Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Berkunjung ke Tempat Ajeng
Ia melihat Ibnu yang sudah menunggu di parkiran mobil. Keduanya hari ini memang sudah berjanji untuk menjemput Andrean dan akan bersama mengunjungi para pelaku UKM dan UMKM yang telah mendapat apresiasi dari pemerintah pusat.
Sepanjang jalan pikiran Bisma masih mengingat kedekatan ia dan Deby. Ada rasa lega, juga sedikit kebimbangan yang tersisa saat sudah mengungkapkan kekecewaa yang ia rasa. Masih ada sedikit rasa yang ia simpan. Sesuatu yang luput dari ingatannya adalah ketika untuk pertama kali ia dan Deby tugas bersama di kota Bandung.
Saat itu, seorang laki-laki seusia dengannya membawa balita perempuan cantik dan menghampiri saat keduanya sedang menikmati makan siang di sebuah mall terkenal di Bandung.
Ia dapat melihat raut keterkejutan Deby melihat kedatangan lelaki muda itu. Ia pun sempat berkenalan dan membiarkan mereka berbincang beberapa saat.
Dari pembicaraan mereka yang berjarak darinya, Bisma tau bahwa lelaki itu mantan suami Deby beserta anak perempuan yang ia tinggalkan. Ia dapat melihat sikap dingin Deby saat batita perempuan itu mendekat padanya.
Ia menggelengkan kepala mengingat semuanya. Bagaimana bisa ia mengharapkan Deby menjadi ibu bagi putra-putrinya di masa depan, sedangkan perlakuannya pada darah dagingnya sendiri begitu dingin.
“Pak ... “ suara Ibnu menghentikan lamunan Bisma.
Bersama 12 orang rombongan dari 3 kementerian serta dinas terkait yang menggunakan 4 mobil, mereka akhirnya tiba di tempat pertama yaitu pembuatan cinderamata dan oleh-oleh khas Malang yang dikelola oleh Suryadi dan istrinya Maryam.
Bisma dan Ibnu hanya terdiam mengamati interaksi antara pengelola serta pihak kementerian yang mengamati proses pembuatan cinderamata hingga oleh-oleh khas Malang di rumah produksi yang menjadi pusat oleh-oleh milik Suryadi dan istrinya.
Para pegawai yang jumlahnya hampir seratusan berpakaian seragam menempati posisi masing-masing. Dari seragam yang dikenakan serta name-tag yang terpasang membuat Bisma tau posisi masing-masing pegawai yang berada di pusat oleh-oleh dan cindera mata Surya.
Entah kenapa jantung Bisma mendadak berdebar saat telinganya menangkap perkataan Andrean yang mengatakan bahwa kunjungan selanjutnya adalah ke kafe dan resto milik Ajeng.
Tatapan Bisma terpaku memasuki area kafe resto milik Ajeng begitu rombongan mobil berhenti di parkiran yang lumayan luas. Sejauh mata memandang tampak kesejukan. Tempatnya begitu teduh dan rindang. Ia membiarkan rombongan masuk terlebih dahulu.
Diikuti Ibnu yang membawa peralatan fotografinya Bisma turun dari mobil. Ia mengarahkan pemandangan ke semua sudut kafe dan resto ‘Yo Mangan ...'
Senyum tipis terbit di sudut bibirnya. Ia tak menyangka pencapaian Ajeng dalam mengelola usaha hingga mendapatkan penghargaan. Kalau dilihat dari kaca mata awan tidak mungkin dalam waktu dua tahun bisa berhasil dan membuat namanya berjejer dalam pelaku UKM yang mendapatkan apresiasi dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Stigmanya tentang Ajeng yang ‘matre’ karena menghabiskan banyak uang saat masih bersamanya langsung hilang. Ia yakin, Ajeng tak bekerja sendiri, pasti ada yang membantunya hingga mampu menjadi pengusaha yang layak diperhitungkan.
“Aku tidak yakin dalam jangka waktu satu tahun kafe resto dan semua usaha yang dimilikinya bisa berkembang secepat ini ... “ Bisma berkata pelan pada Ibnu yang sibuk mengambil spot-spot cantik di area tempat keduanya berada saat ini.
“Tentu saja pak. Kafe dan resto ini sudah berdiri hampir empat tahun. Pemilik asalnya pak Edi pensiunan tentara. Di tahun ketiga kepemilikan mulai beralih pada mbak Ale, tapi saat itu masih dikelola mas Hendra. Istrinya mbak Asih katanya sepupu jauh mbak Ale,” walaupun sibuk dengan aktivitasnya Ibnu tetap menjawab pertanyaan atasannya.
Keduanya masih berjalan-jalan hingga menuju taman kecil yang berisi beraneka bunga cantik yang ditata sedemikian rupa, membuat mata segar memandang.
Pandangan Bisma terpaku pada batita perempuan mungil yang berlari-lari mengejar kupu-kupu sambil berceloteh riang.
“Sini ade ... “ suara perempuan setengah baya berusaha mengikuti langkah lincah sang bayi.
Bisma terpana melihat pemandangan di depannya. Rasa hangat menyelimuti hatinya melihat batita mungil dan menggemaskan yang tak lain adalah putrinya. Nalurinya menuntun untuk menangkap bocil cantik itu dan menggendongnya langsung.
“Maaf pak .... “ suara bu Isma membuat Bisma menoleh padanya, “Biar ade sama saya.”
