Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi, Alexander dan Semar
Septiani terbangun dengan berpeluh. Dadanya kembang kempis, nafasnya putus-putus dan tubuhnya bergetar.
Ia bermimpi.
Ia sungguh tak tahu apa yang ia rasakan sejatinya. Sosok seorang Dihyan memang mempesona. Dia cakep dengan wajah kebuelannya, tinggi dan memiliki perilaku yang lumayan juga. Namun, apa yang terjadi di dalam mimpi sama sekali tidak mungkin ia lakukan. Ia tidak mungkin sampai berani melakukan itu. Di kejadian nyata, bila pun ia memiliki ketertarikan kepada seorang Dihyan, bila laki-laki muda semacam itu berani menyentuh apalagi sampai mencium, dan … merogoh … ugh, Septiani bakal langsung menampar orang itu, mungkin malah mencakar, kemudian melemparnya ke jurang.
Lagian, mengapa ia sampai bisa bermimpi mengenai Dihyan, sih? Mimpi itu begitu jelas, begitu nyata. Ia masih sangat ingat dan bisa merasakannya. Bibirnya, tubuhnya, dadanya, seperti habis diciumin dan disentuhi. Lucunya lagi, ia seperti terhipnotis. Ia menjadi sosok yang sama sekali berbeda di dalam mimpi. Ia tak bisa mengatur pikiran dah tubuhnya sendiri. Skenario mimpi itu membuatnya menjadi sosok Septiani yang tergila-gila pada seorang Dihyan, dan dalam pertemuan pertama saja sudah berani memberikan bibir dan tubuhnya kepada orang yang tidak dikenalnya.
Tentu ia tidak membenci Dihyan, tapi ia juga tidak tergila-gila pada laki-laki muda itu. Ia sadar, ada sepercik rasa tertarik pada sosoknya, tetapi tidak lebih. Lalu, bagaimana caranya untuk memandang Dihyan esok hari ketika kemungkinan bertemu laki-laki itu lagi? Septiani malah menyalahkan dirinya, kenapa ia bisa-bisanya bermimpi seperti itu. Mana mungkin ia menyalahkan Dihyan sebagai biang kerok mimpinya, sedangkan di kenyataan Dihyan tidak pernah bersikap demikian, bahkan mendekati pun tidak. Dihyan bukan laki-laki genit dan kurang ajar, sebaliknya bahkan. Secara memalukan, Septiani sendiri malah yang memberikan persetujuan itu, memancing agar sosok Dihyan di dalam mimpi untuk mencumbunya.
Septiani berdiri dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi. Ia mengganti bajunya yang sudah terasa tak nyaman karena keringat.
Ia belum pernah menyentuh dan disentuh laki-laki manapun. Tentu tak akan ia biarkan begitu saja. Akan tetapi, mimpi itu terasa baru saja terjadi. Apakah mimpi tersebut dapat dianggap sebagai pengalamannya yang pertama?
Ia merinding mengingat betapa ia menikmati ciuman itu, ketika lidah mereka bersinggungan, ketika dadanya digenggam, ketika jari-jari itu menyentuh kulit dadanya dan merogoh ke dalamnya.
Mengapa di mimpi ia begitu menikmatinya? Mengapa ia begitu mendambanya?
Pukul 3 pagi. Septiani harus kembali tidur. Ia sudah kelelahan karena mimpi aneh tersebut, sebuah mimpi jorok, lalu mengapa ia harus capek untuk memikirkannya lagi?
Setelah berganti pakaian, tak lama Septiani kembali terlelap.
Di sisi nasib yang lain, Dihyan terlentang menatap langit-langit kamar rumah orang tua kandung Centhini itu, dengan kedua tangan terangkat kemudian ditimpa kepalanya untuk dijadikan bantal.
Ia tak tahu bagaimana menanggapi kejadian dini hari ini, semuanya. Mimpinya, Ko Alexander, atau keris Semar tersebut.
Keris Semar?
Dihyan mengernyit. Apa ada hubungannya antara ketiga hal yang terjadi dini hari ini: mimpi, Ko Alex dan keris Semar?
Dihyan masih belum bisa berpikir secara jernih. Ia memang dibesarkan di dalam budaya Jawa, terutama dalam sikap, perilaku dan bahasa. Namun, karena tinggal di Sumatra selama ini, ia kadang merasa tidak terlalu njawawi, alias tidak menjadi orang Jawa seutuhnya. Toh, menjadi orang Jawa tidak juga berarti ia harus paham dan mempercayai hal-hal klenik dan magis, bukan?
Dihyan sadar sekali dengan kenyataan ini. Masalahnya, ia sendiri tak tahu mengapa ia menyimpan dan sebenarnya menyembunyikan barang yang ia temukan, yatu keras Semar tersebut. Tidak ada alasan tertentu yang membuatnya tertarik untuk mengambil benda asing yang entah juga mengapa membuatnya tertarik.
