John Ailil, pria bule yang pernah mengalami trauma mendalam dalam hubungan asmara, mendapati dirinya terjerat dalam hubungan tak terduga dengan seorang gadis muda yang polos. Pada malam yang tak terkendali, Nadira dalam pengaruh obat, mendatangi John yang berada di bawah pengaruh alkohol. Mereka terlibat one night stand.
Sejak kejadian itu, Nadira terus memburu dan menyatakan keinginannya untuk menikah dengan John, sedangkan John tak ingin berkomitmen menjalin hubungan romantis, apalagi menikah. Saat Nadira berhenti mengejar, menjauh darinya dan membuka hati untuk pria lain, John malah tak terima dan bertekad memiliki Nadira.
Namun, kenyataan mengejutkan terungkap, ternyata Nadira adalah putri dari pria yang pernah hampir menghancurkan perusahaan John. Situasi semakin rumit ketika diketahui bahwa Nadira sedang mengandung anak John.
Bagaimanakah akhir dari kisah cinta mereka? Akankah mereka tetap bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Sebuah Ancaman
Hari itu John kembali pulang larut malam dan menemukan Nadira tertidur di sofa lagi, dan seperti sebelumnya, John menggendongnya ke kamar. John menatap Nadira yang terbaring tenang di atas tempat tidurnya, wajahnya tampak damai namun tak terawat, seperti gadis yang terlalu sibuk dengan hal-hal lain daripada dirinya sendiri. Sejenak ia merasa geli sekaligus khawatir.
"Gadis ini tidak pernah memanjakan dirinya, selalu mengabaikan penampilan, bahkan setelah aku memberikannya kartu ATM dengan saldo yang cukup besar. Semua uang itu sepertinya benar-benar hanya ia pakai untuk kebutuhan sehari-hari apartemen," batinnya John mengamati wajah dan kulit kusam Nadira.
“Kenapa sih, kamu nggak beli sesuatu buat diri sendiri, Nadira?” gumam John pelan, nyaris seperti membisikkan pada dirinya sendiri. Ia teringat betapa sering ia ingin mengatakan ini padanya, menyuruhnya membeli skincare, pakaian yang lebih layak, atau bahkan mengganti laptop tuanya yang tampak hampir rusak. Tapi tiap kali niat itu muncul, ia merasa ragu. Takut Nadira akan salah paham, mengira perhatian kecil itu sebagai tanda ketertarikannya.
Padahal, kalau ia jujur, memang ada perasaan berbeda setiap kali melihat gadis itu. Meski ia berusaha menekannya, sulit baginya untuk terus berpura-pura tidak peduli. Dalam hati, ia ingin Nadira tahu bahwa ia berharga. Namun, dengan beragam perasaan yang bergejolak, ia kembali hanya bisa menghela napas panjang, menekan semua yang ingin ia ungkapkan.
"Kenapa kamu bikin semuanya jadi rumit, Nadira?" lirihnya, mengusap wajahnya sendiri seolah mencari ketenangan.
***
Dalam perjalanan menuju toko alat tulis, Nadira menaiki ojek dengan santai sambil menikmati pemandangan jalanan. Namun, pandangannya tiba-tiba tertuju pada seseorang yang tak asing, John, sedang berdiri di pinggir jalan dengan wajah serius, menatap ponselnya. Mobilnya tampak terparkir di dekatnya, sepertinya mogok. Namun yang membuat Nadira terkejut dan merasa tak nyaman adalah kehadiran seorang wanita di samping John, dengan lembut menyeka keringat di dahinya.
Nadira mengerutkan alis, merasa ada sesuatu yang menusuk di dadanya. Ada rasa tak suka yang tak bisa ia jelaskan. "Apa-apaan ini?" gumamnya, mencoba berpikir bahwa mungkin ia hanya salah paham atau berlebihan. Tapi hatinya tak bisa menepis perasaan kesal yang muncul. Ia pun terus memandangi pemandangan itu dari kejauhan dengan tatapan yang penuh rasa cemburu, meski dirinya sendiri tak mengerti mengapa hal itu begitu mengganggunya.
