Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Diakah Yang Membuatmu Berubah?
Akhirnya Ajeng merasa lega karena telah mempertemukan Hendra dan ustadz Zakri keesokan harinya di kediamannya. Ia telah mantap untuk memulai bisnis yang akan ia jalani ke depan.
Seperti nasehat Sari yang begitu membekas, bahwa kita tidak bisa mengharapkan kebahagiaan dari orang lain. Kita punya kekuatan untuk menjadi diri sendiri dan membahagiakan diri sendiri.
Berharap pada manusia hanya akan mendatangkan kekecewaan. Tapi berharaplah kepada Allah. Dia-lah yang lebih tau mana yang terbaik untuk umat-Nya. Kini Ajeng sangat meyakini itu.
Ia kini telah memasrahkan semua pada Yang Kuasa. Ia yakin, banyak yang ingin ditanyakan Sari padanya saat kunjungannya yang sudah beberapa kali, karena tidak pernah bertemu dengan suaminya.
Ajeng pun tidak ingin menceritakan keadaan rumah tangganya. Ia sangat menjaga aib dan nama baik keluarga dan mertuanya. Ia yakin, semua ini adalah ujian Allah pada dirinya yang telah diberikan segala kecukupan dalam hidup.
Sebagai seorang perempuan dan seorang istri hatinya mulai berfirasat. Tidak mungkin Bisma bertahan di Jakarta hanya untuk bekerja. Apalagi ia adalah lelaki dewasa.
Ia mulai merasa bahwa telah ada seseorang yang mengalihkan dunia Bisma. Entah perempuan mana yang mampu menyentuh hatinya, sehingga melupakan keluarga kecil yang baru saja terbina.
Sekeping cinta yang sempat ia rasa di awal pernikahan, kini mulai menjadi serpihan-serpihan akibat perilaku dan penolakan yang sering ia terima setelah satu tahun pernikahan berjalan.
Ajeng berusaha menguatkan diri demi si kecil yang sangat membutuhkan dirinya. Tidak ada lagi yang akan menjadi sandaran di kala bapak telah mendahului ke pangkuan ilahi.
Dimas masih terlalu muda untuk memegang tanggung jawab dalam melindunginya dan si kecil. Ia harus berpijak pada kaki sendiri, agar tidak diremehkan siapa pun di masa depan.
Dengan menyerahkan semuanya di tangan Yang Kuasa, Ajeng mencairkan uang deposito yang menjadi mahar kawinnya untuk usaha yang kini telah sah menjadi miliknya yang dikelola oleh Hendra dan Asih di kota Malang.
Hanya dengan menghabiskan uang untuk memulai bisnis mendatangkan kebahagiaan baginya. Walau itu bukanlah kebahagiaan hakiki. Tapi paling tidak ia bisa mengenyampingkan perasaan duka akibat cinta yang tak terbalas.
Nasibnya benar-benar miris.
Bisma tersenyum sinis melihat e-banking tentang pergerakan dua milyar uang yang memang sudah ia berikan pada Ajeng.
“Dari awal aku yakin, kamu hanya memanfaatkan uangku. Tapi mama terlalu memujamu ...” desis Bisma mencibir, “Setiap perempuan sama. Matre ....”
Dengan malas Bisma memasukkan ponselnya kembali. Ia sudah malas untuk melibatkan diri pada pernikahan yang tidak ia inginkan. Tapi demi menghargai mama dan Mayang terpaksa ia menuruti semuanya.
Kini setelah bertemu Deby ia mulai menemukan tujuan hidupnya. Dan ia akan memutuskan apa yang terbaik baginya di masa depan.
“Kita berangkat sekarang mas?” Deby merasa senang karena Bisma menjemputnya di apartemen untuk segera ke bandara Soetta.
Jam baru saja menunjukkan pukul satu siang. Bisma telah membulatkan tekadnya dan akan membawa Deby ke rumah mamanya sekaligus memperkenalkan pada mama dan Mayang.
“Kita makan dulu di kafetaria bandara,” ujar Bisma lembut.
Deby kini merasa di atas angin. Satu demi satu keinginannya telah dituruti Bisma. Ia ingin mengenal keluarga Bisma yang saat ini lelaki itu sendiri tidak pernah menceritakan kehidupan pribadinya.
Dan mereka berdua pun belum terlalu dekat untuk saling terbuka satu sama lain. Semua mereka jalani seperti air yang mengalir, lancar tanpa hambatan.
Perlakuan dan perhatian Bisma yang begitu lembut membuat Deby berangan lebih jauh. Ia tak bisa menundanya lebih lama. Ia begitu menginginkan menjadi milik Bisma seutuhnya.
Ia tak peduli apa pun omongan rekan sekantornya yang mengatakan bahwa Bisma sudah memiliki istri. Selama kedekatan yang terjadi, dan sesekali melihat ponsel lelaki masa depannya, ia tidak pernah melihat gambar perempuan di sana.
Bisma pun tidak pernah membahas statusnya ketika mereka berbicara atau sekedar menghabiskan waktu dengan makan malam atau pun sekedar jalan menghabiskan waktu.
Hari ini ia akan melihat kehidupan calon lelaki masa depannya. Dan ia akan bertemu dengan keluarga laki-laki yang sudah ia yakini bakal ia miliki seutuhnya.
Di kediaman Nurita, sudah banyak undangan yang berdatangan. Nurita juga mengundang beberapa pondok pesantren yang terdekat dengan tempat tinggal mereka.
Ajeng tak bisa menolak ketika mertuanya telah memberikan putri kecil mereka dengan nama Andhara Salshabilla Dirgantara.
