Rivandra,, menjadi seorang penerus perusahaan besar membuatnya harus menjadi dingin pada setiap orang. tiba-tiba seorang Arsyilla mampu mengetuk hatinya. apakah Rivandra akan mampu mempertahankan sikap dinginnya atau Arsyilla bisa merubahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Widyastutik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
"Kak Zaen!" panggil Shayna saat melihat Zaen didepan igd rumah sakit.
Zaen sedikit keki saat melihat Arsyilla di belakang Shayna. 'Gimana aku akan menjelaskan tentang sakit kakakmu kalau yang membuatnya sakit justru sedang berada di sini.' keluh Zaen sedih.
"Kenapa Kak Zaen diam saja? Apa sakit Kak Rivan fatal?"
"Tenang dulu, Shay. Biar Pak Zaen bisa menjawabnya." hibur Arsyilla.
"Terlalu banyak mabuk, lambungnya hampir pecah."
Jawaban Zaen malah membuat Shayna menangis sedih. Arsyilla memeluknya. Giliran Zaen yang kebingungan.
"Rivan melarangku menghubungi orang tuamu, Shay."
"Tentu saja." jawab Shayna. "Kak Rivan bisa kabur dari rumah sakit seperti yang dulu-dulu."
"Kabur dari rumah sakit?" tanya Arsyilla pelan.
"Zaen, Rivan sudah dipindahkan ke kamar VIP. Apa aku bisa bicara dengan kalian berdua? Tentu saja setelah kalian mengantarkan Rivan ke kamarnya." kata Dokter yang menangani Rivandra.
"Baiklah. Terima kasih Riko."
"Oke. Aku ke ruanganku dulu."
Arsyilla membantu Shayna membereskan barang-barang Rivandra. Karena tentu saja Shayna tidak terbiasa untuk itu. Kamar VIP yang termewah yang pernah dimasuki oleh Arsyilla.
Arsyilla tidak enak hati kalau terus berada disana karena dia bukan keluarga pasien.
"Shay, aku kembali ke kantor ya. Aku belum berpamitan dengan Pak Zaen."
"Aku disini, Syilla." sahut Zaen yang baru keluar dari kamar mandi.
Arsyilla menepuk keningnya, "Aduuhh aku lupa!"
"Kamu bisa berada di sini menemani Shayna. Tentang ijinmu, aku bisa mengaturnya nanti." kata Zaen setelah berhenti tertawa.
"Syilla, aku titip si Rivan bentar ya. Aku dan Kak Zaen mau bicara dengan dokternya dulu."
"Aku sendirian?!" protes Arsyilla takut.
"Tenang saja, mentor favoritmu itu sedang sakit, dia tidak akan marah padamu." goda Zaen.
"Pak!" tegur Arsyilla kesal.
"Aku tinggal ya Syill."
"Jangan lama-lama!"
"Ehhmmm.. Mungkin sekitar lima jam lah ya. Kita sempetin makan siang romantis dulu ya Shay."
"Pak Zaen!" protes Arsyilla kesal.
"Aku usahakan secepatnya, Syilla. Tidak usah dengar Kak Zaen."
"Enak saja tidak mau mendengarkanku. Aku ini bosnya sekarang."
Tangan Shayna bersedekap, "Apa kita akan berdebat terus?"
"Oke. Kita pergi!" ajak Zaen keki.
Arsyilla tertawa melihat ekspresi takut Zaen yang baru dilihatnya tadi. Terdengar rintihan Rivandra. Arsyilla mendekat. Bingung apa dia harus menyapa atau tidak.
"Syilla,,, Syilla,,,, "
Arsyilla langsung mendekat, "Pak Rivandra mengigau? Jelas-jelas tadi aku mendengar Pak Rivandra memanggilku." gumam Arsyilla.
Arsyilla memperbaiki posisi selimut Rivandra, meletakkan tangan Rivandra di bawah selimut. Tapi saat Arsyilla hendak duduk, tangan itu menggenggam tangannya. Arsyilla melihat Rivandra sudah membuka matanya dengan lemah. Seperti biasa, meski tidak dalam keadaan marah, sorot mata Rivandra selalu terlihat tajam di mata Arsyilla.
"Apa yang terjadi padaku, Syilla?"
"Pak Rivandra pingsan karena terlalu banyak mabuk. Bahkan lambung Pak Rivandra hampir pecah."
"Bisa tinggikan posisi kepalaku."
"Ah,, sebentar."
Arsyilla mencoba melepaskan genggaman tangan Rivandra, takut Zaen atau Shayna melihatnya.
"Kenapa?" tanya Rivandra lemah.
"Saya,, gak enak kalau dilihat Pak Zaen atau Shayna, Pak. Takut ada kesalahpahaman."
"Biarkan saja."
"Hah,, biarkan saja?" ulang Arsyilla kaget. "Apa Pak Rivandra mau minum?"
"Apa boleh aku menciummu saja?" gurau Rivandra.
"Apa? Sejak kapan Pak Rivandra berubah jadi orang mesum?" sindir Arsyilla heran.
Rivandra tersenyum, meski wajahnya pucat tapi senyum itu terlihat manis di mata Syilla.
"Kenapa melihatku seperti itu? Apa merindukanku?"
"Maaf, Pak." jawab Arsyilla keki.
"Aku merindukanmu, Syilla."
