawah cahaya temaram lampu taman, Vincent akhirnya menyadari sesuatu yang sejak tadi tertutupi oleh senyum ceria Valeska: kesedihan yang dalam, terpancar jelas di matanya.
"Berarti sekarang lagi banyak pikiran?" Vincent bertanya hati-hati.
Valeska tertawa kecil, tapi suaranya terasa getir. "Banyak banget."
Vincent memilih diam, membiarkan gadis itu berbicara lebih jauh.
"Baru pelajar udah sok-sokan banyak beban hidup," canda Valeska, meskipun matanya masih menyimpan jejak sendu.
"Hhh..." Valeska menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Hidup itu aneh, ya. Kadang rumit juga."
Tatapan Vincent tetap tertuju padanya. Ia tahu, sesuatu yang besar sedang gadis itu coba pendam.
"Saya baru aja kehilangan sesuatu yang berharga," lanjut Valeska lirih, nyaris seperti bisikan.
DEG!
Jantung Vincent berdegup kencang. Ia meneguk ludah, tiba-tiba merasa gugup. "Be-benarkah?" tanyanya, berpura-pura tidak tahu apa yang dimaksud gadis itu.
"Iya," jawab Valeska, suaranya hampir tenggelam di antara desah angin malam.
"Udah lo cari apa yang hilang itu?" Vincent mencoba menjaga nada bicaranya tetap santai, walaupun pikirannya mulai berantakan.
Valeska menggeleng kecil, menunduk sebentar sebelum menjawab. "Buat apa dicari? Nggak akan balik lagi, kok. Yang gue cari sekarang itu pencurinya."
Pencurinya. Kata itu terdengar seperti tamparan keras di telinga Vincent. Tenggorokannya terasa kering. "Oh ya?" Ia mencoba tetap tenang. "Memangnya ... apa yang dia curi?"
Valeska menatapnya dengan ekspresi datar, tapi sorot matanya penuh emosi. "Rahasia."
Vincent menelan ludah lagi. Rahasia? Tentu saja dia tahu yang dimaksud gadis itu adalah keperawanannya.
"Ya udah," gumam Vincent dengan tawa hambar yang terdengar sangat dipaksakan. "Semoga pencurinya cepat ketemu, ya."
Valeska hanya mengangguk, senyumnya pahit.
"Kalau kamu sendiri," gadis itu menoleh padanya, "kenapa ada di sini?"
"Sama," jawab Vincent, mencoba membelokkan perhatian. "Lagi banyak pikiran juga."
"Oh, begitu ya?"
Hening beberapa saat sebelum Valeska bertanya lagi, kali ini dengan antusias. "Nama kamu siapa, sih?"
"Vincent."
"Wow!" Valeska membelalakkan matanya.
"Kenapa?" Vincent ikut mengerutkan dahi, bingung dengan reaksi gadis itu.
"Namaku Valeska. Awal nama kita hurufnya sama! Ini pasti takdir," seru Valeska sambil tersenyum lebar.
Vincent tertawa kecil, ia sendiri baru saja menyadari hal itu sekarang. "Ah, iya. Benar juga."
"Lo udah kerja?" tanya Valeska lagi.
"Iya."
"Di mana?"
"Everleigh Group."
Mata Valeska melebar lagi. "Nggak mungkin! Kakak aku kerja di sana juga!"
Vincent memasang ekspresi terkejut palsu, berakting sangat meyakinkan. "Serius? Wah, kebetulan banget!"
"Iya!" seru Valeska dengan semangat, lalu mendadak seorang pria memanggil dari kejauhan.
"VAL!"
Valeska menoleh sambil melambaikan tangan. "SONY!"
Vincent menegang seketika. Wajahnya memucat saat melihat siapa yang sedang mendekat.
Sony.
Lelaki itu adalah salah satu saksi malam di bar waktu itu—orang yang bisa menghancurkan semua kebohongan Vincent dalam satu kalimat.
'Gawat.' Batin Vincent mulai panik. "Gue harus mikir cara buat kabur sebelum semuanya terbongkar.'
...****************...