Ia merasa tidak enak hati melihat Lala yang tertawa senang dalam gendongan seorang lelaki asing. Apa lagi ia tidak mengenal sosok Bisma.
“Biar saja bu, toh anaknya tenang dan nggak rewel .... “ Bisma menjawab dengan santai.
Bisma tidak tau apa yang terjadi dengan perasaannya saat ini. Ada rasa senang, bahagia, bahkan haru yang membuncah sekaligus saat untuk pertama kali menggendong buah hatinya.
Aroma wangi bayi begitu menyegarkan indera penciumannya. Dengan penuh kasih sayang Bisma mencium pipi gemoy Lala yang tertawa dengan bahasa planetnya.
“Ya yah .... “ suara kenes itu membuat hati Bisma bergetar.
Ibnu melihat pemandangan di hadapannya dengan raut bingung. Tapi tatapannya tak teralihkan. Batita cantik menggemaskan itu begitu anteng dalam gendongan atasannya.
Padahal selama ini, setiap mereka mampir ke kafe resto untuk makan siang atau sekedar nongkrong bersama, si mungil tidak mudah untuk dekat apalagi sampai mau digendong dengan sembarang orang.
“Ade, sama bibi ya .... “ bu Isma berusaha mengulurkan tangannya yang langsung ditolak Lala.
“Lho pak, kok si gemoy ini mau digendong sama bapak?” rasa heran Ibnu membuatnya langsung bertanya pada Bisma.
Senyum lebar tampak dengan sempurna di wajah Bisma. Bagaimana ia harus mengatakan pada Ibnu, bahwa darah lebih kental dari pada air. Buktinya putrinya langsung lengket dengannya.
“Permisi pak, biar ade saya gendong .... “ ucapan bu Isma terdengar menginterupsi keduanya.
Ia merasa tidak enak hati melihat Lala yang memeluk leher Bisma dengan erat. Apa lagi lelaki berpakaian dinas itu tampak senang dengan keberadaan si kecil yang anteng dalam gendongannya.
“Gak apa Bu,” Bisma menjawab tenang berusaha membuang kekhawatiran yang tergambar di wajah perempuan parobaya di depannya.
Dengan santai ia membawa Lala berjalan mengelilingi beberapa tempat yang ia yakini sebagai bagian usaha yang digeluti Ajeng. Ia cukup kagum dengan penataan ruang yang dibagi menjadi beberapa tempat.
Melalui jalan samping ia terus mengamati kegiatan beberapa pekerja yang menjalankan tugasnya masing-masing. Ibnu dengan setia menjelaskan beberapa hal yang ia tanyakan. Posisi usaha laundry berjarak empat meter dengan kafe resto yang kali ini terlihat cukup ramai. Ia melihat ruang pengolahan makanan ringan kekinian.
Dalam satu ruang ia melihat ada pengolahan jagung manis yang akan dibuat menjadi brondong jagung dengan beberapa varian rasa. Dari tempat pengolahan brondong jagung, kakinya melangkah ke pengolahan limbah daun jagung yang dijadikan cinderamata dan aksesoris kecil.
Ia kini mengagumi cara pikir dan kerja Ajeng yang memprakaryakan para pelajar SMK serta ibu rumah tangga yang berada di lingkungan tempat usahanya berada.
Langkahnya terus berjalan mengitari area yang lumayan luas dengan beberapa usaha mikro di dalamnya. Pandangannya terhenti pada ladang jagung yang terbentang dengan para pekerja yang mulai memanen.
“Hebat juga .... “ gumam Bisma sambil memandang pekerja yang mulai turun ke petak-petak jagung yang siap panen.
“Benar pak,” sambung Ibnu cepat.
Keduanya masih mengamati kesibukan para pemanen jagung yang terdiri atas beberapa orang pemuda tanggung.
“Dari mana pekerjanya Nu?” Bisma tak bisa menutupi rasa penasaran melihat para pekerja yang usianya masih sangat muda.
“Mereka pelajar kelas 11 SMK pak. Tempat mbak Ale juga menampung para pelajar magang di SMK yang berada di depan .... “ Ibnu menjelaskan.
Dengan seksama Ibnu menceritakan awal mula Ajeng menjalin kerjasama dengan SMK Nusa untuk menyediakan lokasi magang bagi pelajar yang memerlukan tempat untuk mempraktekkan teori yang telah mereka dapat di sekolah.
Dengan bantuan Gusman waka kurikulum yang merupakan sahabat Hendra yang menjadi manajer operasional usaha Ajeng, akhirnya mereka mendapat izin untuk membuka beberapa usaha yang menunjang kurikulum SMK.
Usaha yang ditambah yaitu, pembuatan makanan ringan seperti roti, snack, dan minuman kekinian. Pertanian yang dikhususkan pada tanaman jagung serta umbi-umbian yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan dasar kafe dan resto.
Selain itu, Ajeng juga membuka usaha laundry juga bengkel kecil bagi pelajar yang basic-nya otomotif plus pencucian mobil dan motor. Belum lama ini kost-kostan sederhana juga ia tambah karena prospeknya bagus.
Senyum Bisma semakin lebar setelah Ibnu mengakhiri ceritanya. Kini ia paham kemana uangnya mengalir. Ajeng telah memanfaatkan materi yang ia beri selama ini dengan maksimal yang tentu hasilnya juga sangat signifikan.