Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4: Petualangan Kampus
Ruri mendengus frustrasi saat tangan pria aneh itu menariknya keluar dari kampus. "Lepaskan!" Ruri mencoba menahan dirinya, namun pria itu hanya tersenyum lebar, seolah tak mempedulikan protesnya.
"Tunggu sebentar," katanya ringan sambil terus menyeret Ruri. "Aku ingin menunjukkan sesuatu."
"Aku masih punya waktu kuliah! Sekitar satu setengah jam lagi. Aku ingin ke perpustakaan dulu!" protes Ruri, meskipun pada akhirnya dia menyerah karena pria aneh itu tampaknya tidak mau melepaskan tangannya.
Dalam hati, Ruri sudah menyiapkan berbagai alasan untuk melawan, tapi entah kenapa ia justru pasrah membiarkan pria itu membawanya pergi. Mereka mulai menjelajahi area kampus, dari danau kecil di sisi barat kampus, ke air mancur yang letaknya dekat dengan fakultas seni, hingga akhirnya mereka tiba di ruang seni.
Di ruang seni, pria aneh itu melihat patung-patung dan lukisan-lukisan yang terpajang dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Apakah manusia selalu menciptakan hal-hal yang indah seperti ini?" tanyanya sambil menunjuk sebuah patung abstrak.
Ruri, yang tadinya jutek, tidak bisa menahan tawanya. "Itu cuma patung abstrak. Banyak orang tidak menganggapnya indah," jawabnya dengan sinis.
Pria itu menoleh ke arah Ruri, wajahnya tampak polos dan bingung. "Tapi menurutku ini luar biasa. Kau bisa melihat berbagai bentuk dalam satu karya. Seperti seekor kucing dan burung yang hidup bersama."
Ruri terdiam, tidak menyangka pria ini bisa memberikan pandangan yang begitu berbeda. Dia mulai sedikit tersenyum, tapi buru-buru menahan ekspresi itu. "Ah, sudahlah. Jangan banyak omong. Aku tak punya waktu mendengar ocehanmu."
Namun, semakin lama mereka berkeliling, Ruri tak bisa menahan tawa karena tingkah pria aneh itu. Di danau, pria itu mencoba memanjat pohon untuk mengejar seekor tupai, di air mancur dia melompat-lompat di sekitar tepiannya seolah air itu adalah sesuatu yang menakjubkan. Ruri tertawa beberapa kali tanpa sadar, tetapi cepat-cepat kembali ke ekspresi datarnya, mencoba menjaga jarak emosional. Namun, dalam hati kecilnya, ia mulai merasakan bahwa pria ini, meskipun aneh, punya sesuatu yang istimewa.
Ketika waktu kuliah tiba, Ruri menarik napas panjang. "Aku harus kembali ke kelas sekarang," katanya. "Kamu tetap di sini. Aku tidak butuh pengawalan."
Pria aneh itu mengangguk, tapi kemudian dengan cuek berjalan di belakang Ruri. "Baiklah, aku akan mengikutimu dari jauh."
Ruri mendengus, jelas-jelas merasa terganggu. Namun, dia tidak lagi memprotes. Begitu sampai di kelas, pria aneh itu duduk di taman yang terletak tepat di depan jendela kelas Ruri. Dari lantai dua, Ruri bisa melihatnya duduk di bangku, melamun dengan ekspresi melankolis, menatap langit.
Selama kelas berlangsung, Ruri berusaha fokus, tapi tidak bisa mengabaikan bisikan teman-teman sekelasnya. Mereka semua tampak penasaran siapa pria tampan yang duduk di taman. Beberapa orang menduga bahwa itu pacar Ruri, tapi tentu saja, Ruri hanya berpura-pura mengabaikan mereka, padahal jantungnya berdegup kencang setiap kali mereka membicarakannya.
"Kau benar-benar beruntung, Ruri," salah satu teman sekelasnya berbisik.
Tapi, tentu saja, tidak semua perhatian positif. Sandra dan gengnya, yang sejak awal sudah tidak menyukai Ruri, menatapnya dengan tajam. "Tsk, dasar pencitraan," bisik Sandra kepada teman-temannya. "Pura-pura jadi aktivis, tapi diam-diam punya pacar tampan. Dasar pengkhianat bangsa."
Ruri mencoba untuk tidak terganggu, tetapi kata-kata Sandra itu menempel di pikirannya. Begitu kelas selesai, dia buru-buru keluar dan menarik pria aneh itu menjauh dari pandangan orang lain.
"Kau harus berhenti mengikutiku seperti stalker!" Ruri berkata dengan marah.
Pria itu hanya menatapnya dengan mata lebar yang penuh kebingungan. "Aku hanya ingin melindungimu. Bukankah itu yang seharusnya aku lakukan?"
Ruri terdiam, merasakan ada sesuatu yang berbeda dari cara pria itu berbicara. Ketika dia menatap wajahnya yang polos dan ekspresi yang mirip dengan kucing yang memelas, entah kenapa, kemarahan Ruri berangsur menghilang. "Astaga, kamu benar-benar seperti kucing..." gumamnya.
Tanpa sadar, Ruri mengeluarkan uang dari dompetnya dan mentraktir pria aneh itu dengan es krim. "Ini, makanlah," katanya, menyerahkan es krim dengan setengah hati.
Pria itu mengambil es krimnya dan menggigitnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Ini rasanya manis sekali!" serunya dengan takjub, membuat Ruri sedikit tersenyum.
Namun, ketika Ruri mengeluarkan uang untuk membayar es krim itu, pria aneh itu tiba-tiba tampak khawatir. Matanya yang cerah meredup, seolah menyadari sesuatu yang lebih besar.
"Ruri..." pria itu memanggil namanya dengan nada serius. Setelah beberapa saat, dia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya—sebuah koin emas yang tampak sangat tua dan berharga. "Ambillah ini. Jual dan tukarkan dengan uang. Kau membutuhkannya."
Ruri terkejut melihat koin itu. Bentuknya sangat tidak biasa, dan jelas terlihat sangat berharga. "Dari mana kamu mendapatkan ini?" tanyanya, bingung.
Pria itu tersenyum lembut. "Itu bukan masalah. Yang penting kau bisa menggunakannya untuk apa yang kau butuhkan."
Ruri memandang pria itu dengan bingung, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang begitu tulus. "Kamu... benar-benar aneh," gumamnya, tapi kali ini tanpa nada sinis. Ada sedikit kehangatan dalam suaranya.
___
Sang pria aneh, atau tepatnya sang hantu kucing menatap lembut saat Ruri mengambil koin emas itu.
'Ini salah satu dari sembilan nyawaku. Setiap koin ini adalah bagian dari nyawa yang kupertahankan sebagai hantu kucing. Jika semuanya hilang, maka aku pun akan lenyap dari dunia ini. Tapi untuk Ruri, aku rela memberikan apapun. Selama dia bahagia, aku tidak peduli jika aku harus menghilang.' Pikirnya dalam hati.
Dia memandang Ruri, yang masih memegang koin emas itu dengan ragu-ragu. 'Aku hanya ingin melindunginya... Seperti dulu, saat dia menyelamatkanku. Itu saja yang kuinginkan.'
Namun, Ruri tidak menyadari pengorbanan besar yang baru saja dilakukan oleh pria aneh itu. Dia hanya tahu bahwa pria ini, meskipun aneh, adalah satu-satunya yang tetap berada di sisinya di tengah segala kesulitan.