"Istirahatlah, Pak." kata Arsyilla mengalihkan pembicaraan.
Rivandra menarik tangan Arsyilla hingga dia terduduk di ranjang Rivandra. Hampir saja bibirnya dan bibir Rivandra kembali bersentuhan kalau Arsyilla tidak menopangnya dengan tangannya yang lain.
"Apa Zaen sudah bisa membuatmu lupa padaku? Bahkan kamu tidak mau menyapaku setiap kali berpapasan."
"Apa tidak terbalik ya Pak? Bukannya Pak Rivandra yang mengacuhkan saya sewaktu saya menyapa Pak Rivandra. Saya pikir, Pak Rivandra malu disapa pegawai rendahan seperti saya."
"Malu?"
"Kan saya pegawai yang gak becus, Pak." keluh Arsyilla mengingatkan.
Rivandra kembali tersenyum membuat Arsyilla sedikit tenang, meskipun masih tidak bisa melepaskan tangannya dari Rivandra.
"Setelah kamu mendengar perasaanku, kamu menyapaku hanya menganggukkan kepalamu begitu saja. Kamu pikir aku tidak kesal?"
Arsyilla menjadi bengong, "Lalu, saya harus bagaimana Pak?"
"Aku pikir kamu bisa menjaga jarak dengan Zaen setelah aku mengungkapkan perasaanku. Tapi ternyata kalian malah semakin dekat."
"Semakin dekat gimana? Pak Zaen kan atasan saya sekarang, Pak. Masa saya harus mengacuhkan Pak Zaen?"
"Sudahlah. Aku akan istirahat."
"Makan dulu, Pak. Lalu minum obat. Ehmmm.. Bisa tolong lepaskan tangan saya, Pak?"
"Setelah kamu berjanji akan menyuapiku."
Arsyilla terdiam.
"Tidak usah. Biarkan saja aku sakit."
"Kok gitu? Eh,, tapi ada baiknya juga Pak Rivandra sakit." gurau Arsyila.
"Apa?!" protes Rivandra tidak terima.
"Karena kalau Pak Rivandra sedang sakit, bisa tersenyum. Sangat berbeda dengan Pak Rivandra yang saya temui di kantor." jawab Arsyilla sambil tersenyum tulus.
"Duduklah. Biar aku makan sendiri." kata Rivandra sambil berusaha bangun. Meskipun terlalu memaksa tapi tubuh Rivandra memang masih lemah. Karena itu dia hanya makin merasa sakit di lambungnya.
Arsyilla tertawa lirih. "Lepaskan tangan saya, Pak. Biar bisa bantu Pak Rivandra."
Akhirnya Rivandra melepaskan tangan Arsyilla dengan tidak rela, dan mempersilahkan Arsyilla membantunya. Dari menyuapi, membersihkan bekas makanan yang tumpah di dagu dan bibirnya, membantu Rivandra minum obatnya. Lalu membantu Rivandra kembali merebahkan tubuhnya.
"Kalau dengan sakit, aku bisa mendapatkan perhatian penuh dari kamu seperti ini, aku bersedia sakit seterusnya."
"Hussshh... Tidak boleh seperti itu, Pak."
"Kenapa?"
"Karena saya yang gak bersedia memperhatikan Pak Rivandra lagi." kata Arsyilla sambil tertawa.
"Memangnya aku semenakutkan itu? Sampai kamu tidak mau melihatku?"
"Bukan begitu, Pak. Tatapan Pak Rivandra terlalu tajam. Saya takut melihat mata Pak Rivandra."
"Boleh aku menggenggam tangan kamu, Syilla?"
"Lebih baik jangan ya Pak. Takutnya nanti Shayna atau Pak Zaen salah paham."
"Aku yakin mereka akan mengerti."
"Mengerti bagaimana, Pak. Saya yang akan menjadi korban ledekan mereka nantinya."
"Apa aku harus marah terlebih dulu agar kamu mau memenuhi permintaanku?"
"Istirahatlah pak. Nanti kalau saya pulang, saya tidak akan membangunkan Pak Rivandra."
"Tidak bisakah kamu menemaniku hari ini?"
"Ada Shayna Pak."
"Aku mohon, Syilla. Hanya malam ini."
"Kita lihat nanti ya Pak."
"Baiklah."
Setelah memastikan Rivandra sudah tidur, Arsyilla menyandarkan tubuhnya di kursi untuk menunggu pasien. Tidak membutuhkan waktu lama akhirnya tertidur.
****
"Kenapa masih ada di luar? Apa Syilla sudah pulang?" tanya Shayna heran karena Zaen tidak juga masuk kamar Rivandra.
Jari telunjuk Zaen berada di mulutnya pertanda menyuruh Shayna untuk tidak berisik. Kemudian melambaikan tangannya agar Shayna mendekat.
"Lihatlah apa yang dilakukan kakakmu itu!" bisik Zaen lucu.
Shayna berdiri di depan Zaen dan mengintip apa yang sedang dilakukan Rivandra. Tangan Shayna menutup mulutnya yang terbuka.
Rivandra mencabut infusnya dan menggendong tubuh Arsyilla ke atas ranjang pasien. Lalu mencium kening Arsyilla sedikit lama. Kemudian menggantikan posisi tidur Arsyilla sambil menggenggam tangannya. Terlihat sangat posesif.