“Sayang oma. Lala cantik .... “ Nurita begitu bersemangat melihat cucunya yang kini sudah dicukur dan didoakan kyai dan alim ulama yang sengaja ia undang.
“Ma, kenapa Bisma belum juga muncul?” Mayang sudah uring-uringan karena sanak saudara terus menanyakan Bisma yang tidak muncul saat semua tamu sudah berdatangan.
Ajeng diam tanpa suara. Walau pun statusnya istri, ia merasa tidak ada hak untuk mengkomplen ketidak hadiran sang suami. Rudi Hartoyo suami Mayang yang menggendong Lala saat rambutnya digunting oleh para tetua yang bersholawat sambil membacakan doa kebaikan untuknya.
Hingga pukul empat sore, para tamu sudah mulai meninggalkan kediaman Nurita, menyisakan pihak katering yang mulai berbenah untuk mengakhiri tugas mereka yang hampir selesai.
“Lek Sumi dan Dimas pulang aja dulu,” ujar Ajeng pelan pada bibinya yang kelihatan sudah tampak lelah.
“Ya Jeng. Memang baru kerasa capeknya,” Lek Sumi berkata pelan sambil memijit betisnya yang terasa pegal.
Memandang kepergian lek Sumi dan Dimas yang memakai motor Vari* miliknya perasaan Ajeng nyesek. Walau pun suaminya kaya, dan ia mampu bukan berarti Dimas ikut menikmati semua yang ia miliki.
Ia pun bersyukur, Dimas tidak pernah menuntut untuk dibelikan barang mewah atau motor sport seperti kebanyakan temannya. Bapak sudah mengajarkan mereka untuk selalu hidup sederhana.
Ajeng mendengar suara mobil memasuki halaman ketika ia meng-asi-hi Lala di kamar depan. Dari tempatnya duduk saat ini ia melihat dengan jelas sosok suaminya turun dari mobil.
Perasaan senang langsung menyergap di hatinya. Kerinduan akan sosok tegap dan wanginya membuat senyum terbit di wajahnya. Tapi kebahagiaan Ajeng tak bertahan lama.
Bisma langsung membukakan pintu mobil. Senyum bahagia terbit di wajah tampan itu, begitu sosok perempuan memakai hijab keluar dari pintu yang telah ia buka.
Rasa bahagia yang sempat hinggap langsung lenyap seketika. Ajeng merasa ada yang ngilu di hatinya melihat pandangan yang ada di depannya. Entah apa yang mereka bicarakan, yang pasti ia melihat senyum yang tak lekang dari wajah Bisma.
“Ya Allah, kenapa sesakit ini?”
Tanpa terasa, setitik air mata Ajeng jatuh membasahi lubuk hatinya yang terdalam. Tidak pernah ia melihat wajah Bisma dengan senyum bahagia yang begitu sempurna di wajahnya.
Ia mulai sadar, apa yang ia rasa belakangan ini sesuai dengan yang ia pikirkan. Perasaan seorang istri memang tak pernah salah. Ajeng kini meyakini itu.
Keduanya segera memasuki rumah yang masih terbuka lebar dengan obrolan ringan yang terjadi.
“Wah, ternyata ia memang tajir seperti yang orang bilang,” batin Deby begitu memasuki rumah bergaya Eropa dengan isinya barang serba lux.
“Aku akan memperkenalkan kamu dengan mama dan mbak Mayang,” Bisma berkata dengan penuh semangat.
Nurita yang baru selesai salat Ashar keluar barengan Mayang. Ia terkejut melihat Bisma tidak datang sendiri. Ada perempuan berhijab yang usianya mungkin sebaya putranya itu memasuki rumah dengan senyum cerahnya.
Ia merasa kelakuan Bisma sangat keterlaluan jika perempuan itu seperti apa yang ia pikirkan saat ini. Tapi Nurita masih berusaha positif. Ia dan Mayang saling berpandangan.
“Tumben, datang juga?” suara sinis Mayang membuat Nurita langsung mencubitnya.
Bisma tidak mempedulikan sindiran Mayang. Ia langsung mendekati mamanya dan memeluknya erat.
“Maaf ma, Bisma terlalu sibuk,” ia meraih tangan Nurita dan menciumnya.
“Selamat sore tante. Perkenalankan saya Deby,” Deby mengikuti perilaku Bisma dan menampilkan senyum ramahnya saat memperkenalkan diri.
Nurita berusaha membalas keramahan yang ditampilkan perempuan muda di depannya. Ia dapat melihat bagaimana sikap perempuan itu dalam memandang putranya dengan penuh kekaguman.
“Deby rekan kerjaku ma,” Bisma dapat melihat raut tak senang di wajah yang berusaha disembunyikan mamanya. Ia sangat paham arti tatapan itu, walau pun berusaha Nurita sembunyikan dari senyum ramahnya.
“Di ajak makan dulu rekannya,” Nurita memandang Bisma sambil menunjukkan meja prasmanan yang tersedia.
Mata Deby melihat sekilas dekor yang masih belum dilepas. Hanya ada foto bayi yang tampak.
“Wah ada acara ya mas, kok gak bilang sama aku?” suaranya yang manja membuat Mayang malas berada di sana.
“Ma, aku ke belakang dulu,” tanpa menunggu persetujuan Nurita, Mayang bergegas meninggalkan ruang tengah.
Ia ingin mencari keberadaan Ajeng. Ia sangat marah atas tindakan Bisma yang membawa perempuan lain walau pun atas nama rekan kerja pada acara aqiqahan putrinya. Itu benar-benar perbuatan yang tidak etis di matanya.