Malam sudah menyelimuti bumi. Nadira sedang berjalan sendirian di jalan yang agak sepi, langkahnya terburu-buru. Jalan itu biasanya tidak ramai pada jam ini, dan lampu jalan yang remang menambah kesan sunyi. Tiba-tiba, seseorang muncul dari gang kecil di depannya, menghadang jalannya. Nadira mendongak dan mengenali pria itu, salah satu anak buah Beno yang beberapa waktu lalu menghadangnya.
Wajah kaku dan tatapan dingin pria itu cukup membuatnya waspada, tapi Nadira menahan diri, tetap berdiri dengan tenang. Nadira berdiri tegak di jalan yang sepi itu, meski dadanya berdebar keras. Rasa takut perlahan muncul di sudut pikirannya, apalagi dengan kehadiran pria suruhan ayahnya ini. Nadira tahu ia sendirian di tempat yang cukup terpencil; satu gerakan dari pria itu saja sudah cukup untuk memaksanya pergi, dan mungkin ia tak akan bisa melawan.
"Nona Nadira," ucap pria itu dengan nada memerintah. "Sudah terlalu lama Anda diluar. Tuan Beno ingin Anda segera pulang."
Namun, Nadira menegakkan bahunya, mencoba menutupi ketakutannya dengan keberanian yang ia paksakan. Nadira bergeming. Mata tajamnya menatap langsung ke arah pria itu, sorotnya penuh amarah dan keteguhan. Tanpa ragu, ia berkata dengan nada yang dingin namun tegas, "Katakan pada majikanmu, jika dia bersikeras ingin mengatur hidupku, atau berniat mencelakaiku, maka aku akan menuntut hakku atas harta ibuku."
Anak buah Beno terkejut, tak menyangka akan mendengar hal ini dari Nadira. Ekspresinya berubah sesaat, menunjukkan rasa takut yang tak bisa disembunyikan. Pria itu berusaha tetap tenang, tetapi jelas ancaman ini adalah hal serius yang tak bisa diabaikan.
Nadira melanjutkan, nada suaranya semakin rendah dan tajam dan penuh ancaman. "Dia tahu, 'kan, jika aku mati, harta itu akan jatuh ke pemerintah? Jadi, jangan pernah ganggu hidupku lagi. Sampaikan pada majikanmu, kalau dia ingin aku tetap tenang, lebih baik dia menjauh dariku." Nadira menatapnya tanpa ragu, menunggu respons pria itu, seolah memastikan bahwa pesannya akan tersampaikan.
Pria itu terdiam, ekspresinya menunjukkan keterkejutan yang samar, namun Nadira bisa melihat sedikit keraguan di matanya. Itu cukup untuknya, setidaknya, ia berharap kata-katanya bisa mengguncang sedikit keputusan ayahnya.
Nadira juga berharap ancaman itu cukup membuat pria itu mundur, tapi dalam hatinya, ketakutan terus menyeruak. Ia berharap tak perlu berhadapan lagi dengan ayahnya atau anak buahnya, berharap kata-kata tajamnya cukup untuk membuat pria itu tidak menekan lebih jauh.
Pria itu menatapnya beberapa detik lagi, sebelum akhirnya berbalik tanpa mengatakan apa pun. Nadira menahan napas sampai sosok pria itu menghilang di kegelapan, dan akhirnya, ia bisa menghela napas lega. Namun, ketakutan dan kecemasan masih menggantung di dadanya, berharap ancamannya benar-benar membuat ayahnya mundur untuk selamanya.
Nadira melanjutkan langkahnya dengan hati-hati, masih waspada setelah insiden tadi. Di dalam benaknya, ia bergumam, mencoba merasionalisasi pilihannya. "Jika aku benar-benar berusaha merebut hak atas harta ibuku, pria itu (ayah Nadira) pasti tidak akan tinggal diam," Ia menggumam pelan, menenangkan dirinya sendiri di tengah sepinya malam.
