seorang wanita tangguh, yang dikenal sebagai "Quenn," pemimpin sebuah organisasi mafia besar. Setelah kehilangan orang yang sangat ia cintai akibat pengkhianatan dalam kelompoknya, Quenn bersumpah untuk membalas dendam. Dia meluncurkan serangan tanpa ampun terhadap mereka yang bertanggung jawab, berhadapan dengan dunia kejahatan yang penuh dengan pengkhianatan, konflik antar-geng, dan pertempuran sengit.
Dengan kecerdikan, kekuatan, dan keterampilan tempur yang tak tertandingi, Quenn berusaha menggulingkan musuh-musuhnya satu per satu, sambil mempertanyakan batasan moral dan loyalitas dalam hidupnya. Setiap langkahnya dipenuhi dengan intrik dan ketegangan, tetapi ia bertekad untuk membawa kehormatan dan keadilan bagi orang yang telah ia hilangkan. Namun, dalam perjalanan tersebut, Quenn harus berhadapan dengan kenyataan bahwa dunia yang ia kenal bisa berubah, dan balas dendam terkadang memiliki harga yang lebih mahal dari yang ia bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Pelarian Terakhir
Kejaran musuh semakin mendekat. Setiap langkah mereka terasa lebih berat, dan napas mereka semakin terengah-engah. Markas Marco yang besar dan penuh dengan lorong-lorong gelap kini menjadi labirin berbahaya yang siap menelan mereka hidup-hidup. Meski Rina berhasil mengakses data yang mereka butuhkan, pelarian mereka belum aman. Setiap detik terasa seperti pertempuran melawan waktu dan maut.
“Ke kiri!” teriak Quenn saat mereka tiba di persimpangan. Pasukan Marco mengepung mereka dari segala arah. Tembakan terus terdengar, menggema keras di lorong-lorong sempit. Setiap sudut dipenuhi musuh yang siap menghabisi mereka.
Rina, yang memegang tas berisi data penting, berlari di tengah kelompok, sementara Erik dan Vincent menjaga sisi mereka. Quenn berada di depan, memimpin dengan naluri tajamnya. Mereka harus keluar dari markas ini, tidak peduli berapa banyak musuh yang harus mereka hadapi.
"Ayo, lebih cepat!" teriak Quenn dengan suara yang penuh tekanan. "Jika kita tidak keluar dalam lima menit, kita akan terjebak!"
Rina mempercepat langkahnya, wajahnya penuh ketegangan. "Aku sudah mengunduh semuanya, Quenn! Tapi mereka sudah tahu kita menuju ke pintu keluar utama! Kita harus mencari jalan lain!"
"Jangan khawatir," jawab Quenn tegas. "Ada jalur belakang. Aku tahu tempat itu."
Ketegangan semakin meningkat saat mereka berlari melewati lorong-lorong yang semakin sempit. Suara langkah musuh semakin dekat, dan mereka bisa merasakan panasnya keganasan yang siap menghancurkan mereka. Pintu keluar utama sudah terlalu terjaga, dan hanya ada satu jalan keluar yang tersisa.
Di depan mereka, sebuah pintu kecil yang terletak di bagian belakang markas. Quenn tahu itu adalah jalan satu-satunya. Tanpa ragu, dia melangkah cepat menuju pintu itu. "Ini dia, pintu belakang! Semua ke sini!"
Namun, begitu Quenn menekan tombol pintu, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Sebuah ledakan besar mengguncang bangunan, dan seluruh lorong di sekitar mereka runtuh. Asap tebal memenuhi udara, mengaburkan penglihatan mereka. Quenn merasa tubuhnya terlempar ke belakang, dan semuanya menjadi gelap sejenak.
Ketika kesadarannya kembali, Quenn terengah-engah, berusaha bangkit di tengah reruntuhan. Asap masih tebal di udara, dan suara tembakan terdengar di kejauhan. Rina, yang berada di sampingnya, terlihat terhuyung-huyung namun selamat. Vincent dan Erik masih berjuang untuk berdiri, terperangkap dalam debu yang menyesakkan.
"Vincent! Erik!" teriak Quenn dengan suara serak, berusaha menghubungi mereka.
