Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Dekapan raka membuatnya jatuh cinta
Putri masih memejamkan matanya, menikmati kehangatan pelukan Raka dari belakang. Namun, tiba-tiba, tanpa ia sadari, tubuhnya sedikit bergerak dan posisi mereka berubah. Kini, mereka saling berhadapan, dengan jarak wajah yang sangat dekat, begitu dekat hingga Putri bisa merasakan napas hangat Raka menyapu kulit wajahnya.
Jantung Putri berdegup lebih kencang. Mata mereka bertemu dalam keheningan malam, dan tidak ada yang berani bergerak. Keadaan semakin canggung saat Raka perlahan melingkarkan lengannya di sekitar tubuh Putri. Kini, mereka tidak hanya berhadapan, tetapi juga saling berpelukan dalam diam. Hati Putri berdebar lebih kencang lagi, perasaan malu dan canggung berbaur dengan getaran hangat yang tidak bisa ia abaikan.
Waktu terasa berhenti. Putri bisa merasakan setiap detik berlalu dengan perlahan, setiap napas yang mereka tarik terdengar dalam keheningan malam yang sunyi. Raka hanya menatapnya, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka, tapi pelukan mereka terasa begitu nyaman dan natural.
Sementara itu, Tiara terbangun karena kebelet kencing, dengan perlahan bangkit dari tempat tidurnya. Matanya masih setengah tertutup karena kantuk. Tiara berjalan pelan menuju kamar mandi, tanpa memperhatikan apa yang terjadi di kasur di sebelahnya.
Setelah selesai, Tiara kembali ke kamar. Ia meraba-raba kasur untuk kembali berbaring, namun tiba-tiba matanya terbuka lebar ketika ia melihat sesuatu yang membuatnya terhenti sejenak. Di bawah cahaya remang-remang, ia melihat Putri dan Raka saling berpelukan dengan mesra, wajah mereka begitu dekat satu sama lain.
Tiara terdiam. Untuk beberapa detik, ia menatap pemandangan itu tanpa berkata apa-apa, hanya berusaha mencerna apa yang ia lihat. Senyuman kecil muncul di wajahnya. Meski sedikit terkejut, ia tidak bisa menahan rasa gemas melihat sahabatnya dan adiknya dalam pelukan hangat seperti itu.
Dengan perlahan dan tanpa suara, Tiara mengambil ponselnya. Ia mengarahkan kamera ke arah mereka dan tanpa ragu-ragu, memfoto momen tersebut. Layar ponselnya menyala, menampilkan gambar Raka dan Putri yang terpeluk erat, wajah mereka begitu dekat satu sama lain.
Tiara menahan tawa kecilnya, kemudian kembali tidur. Ia berbaring lagi, tersenyum sendiri. Ada rasa canggung yang terasa lucu di hatinya, tapi ia memutuskan untuk membiarkan keduanya tetap dalam dunia kecil mereka yang penuh kehangatan dan misteri.
Pagi hari datang dengan cahaya lembut menyelinap masuk melalui tirai jendela. Putri yang masih terlelap tiba-tiba merasa tubuhnya digoyang perlahan.
"Putri... ayo bangun, sarapan," suara Tiara terdengar lembut di telinganya.
Putri membuka matanya perlahan, masih setengah mengantuk. Ia duduk di tempat tidur, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Tanpa sadar, matanya berkeliling ke seluruh ruangan, mencari-cari sosok Raka. Di mana Raka? pikirnya. Ia tak terlihat di kamar, dan Putri merasa ada yang hilang.
Melihat tingkah Putri yang kebingungan mencari-cari, Tiara menyadarinya dengan cepat. Senyum jahil muncul di wajah Tiara. "Cari siapa, Put? Raka ya?" Tiara menggodanya dengan suara menggoda.
Putri langsung menunduk, menahan senyum canggung yang mulai muncul di wajahnya. "Nggak... enggak kok," jawab Putri sambil berusaha menutupi rasa malunya.
Tiara tertawa kecil, tak bisa menahan diri. "Oh, ya? Tapi kok kayaknya matamu sibuk cari seseorang deh. Jangan bohong, Put," goda Tiara lagi sambil merangkul bahu Putri.
Putri semakin salah tingkah. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan turun dari tempat tidur, tapi Tiara tak berhenti menggoda. "Eh, ada sesuatu yang mau aku tunjukin nih," kata Tiara dengan nada misterius.
Putri menoleh, sedikit bingung. "Apa?"
Tanpa banyak bicara, Tiara mengeluarkan ponselnya. Ia membuka galeri dan memperlihatkan foto yang ia ambil semalam, foto Putri dan Raka yang saling berpelukan mesra, dengan wajah yang sangat dekat.