Ia tahu betapa liciknya ayahnya dalam mempertahankan kekayaan dan pengaruhnya. Ayahnya tidak akan segan-segan mengambil tindakan ekstrem untuk menjaga reputasinya, apalagi jika Nadira mulai bertindak untuk mengambil kembali hak ibunya.
"Tapi… jika aku hanya memberikan ancaman seperti tadi, mungkin itu akan cukup. Mungkin dia akan melepaskanku," pikirnya dengan harap-harap cemas. Ancaman tadi terasa sebagai satu-satunya senjatanya untuk bertahan, tetapi ada ketakutan dalam hatinya, membayangkan jika ayahnya berubah pikiran dan berusaha mengendalikannya kembali.
Ia mendesah, menyadari betapa rumit posisinya saat ini. Namun, ia terus melangkah dengan tekad yang terpatri kuat, berusaha untuk menjalani hidupnya tanpa bayang-bayang kekuasaan ayahnya. Meski takut, Nadira tetap berharap ancamannya cukup untuk membuatnya bebas dari kendali ayahnya.
"Aku berharap pria itu akan memilih tak mengusik aku agar kami sama-sama tenang," gumam Nadira lirih, menatap jalan sepi di depannya. Angin malam menerpa wajahnya yang masih menyiratkan ketegangan dari kejadian tadi.
Langkah kakinya perlahan melambat, dan ia merasakan hati kecilnya bergejolak, antara rasa takut dan harapan. "Jika dia bisa membiarkan aku hidup dengan damai… mungkin aku juga bisa melupakan semua ini, hidup tanpa bayang-bayang masa lalu." Tapi ia tahu, itu hanya harapan yang bisa saja tak pernah terjadi.
Nadira menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri. Ia tahu bahwa pilihannya mungkin saja akan menimbulkan bahaya, tetapi hanya dengan ancaman seperti itu ia berharap ayahnya akan menjauh, agar keduanya bisa hidup tanpa saling mengganggu.
Nadira tahu bahwa ada beberapa orang kepercayaan keluarga ibunya yang bisa ia mintai bantuan jika ia memutuskan untuk merebut kembali harta peninggalan ibunya. Namun, ia sadar bahwa langkah itu tidak akan mudah dan penuh risiko. Tekanan dari ayah, ibu tiri, dan saudara tirinya bisa semakin mengancam hidupnya.
Karenanya, Nadira memilih untuk melepaskan haknya atas harta tersebut. Yang ia inginkan hanyalah hidup tenang, jauh dari gangguan mereka. Dalam hatinya, ia berharap keputusannya ini cukup untuk membuat ayah dan keluarganya berhenti mengejarnya.
"Aku harus tetap berada di sisi Om John, supaya aku bisa mendapatkan perlindungan darinya," gumam Nadira dengan tekad yang bulat. Namun sesaat, Nadira menghela napas panjang. "Apa sebenarnya perasaanku pada Om John? Apakah aku benar-benar ingin tetap di sisinya untuk mendapatkan perlindungan, atau karena aku... jatuh cinta padanya?" pikirnya, bingung dengan perasaan yang mulai tumbuh dalam hatinya.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
beno Sandra dan sasa merasa ketar-ketir takut nadira mengambil haknya dan beno Sandra dan sasa jatuh jatuh miskin....
mampus org suruhan beno dihajar sampai babak belur sampai patah tulang masuk rmh sakit....
Akhirnya menyerah org suruhan beno resikonya sangat besar mematai2 nadira dan dihajar abis2an sm anak buahnya pm john....
belajarlah membuka hatimu tuk nadira dan nadira walaupun msh polos dan lugu sangat cocok john sangat patuh n penurut.....
Sampai kapan john akan hidup bayang2 masalalu dan belajar melangkah masa depan bersama nadira....
masak selamanya akan menjadi jomblo abadi/perjaka tuwiiiir🤣🤣🤣😂