Sleep With Tuan CEO
Vincent masuk ke bar itu dengan langkah santai, tapi fokusnya setengah ke telepon di tangan. Musik menggema, menghantam udara seperti denyut jantung kota yang liar. Sambil menempelkan ponsel ke telinga, ia berusaha mendengar suara Desta di seberang.
“Ini aku udah di dalam. Lo di mana?” Vincent sedikit mengeraskan suara karena DJ sepertinya sengaja memutar bass paling maksimal malam ini.
“Masuk aja. Gue di table lima,” jawab Desta, suara laki-laki itu nyaris tenggelam di antara sorakan crowd.
Vincent menghela napas. Tentu saja meja lima. Sudah jadi basecamp resmi Desta setiap kali mereka nongkrong di tempat seperti ini.
Langkahnya semakin masuk ke dalam, mengikuti denyut musik yang seolah menggoda semua orang untuk melupakan realitas. Lampu-lampu neon berkedip seperti bintang buatan, sementara lantai dansa penuh dengan orang-orang yang bergerak mengikuti irama. Ada yang menari liar, ada yang hanya memandang, seakan menunggu giliran untuk tenggelam dalam suasana mabuk.
Dari kejauhan, Vincent menangkap Desta melambai, dengan senyum khasnya yang terlalu percaya diri. Vincent balas melambai, lalu mempercepat langkah. Satu hal yang selalu konsisten dari Desta: dia selalu dikelilingi perempuan cantik. Malam ini pun tidak berbeda. Tapi, bukankah itu alasan mereka ada di sini? Escape mode on, mengusir kejenuhan kerja yang makin hari makin menyesakkan.
“Hei, bro!” Desta menyambut dengan tepukan di bahu. “Ngapain, lama banget?”
“Ada kerjaan yang harus gue beresin dulu di kantor.” Vincent menjawab sambil mengambil tempat duduk di samping sahabatnya. Seorang perempuan dengan lipstik merah menyala langsung menuangkan minuman untuknya. “Thanks,” ucapnya ramah.
“Yah, maklum sih. Namanya juga CEO,” goda Desta sambil menyeringai. “Kerjaannya pasti segunung.”
Vincent mendesah, malas menanggapi. “Please, jangan bawa-bawa status gue di sini,” katanya tegas. Matanya melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar terlalu banyak.
Desta tertawa kecil. “Oke, oke. Gue ngerti. Lo paling nggak suka urusan kantor menyusup ke tempat kayak gini.” Dia mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. “Santai, bro. Malam ini cuma buat senang-senang.”
Vincent mengangkat gelasnya, meski tanpa banyak ekspresi. Mereka bersulang, bunyi gelas beradu hampir tenggelam oleh dentuman musik.
Desta kembali sibuk dengan dua perempuan di sebelahnya, sementara Vincent menyeruput minumannya perlahan. Perempuan di sampingnya mulai menggoda, menempelkan diri lebih dekat sambil melemparkan senyum yang dipoles sempurna.
“Gue nggak ngerti kenapa lo masih betah jadi workaholic.” Desta menyela, meski separuh fokusnya ke perempuan di sebelah. “Lo harus belajar kayak gue. Hidup itu harus dinikmati.”
“Gue menikmati hidup gue, kok,” balas Vincent tenang. “Cuma cara kita beda aja.”
“Ah, bullshit.” Desta tertawa lepas. “Lo bahkan lupa gimana rasanya fun, kan?”
Vincent tersenyum tipis, lalu meneguk minumannya sampai habis. “Kalau fun versi lo adalah duduk di sini sama perempuan-perempuan yang bahkan nggak tahu namanya siapa, gue nggak akan merasa kalah.”
Desta tergelak, tertawa terlalu keras sampai perempuan di sebelahnya ikut tertawa, meski jelas tidak paham konteksnya. “Santai, bro. Lo harus kasih diri lo waktu to breathe. Gue janji, malam ini bakal bikin lo lupa sama semua angka-angka di spreadsheet lo.”
Vincent hanya mengangguk, meski dalam hati ia tahu betul, ini bukan caranya melupakan beban kerja. Tapi siapa tahu? Terkadang, membaur di antara kekacauan adalah cara tercepat untuk menemukan kembali ketenangan. Atau setidaknya, itu yang Desta percayai.
***
Vincent duduk gelisah, sementara Desta sibuk dengan bibir perempuan di sebelahnya. Adegan itu terlalu norak untuk dibiarkan begitu saja di depan matanya. Rasa risih memuncak, dan akhirnya ia memutuskan untuk pamit.
“Gue ke toilet bentar,” katanya setengah malas, meski Desta sepertinya terlalu sibuk untuk mendengar.