Dihyan meraba keris Semar kuningan itu yang ada di kantong celananya. Jari telunjuknya meraba permukaan keris.
Tanpa sadar, ia terlelap kembali.
Pukul 6.16 pagi, ia terbangun.
“Yan, ayo bangun. Sudah pagi,” suara Centhini yang ia kenal dengan baik sudah terdengar.
Kakaknya itu berjalan keluar kamar.
Dihyan bangun, duduk dan memindai sekeliling. Ia meraba sakunya dan menemukan keris Semar yang kantong pembungkusnya dipisahkan dan ditempatkan di tasnya karena masih lembab. Dengan ibu jari dan telunjuk kirinya, ia mencubit pipinya sendiri. Sakit. Harusnya ini bukan mimpi.
Dihyan kemudian sungguh bangun. Rumah tersebut sudah ramai karena semua anggota keluarga juga sudah mulai beraktifitas. Aktifitas yang dimaksud disini sebenarnya adalah percakapan yang penuh canda dan pembicaraan acak tentang beragam hal. Toh, rumah ini pada dasarnya bukan rumah siapapun: rumah Centhini sejatinya. Jadi, memang tidak ada kegiatan seperti masak-memasak atau melayani tamu dari tuan rumah. Keluarga Martha bukan tuan rumah sesungguhnya, malahan keluarganya dan keluarga Benjamin adalah sama-sama tamu.
Kini, mau tak mau, Dihyan menjadi memperhatikan semua aspek rumah ini. Bukan karena ia tertarik, melainkan memang ada banyak hal yang membuatnya penasaran. Lihat bagaimana Steven dan Alexander berdiri berdampingan di samping meja abu, tersenyum seringai dengan cara aneh yang sama, mendengar percakapan antara Martha dan Maryam. Benjamin sendiri berjalan, memperhatikan sekeliling rumah bersama Centhini, mungkin sekaligus membahas satu dua hal.
Dihyan yang bingung mau apa dan bagaimana, pergi keluar. Ia ke pekarangan belakang, segera berangkat mandi sebelum yang lain menggunakan kamar mandi sekaligus toilet itu untuk kegiatan yang sama. Bapaknya berkata akan menraktir semua orang untuk makan di pusat keramaian di bawah bukit sana, tempat mereka memarkir mobil.
Itu berarti termasuk Ajun dan Septiani.
Darah Dihyan berdesir kembali ketika mengingat nama itu. Ia bingung harus bersikap seperti apa nanti ketika akhirnya kedua bertemu. Ia sadar semalam ia hanya bermimpi. Tidak mungkin memperlakukan Septiani seperti apa yang terjadi di dalam mimpinya tersebut. Lagipula, ia tidak mau terlihat seperti seoran freak, tersenyum-senyum tak jelas, atau bahkan cabul di depan keponakan Centhini tersebut.
“Apa sebenarnya kau ini?” ujar Dihyan. Ia sudah tak berbusana, tetapi belum mengguyurkan air ke tubuhnya. Ia masih memperhatikan tangan kanannya yang memegang keris Semar, meraba permukaannya.
Bunyi gedoran keras di pintu, membuat Dihyan melonjak.
“Selak uwis, cepet udahan, Yan. Aku juga mau mandi. Yang lain juga.”
Suara Centhini yang melengking itu terdengar jelas diluar.
“Astaga, Mbak! Bikin jantungan kowe. Wong aku baru aja masuk kok kamar mandi kok suruh udahan.” Balas Dihyan.
“Apaan, kamu udah lebih dari setengah jam di dalam. Ngapain hayo?”
Hah? Setengah jam?
Dihyan memperhatikan tubuh telanjangnya. Sama sekali belum basah. Ia memang melamun sejenak, tapi apa mungkin selama itu?
“Iya, iya … aku lagi buang air besar tadi, Mbak. Sik, tak mandi dulu. Sana jauh-jauh. Jangan nunggu di depan pintu, kayak antri sembako aja.”
“Awas yo kalau kelamaan, tak dobrak pintunya nanti.”
“Iya Mbak, iyaaa ….” Seru Dihyan frustasi. Mana mungkin melawan maunya kakak perempuannya itu.
Centhini sendiri di luar terkekeh puas bisa membuat adiknya kesal.
klo yg ketemu di mimpi Dihyan Stefanie Indri, mungkinn wae sih, terakhir ketemu juga Dihyan mimpi yg di ksh nomer hp itu
klo dibandingkan sama Dihyan, Ashin banyak beruntungnya. Ashin mah langsung praktek lahh Asuk Dihyan mah kan cuma di mimpi 😂
next