Menikah secara tiba-tiba dengan Dean membuat Ara memasuki babak baru kehidupannya.
Pernikahan yang awalnya ia kira akan membawanya keluar dari neraka penderitaan, namun, tak disangka ia malah memasuki neraka baru. Neraka yang diciptakan oleh Dean, suaminya yang ternyata sangat membencinya.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? apakah Ara dapat menyelamatkan pernikahannya atau menyerah dengan perlakuan Dean?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu Unaiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 9
“Dean tau kamu sakit?” pertanyaan Bimo membuka percakapan antara ia dan Ara. Sejak memasuki mobil Ara hanya diam. Awalnya ia menolak diantar oleh Bimo tapi karna Bimo sedikit memaksa akhirnya Ara mengalah. Tidak enak juga Ara terus menolak niat baik seseorang yang sudah menolongnya hari ini.
“emm, kayaknya enggak” jawab Ara, agak sedikit canggung sebenarnya berada satu mobil dengan pria ini.
“kita makan dulu atau mau langsung aku antar pulang?” Bimo mengubah topik, sadar bahwa seharusnya ia tidak bertanya tentang Dean. Sebenarnya ia memang berniat mengajak Ara untuk makan mengingat ini sudah lewat jam makan siang dan sepertinya Ara belum makan siang.
“Boleh langsung pulang aja? Kalau kamu lapar, aku bisa pulang sendiri kok kalau kamu mau makan dulu.” Rasa bersalah terlihat jelas di wajah Ara saat mengatakan itu, ia tau niat baik pria di sampingnya ini namun, sepertinya pulang kerumah menjadi pilihan terbaik. Tidak etis rasanya makan berdua dengan pria ini. Meski ia tau Bimo hanya bersikap baik tanpa ada niatan lain.
“eitt bukan aku yang lapar, tapi kamu yang butuh makan. Ini udah lewat jam makan siang, kamu pasti belum makan kan?” Bimo bertanya sambil melirik Ara di sampingnya.
“tapi kalau kamu mau pulang aja, yaudah aku antar” lanjut Bimo
“iya pulang aja” jawab Ara lemah
Setelahnya hanya hening, Ara kembali merasakan pening di kepalanya, sepertinya ia memang butuh istrahat. Mungkin setelah istrahat keadaannya akan membaik.
Sesampainya di depan rumah Ara segera turun. Tak ingin terlalu merepotkan Bimo yang berniat mengantarkannya sampai ke dalam rumah. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih dan setelahnya Bimo pamit. Bukan tak ingin mengajak masuk, tapi Ara rasa itu sedikit tidak pantas mengingat tidak ada siapa-siapa di rumah.
Setelah membersihkan badan Ara kemudian beristirahat, tentu saja di atas sofa. Ia tidak ingin membuat Dean murka lagi. Semoga setelah istrahat tubuhnya bisa membaik.
Tidak sampai satu jam Ara memejamkan mata, bel di depan rumah berbunyi. siapa yang datang sore-sore begini? Batin Ara. Dengan sedikit sempoyongan Ara bergegas ke luar membuka pintu, setelah melihat siapa yang memencet bel Ara segera terburu-buru membuka pagar.
“Mama kenapa nggak nelpon Ara?” ucap Ara seraya menyalami mertuanya yang ternyata datang berkunjung dan mengambil alih barang bawaan wanita paruh baya itu.
“Mama lupa Ra” jawab Ayana, setelahnya mereka berdua segera masuk ke dalam rumah.
“Mama dengar kamu sakit, makanya Mama datang” ucap Ayana saat mereka sudah duduk di ruang tamu.
“Cuma pusing biasa kok Ma, istrahat bentar juga pasti sembuh” jawab Ara mencoba meyakinkan mertuanya bahwa ia baik-baik saja.
“Ara bikinin minum dulu ya Ma” pamit Ara hendak beranjak ke dapur namun langsung ditahan oleh Ayana “eh nggak usah, Mama nggak haus”
“Mama masakin kamu sop ayam kampung, biasanya kalo Mama lagi nggak enak badan suka makan ini” ucap Ayana sambil memberikan kotak makan yang tadi dibawanya.
