Demi menyekolahkan dang adik ke jenjang yang lebih tinggi, Cahaya rela merantau ke kota menjadi pembantu sekaligus pengasuh untuk seorang anak kecil yang memiliki luka batin. Untuk menaklukkan anak kecil yang keras kepala sekaligus nakal, Cahaya harus ekstra sabar dan memutar otak untuk mendapatkan hatinya.
Namun, siapa sangka. Sang majikan menaruh hati padanya, akan tetapi tidak mudah bagi mereka berdua bila ingin bersatu, ada tembok penghalang yang tinggi dan juga jalanan terjal serta berliku yang harus mereka lewati.
akankah majikannya berhasil mewujudkan cintanya dan membangunnya? ataukah pupus karena begitu besar rintangannya? simak yuk, guys ceritanya... !
Happy reading 🥰🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Binar Bahagia
Sampai di parkiran, ternyata sudah ada dua sahabat Sagara yang menunggu kedatangannya. Mereka sudah membuat janji untuk ke rumah Sagara, akan tetapi Sagara melihat begitu banyak panggilan tak terjawab dari pihak sekolah sampai akhirnya memutuskan untuk mendatangi sekolah terlebih dahulu.
Matheo dan Aliando memelongo melihat keadaan Bima yang berantakan, begitu juga Cahaya.
"Loh, ponakan gue kenapa?" Tanya Matheo.
"Hooh, kenapa mukanya banyak cakaran? Siapa yang ngelakuin ini semua?" Tanya Aliando beruntun.
"Cepat kita ke rumah, panggilkan si Rey buat ngobati luka Bima sama Cahaya." Titah Sagara tak menjawab semua pertanyaan kedua sahabatnya.
Rey adalah Dokter sekaligus teman Sagara, tak banyak bertanya lagi keduanya pun menganggukkan kepalanya dan masuk ke dalam mobil masing-masing. Cahaya ikut masuk ke dalam mobil Sagara atas permintaan Bima, sedangkan Pak Maryono membawa mobilnya tanpa penumpang di dalamnya ikut serta pulang.
Di sepanjang perjalanan pulang, Bima tertidur di pangkuan Cahaya yang duduk di samping Sagara yang duduk di kursi kemudi. Suasana di dalam mobil hening, tidaka da yang bersuara sama sekali, Cahaya juga merasa lelah karena sudah berdebat dan juga pusing karena Ibu Aiden yang menjambak rambutnya.
Tak lama kemudian. Sagara dan yang lainnya sudah sampai di rumah, mereka semua turun dari dalam mobilnya kemudian masuk ke dalam rumah. Bersamaan dengan itu pula, Rey datang lengkap dengan pakaian seragam Dokter dan juga alat medisnya.
Sagara membawa Bima dari gendongan Cahaya dan naik keatas, Cahaya mengekor di belakang tubuh Sagara karena ia juga harus mengurus Bima yaitu mengganti pakaiannya dan juga menjaganya. Bima pasti akan menangis kembali begitu bangun dari tidurnya, Cahaya cukup mengenal sosok Bima yang membutuhkan perhatian.
Rey memeriksa wajah Bima dan mengobati lukanya, Bima meringis saat Rey memberikan obat untuk luka di bibirnya sampai terbangun. Dugaan Cahaya benar, Bima kembali menangis dan memanggil namanya.
"Mbak, sakit..." Rintih Bima.
"Cup, cup, cup... Den Bima kan kuat, mbak udah menang lawan nenek sihirnya sampai jatuh. Mbak kan udah bilang, selama ada Mbak di samping Den Bima, Mbak akan berusaha melindungi Den Bima." Ucap Cahaya sambil mengusap kepala Bima serta memeluknya.
Kasih sayang Cahaya yang membuat tangis Bima mereda, Sagara melihat interaksi keduanya pun memalingkan wajahnya, dia tak mau menunjukkan kesedihannya di depan Bima.
"Jagoan! Lukanya sedikit kok, nanti juga akan cepat sembuh dan gak perih lagi. Jangan lupa minum obat sama pakai salepnya juga ya, Om Rey kasih obat terbaik buat Bima biar nanti bisa main tembak-tembakan lagi sama Om." Ucap Rey menatap Bima.
Bima menatap Rey sekilas dan menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, Om keluar dulu ya." Pamit Rey.
"Terimakasih, Om Rey." Ucap Bima dengan suara pelan.
Rey bangkit dari duduknya, ia keluar bersama Sagara. Cahaya membujuk Bima untuk mengganti pakaiannya, ia mengambilkan baju ganti dan memakaikannya pada Bima.
"Mbak, Bima laper." Ucap Bima.
"Den Bima lapar? Mbak ambilkan makanannya kesini ya," Ucap Cahaya sambil memakaikan celana Bima.
"Di bawah aja, aku mau makan sama Papa." Ucap Bima dengan mata sendunya.
Cahaya tersenyum kearah Bima, ia mengambil sisir kemudian merapikan rambut Bima.
"Baiklah, kita ke bawah ya." Ucap Cahaya menuruti keinginan Bima.
Sebelum turun, Cahaya merapikan rambutnya terlebih dahulu. Setelah rapi, Cahaya menggendong tubuh Bima dan keluar dari kamar dengan menuruni anak tangga.
Sagara dan ketiga sahabatnya makan bersama di bawah, terlihat ketiganya makan dengan wajah sumringah, sedangkan Sagara hanya duduk diam memikirkan sesuatu yang menurutnya penting.
"Tuan Sagara." Panggil Cahaya.
Sagara pun tersadar dari lamunannya, ia menatap Cahaya yang tengah menggendong Bima.
