Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Bayangan Abadi
Saat pagi tiba, Ayla dan Kael berdiri di tepi hutan, memandang ke dataran luas yang dikenal sebagai Bayangan Abadi. Langit di atasnya berwarna kelabu, seolah-olah matahari enggan menampakkan dirinya di tempat itu. Angin dingin berhembus, membawa bisikan aneh yang terdengar seperti suara-suara samar.
Ayla menarik napas dalam, menggenggam jubahnya dengan erat. Ia tahu tempat ini adalah inti dari kegelapan yang mereka hadapi, dan setiap langkah ke depan akan membawa mereka lebih dekat pada Noir.
“Kau siap?” tanya Kael sambil meraih tangannya, memberinya kekuatan melalui sentuhan yang selalu menenangkan hatinya.
Ayla mengangguk, meskipun rasa gugup masih melingkupi dirinya. “Denganmu di sini, aku merasa lebih siap dari sebelumnya.”
Mereka melangkah memasuki dataran itu, meninggalkan kenyamanan terakhir dari hutan di belakang mereka. Begitu kaki mereka menyentuh tanah Bayangan Abadi, suasana berubah drastis. Udara terasa lebih berat, dan dunia di sekitar mereka seperti kehilangan warna, seolah-olah kegelapan Noir telah menyerap semua kehidupan dari tempat itu.
“Tempat ini… seperti mimpi buruk yang menjadi nyata,” bisik Ayla, merasakan hawa dingin merayap ke kulitnya meskipun ia berbalut mantel.
Kael berjalan lebih dekat dengannya, menjaga jarak mereka tetap rapat. “Kita harus tetap fokus. Jangan biarkan apa pun di sini memengaruhi pikiranmu.”
Mereka terus berjalan, hingga akhirnya menemukan sebuah jalan berbatu yang terukir di tanah. Jalan itu mengarah ke sebuah menara hitam yang menjulang di kejauhan, terlihat seperti bayangan tajam yang membelah langit kelabu.
“Itu pasti tujuan kita,” ujar Kael, menunjuk ke arah menara tersebut.
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, kabut tebal tiba-tiba menyelimuti mereka. Dari dalam kabut, bayangan-bayangan muncul, melayang tanpa bentuk yang jelas, namun terasa mengancam.
“Bayangan ini… mereka seperti hidup,” ujar Ayla dengan suara gemetar.
Bayangan-bayangan itu bergerak mendekat, mengelilingi mereka dengan cepat. Salah satu bayangan melompat ke arah Ayla, namun sebelum ia sempat bereaksi, Kael menghunus pedangnya dan menyerang bayangan itu. Pedang bercahaya yang dipegang Kael berhasil memotong bayangan itu, membuatnya memudar seketika.
“Kita harus melawan mereka bersama,” kata Kael sambil berdiri di depan Ayla, melindunginya.
Ayla mengangguk, memusatkan kekuatannya hingga cahaya lembut muncul di telapak tangannya. Dengan gerakan tangannya, ia melepaskan ledakan cahaya yang mengusir bayangan-bayangan di sekitarnya.
“Bagus, Ayla! Teruskan!” seru Kael sambil melawan bayangan lainnya dengan pedangnya.
Mereka berdua bekerja sama, saling melindungi dan melengkapi. Setiap kali Ayla ragu, Kael memberinya arahan. Setiap kali Kael tampak kewalahan, Ayla memberinya dukungan dengan ledakan cahaya yang menenangkan.
Setelah beberapa saat, kabut perlahan memudar, meninggalkan dataran itu kosong kembali. Ayla terengah-engah, kelelahan dari penggunaan kekuatan yang intens. Kael menghampirinya, memegang kedua bahunya.
“Kau melakukannya dengan baik,” katanya dengan senyum tipis.
Ayla balas tersenyum meski tubuhnya gemetar. “Itu karena kau ada di sini. Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya sendiri.”
Kael menggeleng pelan. “Kau lebih kuat dari yang kau pikirkan, Ayla. Tapi kau tidak perlu menghadapi ini sendiri. Kita di sini bersama.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih hati-hati, mengetahui bahwa tempat ini penuh dengan ancaman yang bisa muncul kapan saja. Setiap langkah terasa lebih berat, namun kehadiran satu sama lain memberi mereka kekuatan untuk terus maju.
Di kejauhan, menara hitam itu tampak semakin besar, seperti ancaman yang tak terelakkan. Di dalam hati mereka, Ayla dan Kael tahu bahwa saat mereka mencapai menara itu, mereka akan menghadapi Noir dan bayangannya secara langsung.
Namun, di tengah ancaman yang terus membayangi, mereka menemukan kekuatan baru dalam hubungan mereka. Cinta mereka, meskipun diuji oleh kegelapan di sekitar mereka, menjadi pijakan yang tak tergoyahkan.
“Kael,” bisik Ayla sambil menggenggam tangannya lebih erat.
Kael menoleh, menatapnya dengan pandangan lembut yang penuh keyakinan. “Ya?”
“Apa pun yang terjadi, aku ingin kau tahu bahwa aku percaya padamu. Aku percaya pada kita.”
Kael tersenyum, mengangguk. “Aku juga percaya pada kita, Ayla. Dan apa pun yang menunggu kita di menara itu, kita akan menghadapinya bersama.”
Dataran suram itu terus membentang di depan mereka, membawa mereka lebih dekat pada takdir mereka. Langkah-langkah mereka mungkin kecil, namun setiap langkah membawa mereka menuju jawaban dan akhir dari semua bayangan yang telah lama menghantui mereka.