Vincent bangkit, meninggalkan meja dan melangkah menerobos kerumunan yang semakin heboh di lantai dansa. Musik DJ memekakkan telinga, dan bau alkohol bercampur parfum memenuhi udara. Ia akhirnya sampai di toilet pria, menarik napas lega sebelum mendorong pintu masuk. Tapi napas itu langsung tertahan begitu melihat seorang gadis berdiri di depan wastafel, membungkuk dengan wajah pucat, muntah.
Gadis itu sangat cantik, dengan mata sayu dan rambut sedikit acak-acakan. Tapi jelas ini bukan tempatnya.
“Ehm, permisi. Gue pikir lo salah toilet,” ujar Vincent, mencoba terdengar sopan di tengah situasi yang agak canggung.
“Hah?” Gadis itu mendongak sedikit, tampak bingung sambil menyeka mulut dengan tisu. Lipstik merah di bibirnya belepotan, menambah aura kacau pada wajahnya yang sebenarnya menarik.
“Ini toilet pria.” Vincent menunjuk ke tulisan *MEN* di pintu, memastikan ia tidak salah lihat.
“Oh.” Alih-alih malu, gadis itu malah tertawa pelan, suara tawanya serak seperti efek samping terlalu banyak alkohol.
Vincent hanya bisa menghela napas. Sudah jelas dia mabuk berat.
Di saat yang sama, pintu salah satu bilik toilet terbuka, dan seorang pria keluar dengan ekspresi panik.
“Val!” panggil pria itu sambil menghampiri gadis tersebut. “Bukannya gue bilang tunggu di luar?”
Vincent berdiri diam, mengamati interaksi mereka.
“Maaf, dia mabuk berat,” ujar pria itu sambil memberi tatapan meminta maaf pada Vincent.
“It’s okay.” Vincent mengangkat bahu, memilih untuk tidak memperpanjang urusan. Setidaknya gadis ini punya ‘pawang’. Ia melangkah masuk ke bilik toilet, mengabaikan mereka berdua.
Setelah selesai, Vincent berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan. Pandangannya tertuju pada sebuah gelang perempuan yang tertinggal di sana. Gelang itu sederhana, tapi cukup mencolok dengan gantungan kecil berbentuk bintang. Tanpa berpikir panjang, Vincent memasukkan gelang itu ke dalam saku celananya.
Keluar dari toilet, ia melihat lagi gadis yang tadi—Val, kalau ia tidak salah dengar. Kali ini, gadis itu sedang berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria tadi.
“Minggir!” seru gadis itu, mendorong pria itu, tapi jelas dia terlalu lemah untuk benar-benar melawan.
“Ayolah, Val,” bujuk pria itu, nadanya terdengar semakin licik. “Hanya kita berdua di sini. Nggak ada yang bakal tahu.”
Gadis itu terus menggeleng, dengan tubuh limbung. Mata setengah terpejam, tapi ada ketakutan nyata di wajahnya.
Vincent menghentikan langkahnya, memerhatikan sejenak dari kejauhan. Tapi saat tangan pria itu mulai menyusup ke dalam baju si gadis, amarahnya meledak.
“Hey!” seru Vincent lantang.
Pria itu menoleh, ekspresinya berubah kaget sebelum akhirnya tersenyum miring. “Ada apa, Bro? Nggak usah ikut campur.”
Vincent menatapnya dingin. “Jangan ganggu dia.”
“Dia pacar gue,” sahut pria itu dengan nada menantang. “Apa urusan lo?”
Vincent memandang gadis itu yang kini memohon dengan suara nyaris tak terdengar. “Tolong ... Gue ...”
Vincent tersenyum sinis. “Dia nggak mau lo sentuh,” tegasnya.
“Kita udah biasa kayak gini.” Pria itu tertawa, seolah menganggap Vincent bodoh. Tapi tawanya berhenti saat Vincent melangkah lebih dekat, tatapannya seperti pisau yang siap menusuk.
“Gue rasa dia bukan pacar lo,” ujar Vincent, masih sinis.
“BACOT!” Pria itu kehilangan kesabaran, melayangkan pukulan ke arah Vincent. Sayang, tangannya lebih cepat daripada otaknya. Vincent dengan mudah menghindar, lalu membalas dengan satu pukulan telak ke wajah pria itu.
Pria itu jatuh ke lantai, pingsan seketika.
“Wow, satu pukulan langsung K.O.?” Vincent mendecakkan lidah. “Memalukan.”
Ia mengalihkan perhatian ke gadis itu. Val menatapnya dengan mata lelah, tapi ada rasa lega di sana.
“Thanks,” ucapnya lirih. Sejurus kemudian tubuhnya limbung dan jatuh—tepat ke pelukan Vincent.
“Great,” gumam Vincent, setengah kesal, setengah pasrah. “Malam yang sial.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
ulzzangcute
alurnya bagus
2024-11-25
0
diegodirga111
seru!!
2024-11-21
1