Putri langsung tersentak kaget. Wajahnya memerah seketika, tangannya bergerak cepat mencoba merebut ponsel Tiara. "Tiaraaa! Hapus itu!" Putri berteriak kecil sambil tertawa malu-malu.
Namun, Tiara hanya tertawa puas, menghindar dari tangan Putri yang mencoba meraih ponselnya. "Lho, kenapa dihapus? Lucu kok, kalian kelihatan cocok banget!" kata Tiara sambil terus menggodanya. "Lagian, aku kan bakalan jadi kakak ipar nih. Aduh, senengnya!"
Putri langsung memeluk wajahnya dengan kedua tangan, malu luar biasa. "Aduh, Tiara! Jangan ngomong gitu," katanya dengan suara penuh rasa malu.
Tiara hanya tertawa lebih keras. "Ya ampun, Put! Kamu beneran nggak bisa nutupin perasaanmu sama Raka. Santai aja, kalau emang suka, ya nggak apa-apa kok. Aku dukung banget!"
Mendengar dukungan dari Tiara, Putri terdiam sejenak, hatinya berdebar campur aduk antara malu, senang, dan canggung. Meskipun ia masih merasa malu, ada perasaan hangat yang merayap di hatinya. Tiara merangkul Putri lebih erat. "Sudah, gausah terlalu dipikirin. Raka itu cowok baik, dia itu adiku, aku tau tingkahnya, kayanya adikku juga suka deh sama kamu ."
Putri tak bisa menahan senyumnya, meski tetap menunduk malu. Di dalam hatinya, ia merasa sedikit lega karena Tiara ada di sampingnya, mendukung perasaan yang sedang ia rasakan. Tapi tentu saja, rasa malunya belum hilang sepenuhnya apalagi setelah melihat foto itu.
Setelah percakapan di kamar, Putri akhirnya bangkit dari tempat tidur, merapikan diri, dan mengikuti Tiara keluar kamar. Aroma harum dari dapur menyambut mereka. Ketika mereka sampai di ruang makan, ibunya Tiara terlihat sibuk memotong-motong bahan untuk membuat gorengan yang akan dijual Raka nanti sore.
Hari itu, suasana rumah terasa lebih santai karena tidak ada pekerjaan mencuci. Tiara tersenyum melihat ibunya yang tampak fokus dengan adonan tepung di depannya. "Bu, hari ini nggak ada cucian, ya?" tanya Tiara.
Sang ibu mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari adonannya. "Iya, hari ini kita fokus bikin gorengan. Raka nanti sore mau jualan lagi," jawab ibunya sambil terus memotong kentang.
Putri memperhatikan rutinitas yang tampak hangat ini, dan perlahan senyum muncul di wajahnya. "Raka jualan gorengan, ra?" tanya Putri penasaran.
Tiara mengangguk. "Iya, rutinitas Raka selain sekolah. Dia jualan gorengan di pinggir jalan raya dekat rumah. Lumayan buat bantu-bantu kebutuhan," jawab Tiara dengan bangga.
Mendengar hal itu, Putri merasa ingin ikut berpartisipasi. "Aku bantuin juga, deh!" ucap Putri dengan semangat.
Tiara tersenyum lebar, senang mendengar inisiatif Putri. "Yuk, kita bantu ibu ."
Mereka pun segera bergabung dengan ibunya Tiara di dapur. Tiara dan Putri mulai membantu memotong bahan-bahan dan menyiapkan adonan, sementara mereka berbincang ringan dan saling melempar canda. Suara tawa pun memenuhi dapur kecil itu.
"Put, jangan potong ubinya terlalu besar, nanti gorengannya nggak mateng," ledek Tiara sambil tertawa.
Putri hanya tersenyum malu, tapi ia berusaha mengikuti instruksi. "Iya, iya! Ini kan baru pertama kali bantuin," jawabnya dengan nada bercanda.
Setelah bahan-bahan siap dan semuanya sudah selesai dipotong, Tiara mendapat ide. "Put, gimana kalau nanti kita ikut jualan ?" ajak Tiara penuh semangat.
Putri langsung menyambut dengan antusias. "Ayo, seru kayaknya! Sekalian bantuin, "
Tiara tersenyum lebar, menyukai ide itu. "Iya, pasti seru . kalau kita ikut, Raka jadi nggak kerja sendirian."
Tak lama kemudian, Raka muncul dari kamarnya, siap-siap untuk pergi sekolah. Saat ia melihat Tiara dan Putri sibuk membantu di dapur, senyum kecil muncul di wajahnya. "Wah, kalian bantuin bikin gorengan ?" tanya Raka sambil memasang tas sekolahnya di punggung.
Tiara mengangguk sambil tersenyum. "Iya, nanti kita juga mau bantuin kamu jualan ntar sore ini. Ga masalah, kan?"