Langkah mereka semakin berat ketika bayangan menara hitam itu menjulang lebih dekat. Angin dingin yang membawa bisikan samar mulai terdengar jelas, kata-kata dalam bahasa yang tidak mereka mengerti. Suara itu membuat hati Ayla berdebar lebih cepat, tetapi ia tetap menggenggam tangan Kael erat-erat, merasakan kehangatan yang menenangkan di antara jari-jari mereka.
“Kau merasakannya, bukan?” tanya Ayla dengan suara pelan, seolah takut suaranya akan memancing sesuatu di kegelapan sekitar mereka.
Kael mengangguk, matanya tetap terfokus pada jalan di depan. “Seperti ada sesuatu yang mencoba masuk ke dalam pikiranku. Tapi aku tidak akan membiarkannya.”
Ayla menatapnya, mengagumi keteguhan hati Kael. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak hanya menguji kekuatan mereka secara fisik, tetapi juga mental. Ayla menutup matanya sejenak, memusatkan pikirannya untuk melawan bisikan itu. Sebuah cahaya lembut mulai muncul di sekeliling tubuhnya, mengusir hawa dingin yang mencoba merasuki hatinya.
“Kau selalu membuat segalanya terasa lebih mudah,” ujar Kael, suaranya terdengar ringan meski situasi mereka jauh dari itu.
Ayla membuka matanya, tersenyum kecil. “Mungkin itu kelebihanku.”
Perjalanan mereka terhenti ketika mereka menemukan sebuah batu besar yang memblokir jalan. Batu itu dihiasi ukiran-ukiran aneh yang bersinar redup, seolah-olah hidup. Ketika Ayla mendekati batu itu, ukiran-ukiran tersebut mulai bercahaya lebih terang.
“Ini pasti sebuah penanda,” ujar Kael sambil mengamati batu itu dengan hati-hati.
Ayla mengulurkan tangan, menyentuh salah satu ukiran yang berbentuk lingkaran. Seketika, cahaya menyebar dari batu itu, menciptakan pola-pola di tanah di sekitar mereka. Dari pola-pola itu, muncul bayangan berbentuk sosok manusia—wajahnya kabur, namun auranya mengintimidasi.
“Siapa kalian yang berani menginjak Bayangan Abadi?” suara bayangan itu bergema, dalam dan menyeramkan.
Kael segera menarik Ayla ke belakang, melindunginya dengan tubuhnya. “Kami bukan musuh, tapi kami tidak akan mundur. Kami di sini untuk menghentikan Noir.”
Bayangan itu tertawa rendah, suaranya seperti guntur yang menggetarkan tanah di bawah mereka. “Menghentikan Noir? Kalian bahkan belum melewati ujian pertama.”
Sebelum mereka sempat bertanya, tanah di bawah mereka berguncang. Pola-pola cahaya berubah menjadi lingkaran yang melilit di sekitar mereka, menciptakan ilusi yang menyelimuti dunia di sekitar mereka. Ketika Ayla membuka matanya lagi, ia berada di tempat yang asing.
Kael tidak ada di sisinya.
“Kael?” panggilnya, suaranya bergema dalam kehampaan.
Bayangan-bayangan mulai mendekat, mengelilinginya, membisikkan ketakutan dan keraguan yang selama ini ia simpan di dalam hatinya. “Kael akan meninggalkanmu,” salah satu bayangan berbisik. “Dia tidak cukup kuat untuk melindungimu.”
Ayla menutup telinganya, mencoba melawan suara-suara itu. “Tidak! Aku percaya padanya!” teriaknya.
Sementara itu, Kael berada di tempat yang berbeda, menghadapi bayangan yang menyerupai Ayla. “Kael, kau tahu kau tidak bisa melindungiku,” sosok itu berkata dengan nada menyayat. “Kau hanya akan membuatku terluka.”
Kael mengepalkan tangannya, melawan keraguan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. “Itu bukan Ayla,” katanya pada dirinya sendiri. “Aku tahu siapa dia. Dan aku tahu apa yang kami miliki.”
Dalam hati masing-masing, Ayla dan Kael memusatkan kekuatan mereka, membayangkan satu sama lain. Ketika cahaya lembut muncul di tangan Ayla, ia menyadari bahwa Kael ada dalam pikirannya, memberikan kekuatan yang ia butuhkan.
“Kael, aku akan menemukamu,” bisik Ayla sambil melepaskan ledakan cahaya yang mengusir bayangan di sekelilingnya.
Pada saat yang sama, Kael memfokuskan pikirannya pada Ayla, menepis bayangan yang mencoba menguasai dirinya. “Ayla, aku akan selalu di sisimu.”
Cahaya mereka bersatu, menghancurkan ilusi yang memisahkan mereka. Ketika dunia di sekitar mereka kembali normal, mereka saling menemukan berdiri di tengah lingkaran cahaya yang sama.
“Aku tahu kau akan menemukanku,” kata Kael sambil tersenyum kecil.
Ayla mengangguk, matanya berkilau penuh tekad. “Dan aku tahu kau tidak akan pernah menyerah.”
Bayangan besar itu muncul kembali, kali ini dengan aura yang lebih tenang. “Kalian telah melewati ujian pertama. Ingatlah, cinta dan kepercayaan adalah senjata terkuat kalian. Tanpa itu, kalian tidak akan pernah mencapai akhir.”
Dengan itu, bayangan itu menghilang, meninggalkan jalan menuju menara yang kini terlihat lebih jelas di hadapan mereka.
Kael meraih tangan Ayla, menggenggamnya erat. “Kita sudah melewati banyak hal, dan aku yakin kita bisa melewati apa pun yang menanti di sana.”
Ayla membalas genggaman itu, merasakan kekuatan yang tumbuh dari hubungan mereka. “Bersama, kita bisa mengalahkan Noir.”
Dengan langkah pasti, mereka melanjutkan perjalanan, semakin mendekat pada akhir yang telah menunggu mereka.