Dalam waktu dekat, umat manusia telah mengembangkan teknologi canggih yang memungkinkan mereka melakukan perjalanan antar bintang. Misi perurkan dengan harapan menemukan planet yang layak huni. Namun, saat kru tiba setelah bertahun-tahun dalam cryosleep, mereka menemukan sinyal misterius dari peradaban asing, mengubah misi eksplorasi ini menjadi perjuangan bertahan hidup dan penemuan besar yang bisa mengubah nasib umat manusia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifky Ramadhan Official, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Bab 9: Cermin Jiwa
Sinar terang yang menyelimuti kru mulai mereda, tapi mereka tidak lagi berada di dalam menara. Elena membuka matanya dan mendapati dirinya berdiri di sebuah padang luas, dikelilingi oleh kabut putih yang tebal. Tempat itu terasa sunyi, tanpa suara, tanpa gerakan—hanya kekosongan yang aneh dan menekan.
“Elena?” Suara Kara terdengar samar. Dia berdiri tak jauh dari Elena, tapi meskipun mereka hanya terpisah beberapa meter, Elena merasakan jarak yang aneh di antara mereka. Seperti ada sesuatu yang memisahkan mereka, meskipun secara fisik mereka dekat.
“Aku di sini,” jawab Elena, mencoba meredakan kebingungan. Namun, ada sesuatu yang terasa sangat salah. “Di mana yang lain?”
Kara memandang sekeliling, wajahnya penuh kebingungan dan sedikit rasa takut. “Aku tidak tahu. Tadi mereka di sini… tapi sekarang, sepertinya hanya kita.”
Elena merasakan ketegangan menjalar ke seluruh tubuhnya. Mereka telah dibawa ke tempat yang berbeda, tempat di mana hukum-hukum realitas tidak berlaku. Mungkin ini bagian dari ujian yang disebutkan oleh makhluk penjaga itu—ujian yang menguji hati dan pikiran mereka.
Tiba-tiba, kabut di depan mereka mulai bergerak, membentuk sesuatu. Perlahan-lahan, kabut tersebut berkumpul menjadi sebuah bentuk besar—cermin raksasa setinggi beberapa meter yang berdiri tegak di hadapan mereka. Permukaan cermin itu berkilauan, namun tidak memantulkan bayangan mereka. Hanya kegelapan yang tak terbatas di baliknya.
“Elena, apa ini?” bisik Kara, jelas takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Elena melangkah maju, mendekati cermin. “Ini bagian dari ujian,” katanya, meskipun dia sendiri tidak yakin. “Kita harus menghadapinya.”
Saat Elena mendekat, permukaan cermin mulai berubah. Awalnya hanya berupa kilatan samar, tetapi kemudian bayangan Elena mulai muncul di permukaan. Namun, ini bukan sekadar pantulan dirinya. Sosok yang muncul di dalam cermin tampak lebih tua, letih, dan penuh luka. Matanya dipenuhi dengan beban yang tak tertahankan.
“Siapa kau?” tanya Elena, meskipun dia tahu jawabannya. Sosok di dalam cermin adalah dirinya—versi dirinya yang telah melalui kengerian dan rasa sakit yang tak terbayangkan.
"Aku adalah dirimu yang sejati," suara dari dalam cermin bergema, terdengar seram namun akrab. "Aku adalah semua yang kau sembunyikan. Ketakutanmu. Penyesalanmu. Kegagalanmu."
Elena mundur selangkah, merasakan detak jantungnya meningkat. “Ini hanya tipuan. Aku tidak takut padamu.”
"Benarkah?" sosok itu menyeringai, sebuah senyum yang tampak begitu asing di wajah yang seharusnya miliknya. "Bagaimana dengan rasa bersalah yang kau rasakan setiap malam? Kegagalanmu sebagai pemimpin? Kau kehilangan banyak orang di bawah komandomu, dan kau tahu itu. Setiap keputusan yang kau buat hanya membawa mereka lebih dekat pada kematian."
“Diam!” Elena berteriak, menggenggam erat tangannya. Namun kata-kata sosok itu telah menusuk jauh ke dalam hatinya. Benarkah semua keputusan yang diambilnya? Apakah dia sudah memimpin dengan benar, atau apakah dia hanya membawa mereka menuju kehancuran?