"Quenn... kita harus keluar sekarang!" teriak Vincent dari kejauhan, suaranya penuh dengan kekhawatiran. "Pintu belakang... sudah tidak bisa dibuka! Musuh ada di setiap sisi!"
Dengan tangan gemetar, Quenn mencoba berdiri, menarik Rina dan mengarahkannya ke pintu kecil yang masih setengah terbuka. "Kita tidak punya pilihan. Itu satu-satunya jalan keluar yang tersisa!"
Mereka berlari, menghindari reruntuhan dan tembakan yang datang dari segala arah. Tembakan menggema keras, menghancurkan dinding-dinding di sekitar mereka. Ketika Quenn berlari lebih cepat, dia bisa merasakan tubuhnya mulai lelah. Setiap langkah terasa semakin berat, namun dia tahu mereka tidak bisa berhenti. Jika mereka berhenti, mereka akan mati di sini.
“Aku tidak akan membiarkan mereka menang,” kata Quenn dalam hati, mengetap gigi, mengusir rasa takut yang perlahan mencoba menguasai dirinya.
Rina berlari di sampingnya, wajahnya pucat. “Kita tidak bisa terus seperti ini. Kita perlu waktu untuk mundur!”
Vincent dan Erik sudah berada di depan, menembakkan senjata mereka ke arah pasukan Marco yang mengejar. “Cepat! Kita hampir sampai!” teriak Erik, memberi tanda kepada Quenn.
Quenn memimpin timnya ke pintu kecil yang kini sudah hampir tertutup. Sementara itu, tembakan terus datang menghujam ke arah mereka. Quenn merasakan peluru melesat begitu dekat, menyentuh bagian lengan bajunya. Rasa sakit seketika muncul, namun dia terus melangkah. Semua terasa kabur, kecuali satu tujuan—keluar hidup-hidup dan membawa data yang telah mereka ambil.
Begitu mereka mendekati pintu kecil, Vincent yang berada di depan segera menembak kunci pintu yang hampir tertutup. Dengan suara keras, pintu itu terbuka dan tim mereka akhirnya berhasil keluar ke area belakang markas.
Namun, di luar sana, lebih banyak pasukan Marco sudah menunggu, semakin banyak dan semakin terorganisir. Quenn tahu, mereka sudah terkepung. Jalan menuju kebebasan hanya tinggal satu langkah, namun musuh ada di setiap sisi.
“Kita tidak bisa mundur!” teriak Quenn. “Siapkan pertahanan terakhir! Kita harus keluar dari sini, sekarang!”
“Tidak ada waktu untuk mundur,” kata Vincent, matanya yang tajam menatap medan di depan mereka. “Kita harus terus maju.”
Quenn mengangguk, merasakan desiran panas di dalam dadanya. Mereka hanya memiliki satu kesempatan—untuk mengalahkan Marco, atau mati di tangan pasukannya.
Dengan segenap tenaga yang tersisa, mereka berlari maju, menembakkan senjata dengan cepat dan akurat. Quenn memimpin, menyadari bahwa kali ini adalah ujian terakhir mereka. Setiap detik terasa lebih berat. Setiap langkah adalah keputusan hidup mati. Tapi dia tahu satu hal: mereka tidak akan menyerah begitu saja.
Ketegangan mencapai puncaknya ketika pasukan Marco bergerak lebih dekat. Quenn mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk menunggu. Semua berhenti, bergerak menyelinap ke belakang dinding besar yang ada di sekitar mereka, menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Tembakan mulai terdengar, semakin keras. Mereka sudah berada dalam jebakan yang mengerikan. Tentu saja, Marco tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja. Namun, Quenn dan timnya tahu satu hal—selama mereka masih hidup, mereka akan berjuang hingga titik darah terakhir.
“Ini saatnya,” kata Quenn pelan, matanya berkilat penuh tekad.
Dengan serentak, mereka menyerang. Tembakan bergema, dan pertempuran yang sudah mengerikan ini semakin memanas. Setiap detik terasa lebih mendebarkan, dengan nyawa yang dipertaruhkan. Tapi mereka tidak bisa mundur.
Pertempuran ini—adalah pertempuran terakhir mereka.