“enggak usah repot-repot Ma. Tapi terima kasih nanti akan Ara makan”
Hal baik dari pernikahannya dengan Dean adalah Ara memiliki mertua yang baik, Ayana memperlakukannya seperti putrinya sendiri. Tak jarang mertuanya tersebut mengirimkan makanan atau membelikan pakaian untuk Ara. Bahkan sering mengajak Ara untuk berbelanja bersama yang sering Ara tolak mengingat ia tidak punya waktu karna harus bekerja dan mengurus rumah.
Mengobrol dengan Ayana memang sangat disukai Ara. Ia merasakan memiliki sosok seorang Ibu jika ia bersama dengan Ayana. Sosok Ibu yang selama ini belum pernah ia rasakan kehadirannya. Perhatian kecil dari Ayana yang selalu perempuan itu berikan membuat Ara sedikit terhibur. Setidaknya dalam pernikahan yang tidak bahagia ini ia masih memiliki sesuatu yang dapat ia syukuri.
Tak terasa waktu berlalu cepat, jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, sebentar lagi Dean akan pulang. Ara dan Ayana sedang membuat makan malam.
“sup buatan Mama tadi enak banget. Beda banget kalo aku yang buat” ucap Ara di tengah-tengah kegiatannya mengaduk tumisan sayur di depannya.
“kapan-kapan Mama ajarin, makanya kamu sering-sering main ke rumah” Balas Ayana sambil memperhatikan Ara yang sedang memasak. Maunya Ara memang ingin sering berkunjung, tapi kembali lagi, belum tentu Dean akan suka. Mendengar nama Ayana saja sepertinya sudah membuat Dean snewen apalagi kalau Ara mengatakan ingin pergi menemui Ayana. Bisa-bisa ia diusir oleh Dean.
***
Ara hanya bisa menatap nanar pada makanan yang berserakan di lantai. Makanan yang bahkan belum tersentuh sama sekali.
Beberapa saat yang lalu Dean pulang Dengan emosi yang meluap-luap setelah melihat Ayana di rumahnya. Sedangkan Ayana langung pergi sesaat setelah Dean menyapukan lengannya pada makanan yang sudah tertata di atas meja makan.
"kamu fikir kamu siapa berhak mengundang dia masuk ke rumah ini?" hardik Dean, urat lehernya sampai menonjol.
Ara diam sambil menunduk. kakinya berdarah akibat terkena pecahan beling dari piring dan gelas yang pecah berserakan di lantai.
Beberapa pecahan beling menusuk telapak kaki, betis, dan telapak tangannya akibat didorong oleh Dean hingga ia jatuh di lantai dengan pecahan beling yang berserakan.
Dean berdiri beberapa langkah dari Ara dengan tangan terkepal. Kemarahan terlihat jelas di wajahnya.
"dengan menyandang status sebagai istri saya tidak memberi kamu hak apa-apa di rumah ini!" lagi Dean mengingatkan Ara akan posisinya.
Memang, dari awal Dean sudah menegaskan bahwa pernikahan ini tidak berarti apa-apa untuk laki-laki itu. Ara tidak lupa sama sekali siapa dan bagaimana kedudukannya.
"maaf" cicit Ara ditengah tangisannya yang tak bersuara. Disentuhnya cincin pernikahan di jari manisnya, untuk menguatkan diri agar tangisnya tidak pecah. Hanya cincin itu yang menjadi lambang bahwa ia adalah istri seseorang.
"karna cincin itu?" Dean bertanya sambil mendekat ke arah Ara, direnggutnya tangan kanan Ara kemudian dan dengan paksa melepaskan cincin yang ia sematkan saat penikahan mereka dulu.
"Mas..." Ara berusaha melindungi cincinnya dengan mengepalkan tanganya
"berikan!" teriak Dean
Sekuat apa pun Ara mencoba, ia tak akan bisa menang melawan Dean. Setelah berhasil mendapatkan cincin itu Dean kemudian berjalan ke arah belakang rumah, Ara mengikuti dari belakang.
"Mass..!" teriak Ara histeris saat Dean mengayunkan lengannya lalu membuang cincin itu melewati tembok pembatas, dan cincin itu pun menghilang.
Di luar sangat gelap, Ara hanya bisa menatap kosong pada udara, perlahan ia meluruh ke tanah. Tak ada yang bisa ia lakukan. Menangis pun rasanya percuma.
Ya Tuhan, kuatkan aku, Batin Ara sembari mengusap air mata yang mengalir di pipinya.