"Lihatlah dirimu, Elena," lanjut sosok itu. "Kau tahu bahwa misi ini adalah hal yang mustahil. Kau tahu sejak awal bahwa kau mungkin tidak akan menemukan apa pun selain kehancuran. Tapi kau tetap memaksa, berharap bahwa ada jalan keluar. Kau tidak mencari kebenaran—kau mencari penebusan."
Elena merasakan dadanya sesak. Kata-kata itu seperti racun, menyebar melalui pikirannya. Apakah dia benar-benar memimpin misi ini demi penebusan? Demi menebus kesalahan-kesalahan masa lalunya yang tidak pernah dia lupakan? Satu per satu wajah-wajah dari masa lalunya muncul di pikirannya—orang-orang yang dia tidak bisa selamatkan.
Kara, yang berdiri di belakang Elena, bisa merasakan tekanan emosional yang semakin berat. “Elena… ini bukan nyata. Jangan dengarkan dia.”
Namun, sebelum Elena bisa merespons, cermin di depannya tiba-tiba hancur menjadi ribuan pecahan kaca, terbang di udara. Setiap pecahan kaca itu menampilkan wajah-wajah berbeda dari masa lalu Elena—semua orang yang pernah dia kecewakan, setiap kesalahan yang dia buat.
“Elena, kita harus pergi dari sini!” Kara menarik lengannya, mencoba menarik Elena kembali ke kenyataan. Tapi Elena merasa lumpuh oleh rasa bersalah yang menghantuinya. Pecahan-pecahan kaca itu mengelilinginya, berbisik dengan suara-suara yang familiar, suara orang-orang yang telah hilang dari hidupnya.
“Kau gagal…”
“Kenapa kau tidak menyelamatkan kami?”
“Kau tidak pantas menjadi pemimpin…”
Namun di tengah semua itu, ada satu suara yang berbeda. Suara itu lebih lembut, hampir seperti bisikan. Itu suara Samuel.
“Elena, jangan biarkan ini menghancurkanmu. Kau tahu siapa dirimu.”
Elena mengerutkan kening, mencoba mencari sumber suara itu. Dalam kepingan kaca, dia melihat Samuel—tapi bukan Samuel yang saat ini berada di sisinya. Itu adalah Samuel yang dia kenal sebelum misi ini dimulai, sebelum semua tragedi terjadi. Samuel yang percaya padanya, yang selalu mendorongnya untuk terus maju.
“Kau tidak bisa kembali ke masa lalu, tapi kau bisa membuat pilihan yang lebih baik sekarang,” suara Samuel bergema lagi, mengalahkan semua bisikan lain.
Elena menutup matanya dan menarik napas dalam. Ini bukan tentang masa lalu, pikirnya. Ini tentang masa depan. Aku tidak akan biarkan rasa bersalah ini menghancurkanku.
Dengan keberanian yang diperbarui, Elena mengangkat tangannya dan menghancurkan kepingan kaca yang mengelilinginya. Suara-suara itu perlahan mereda, menghilang seiring pecahan kaca runtuh menjadi debu di udara.
Kara, yang melihat kejadian itu, mendesah lega. “Kau berhasil.”
Elena membuka matanya, pandangan penuh tekad. “Ini belum berakhir. Kita masih dalam ujian.”
Tiba-tiba, kabut di sekitar mereka mulai surut, memperlihatkan sebuah gerbang besar yang berkilauan di kejauhan. Dari gerbang itu, sosok yang tampak seperti Samuel muncul—tapi ini bukan ilusi. Ini Samuel yang nyata, bersama Mark dan Anya, berjalan ke arah mereka.
“Kau baik-baik saja?” tanya Samuel, terlihat khawatir. “Kami tiba-tiba terpisah, tapi semuanya terasa seperti mimpi.”
Elena mengangguk. “Ya, ini adalah bagian dari ujian. Tapi kita harus terus maju. Kita tidak bisa berhenti sekarang.”
Mereka semua saling memandang, rasa lega dan kebingungan menyelimuti. Ujian di dalam cermin telah menguji batas mereka, menghadapkan mereka pada sisi tergelap dari diri mereka sendiri. Tapi mereka masih bertahan—mereka masih di sini, siap untuk menghadapi tantangan berikutnya.
Dengan langkah pasti, Elena dan kru melangkah melewati gerbang, menuju apa pun yang menunggu mereka di sisi lain. Mereka tahu bahwa perjalanan ini belum selesai, dan ujian yang lebih besar masih menanti. Tapi satu hal yang pasti—mereka tidak akan berhenti sampai mereka menemukan kebenaran yang tersembunyi di balik sinyal misterius itu.