"Den Bima ingin makan dengan Tuan, apa boleh?" Tanya Cahaya.
"Kemarilah." Jawab Sagara menepuk pahanya meminta Bima duduk di pangkuannya.
Bima senang karena untuk pertama kalinya Sagara memintanya duduk di pangkuannya, Cahaya menurunkan tubuh Bima di atas paha Sagara.
"Mau makan pakai lauk apa?" Tanya Sagara.
Bima menatap lauk yang berjejer diatas meja.
"Tapi bibirnya masih perih," Ucap Bima.
"Mau mbak buatkan sup?" Ucap Cahaya.
"Itu pasti memakan waktu lama, aku lapar sekali." Jawab Bima.
"Makannya sedikit-sedikit saja, biar Papa yang suapi."Ucap Sagara.
"Benarkah?" Tanya Bima memastikan.
Sagara menganggukkan kepalanya, Bima pun menatap Cahaya dengan wajah berbinar dan di balas senyuman oleh Cahaya.
Matheo, Aliando dan juga Rey saling menatap satu sama lain. Mereka tahu seperti apa Sagara, melihat Bima yang berbinar bahagia membuat hati mereka tersentuh.
Hingga akhirnya, Bima makan di suapi oleh Sagara sambil tertawa renyah walaupun perih, Bima merasa senang karena ketiga sahabat ayahnya benar-benar menghiburnya.
Cahaya undur diri ke dapur, dari kejauhan ia melihat interaksi Bima dan juga ayahnya serta ketiga pria yang ikut bergabung disana. Cahaya mengeluarkan air mata, ia mengusapnya dengan kasar dan menggantinya dengan sebuah senyuman.
*
*
Malam hari.
Sekitar pukul 7 malam, Bima sudah terbang kealam mimpi. Sagara baru keluar dari dalam ruang kerjanya, Cahaya menata makana untuk makan malam Sagara. Untuk Bima, Cahaya membuatkan bubur karena luka di bibirnya bertambah akibat tergigit saat makan buah.
Sagara duduk di meja makan, ia memijat pelipisnya yang terasa pusing. Saat pulang untuk makan siang, Sagara tidak kembali ke kantornya, melainkan mengerjakan pekerjaannya di rumah saja.
"Cahaya." Panggil Sagara.
Cahaya yang sedang berdiri tak jauh dari Sagara pun langsung menoleh, ia pun menghentikan aktifitasnya dan berdiri tegak menghampiri Sagara.
"Iya, Tuan. Apa Tuan butuh sesuatu?" Tanya Cahaya.
"Duduk!" Titah Sagara.
"Em, tidak perlu Tuan. Saya berdiri saja." Ucap Cahaya.
Sagara menyendokkan nasinya ke piring, ia juga mengambilkan lauk secukupnya sebelum kembali mengeluarkan suaranya.
"Apa Bima ada bercerita sesuatu padamu?" Tanya Sagara.
Cahaya tahu kemana arah pembicaraan Sagara, mungkin sudah saatnya Sagara tahu apa yang sedang di rasakan oleh Bima.
"Ada Tuan," Jawab Cahaya.
"Katakan." Sagara melipat kedua tangannya di dada, ia menatap Cahaya dengan seksama.
"Pertama kali saya datang ke rumah ini, begitu esoknya saya di tugaskan mengantarkan Den Bima ke perta ulang tahun temannya, disana Den Bima di usir dari pesta saat tak sengaja menubruk salah satu temannya. Bahkan kata-kata ibu-ibu disana menyakiti Den Bima dan mengatakan Den Bima anak yatim piatu karena mereka tak pernah melihat orangtua Den Bima mengantar ke sekolah seperti anak lainnya, kenakalan yang Den Bima lakukan menjadi penilaian mereka sampai berkata sedemikian rupa. Tuan, ingat? Kenapa Den Bima bisa demam? Saat itu Den Bima lari begitu di usir dari pesta Elena, saya mengejarnya sampai hujan turun deras." Jelas Cahaya.
Sagara memejamkan matanya, dadanya berdenyut nyeri mendengar cerita dari Cahaya.
"Yang Den Bima butuhkan bukanlah harta, keinginan yang terpenuhi atau apapun itu. Den Bima mengatakan kalau ia hanya butuh Tuan ada di sisinya, Tuan memang satu rumah dengan Den Bima, akan tetapi Tuan membuat jarak yang seharusnya dekat. Tuan pasti tahu bagaimana perlakuan neneknya yang menyakiti hati dan fisiknya, di sekolah pun Bima selalu di sudutkan, apa pernah Tuan mendengar keluhannya? Tidak bukan, Den Bima sebenarnya tidak membutuhkan Nanny untuk menjaganya, di umurnya yang masih 6 tahun sudah bisa belajar mandiri. Dia hanya butuh Tuan Sagara, kepada siapa lagi Den Bima berlindung kalau bukan pada ayahnya? Siapa lagi yang Den Bima punya kalau bukan Tuan? Batinnya sakit, tapi Den Bima tak mau menunjukkannya karena ia berpikir sesakit apapun fisik serta lukanya, Tuan tidak akan memperdulikannya." Tambah Cahaya panjang lebar.
Sagara terdiam mendengar keluh kesah Bima dari Cahaya, rasa bersalah kian menyeruak ke dalam relung hatinya. Semua ucapan Cahaya, Sagara cerna ke dalam benaknya sampai ia tersadar bahwasannya ucapan Cahaya memang benar adanya.
waaaaaaaah kira2 gimana y reaksi Mak lampir th lakinya udah buntingin calon mantu idaman???🤔🤔🤔🤪