Raka hanya tertawa kecil. "Bantuin? Jangan ganggu jualan, ya. Nanti gorengannya nggak laku."
Putri pun ikut tersenyum mendengar candaan Raka, tetapi di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang hangat setiap kali Raka bercanda seperti itu.
Sore itu, Tiara, Putri, dan Raka sudah siap dengan gerobak gorengan di pinggir jalan. Tiara dan Putri berdiri di samping Raka, membantu melayani pelanggan yang datang. Tiara sibuk mempromosikan gorengan dengan semangat, sementara Putri melayani pembeli dengan senyum manis. Raka, yang biasanya bekerja sendiri, tampak lebih santai dengan kehadiran mereka.
"Yang gurih-gurih, yang panas-panas! Ayo, gorengannya!" seru Tiara sambil tertawa.
Putri ikut tertawa mendengar suara promosi Tiara yang penuh semangat. "Kamu cocok !" kata tiara bercanda sambil menunjuk kearah putri yang berdiri disamping raka.
Mereka bertiga terus bekerja sama, penuh tawa dan candaan. Tiara dan Putri sesekali saling mencubit iseng, membuat Raka tersenyum melihat tingkah mereka yang kocak.
Di sela-sela melayani pembeli, Tiara sempat berbisik kepada Putri. "Lihat deh, Raka kayaknya makin semangat tuh, pasti karena kamu bantuin," ledek Tiara sambil melirik ke arah Raka yang sibuk menggoyang-goyangkan penggorengan.
Putri menunduk, senyum malu tersungging di bibirnya. "Ih, apaan sih, Ra!" jawab Putri pelan sambil tersipu.
Tiara tertawa kecil. "Eh, jangan salah! Aku udah siap jadi kakak ipar nih!" bisik Tiara lagi sambil menggoda Putri.
Putri semakin malu, tapi di balik itu, ada rasa hangat di hatinya. Bekerja bersama Tiara dan Raka seperti ini membuatnya merasa diterima dan bahagia. Hari yang penuh cinta dan tawa ini semakin menguatkan perasaan Putri terhadap Raka, meskipun ia masih menyimpannya rapat-rapat.
Menjelang waktu Isya, suasana di pinggir jalan tempat mereka berjualan gorengan mulai sepi. Hanya beberapa orang yang lewat, dan sebagian besar pelanggan sudah pulang dengan bungkusan gorengan di tangan. Tiara, Putri, dan Raka mulai bersiap-siap untuk mengemasi gerobak gorengan dan pulang ke rumah.
Namun, tiba-tiba Tiara merasakan sesuatu yang mendesak di perutnya. "Aduh, aku kebelet!" seru Tiara, membuat Raka dan Putri menoleh heran.
Tanpa menunggu lebih lama, Tiara segera berlari menuju rumah dengan wajah panik. "Aku duluan, ya! Kalian berdua beres-beres aja! Aku beneran kebelet!" teriak Tiara sambil setengah tertawa, berlari meninggalkan Putri dan Raka.
Putri hanya bisa mengangguk bingung sementara Raka tertawa kecil. "Kok mendadak banget sih, Ka?" gumam Raka sambil melanjutkan merapikan sisa-sisa jualan.
Di sisi lain, setelah berlari cukup jauh dan sampai di pengkolan gang rumah, Tiara tiba-tiba berhenti. Ia menoleh dan melihat ke arah Putri dan Raka yang masih di tempat jualan. Senyum jahil muncul di wajahnya. "Hehe, maaf ya Put, maaf ya Dek, aku nggak beneran kebelet," bisik Tiara dalam hati sambil mengintip dari balik tembok gang.
Dari tempatnya mengintip, Tiara melihat Raka dan Putri yang mulai membereskan gerobak bersama. Tak ada yang istimewa, hanya suasana tenang dan damai di antara mereka berdua. Tapi Tiara tahu betul bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman di hati Putri terhadap Raka. Dan, tentu saja, ia merasa ini adalah kesempatan sempurna untuk membiarkan mereka berdua menghabiskan waktu bersama.
Tiara tertawa kecil dan tersenyum. "Aduh, maaf ya aku bohongin kalian," bisiknya lagi, merasa sedikit bersalah tapi juga senang melihat Putri dan Raka berdua-duaan tanpa kehadirannya.
Putri yang tidak menyadari bahwa Tiara hanya mengintip dari kejauhan, mulai merasa canggung. Berdua saja dengan Raka membuat suasana hatinya campur aduk. Ia berusaha fokus membantu Raka merapikan sisa jualan, tapi ia tidak bisa menahan senyum yang tiba-tiba muncul di wajahnya.
"Put, kamu nggak capek?" tanya Raka tiba-tiba, suaranya terdengar santai namun cukup membuat Putri sedikit terkejut.
Putri menggeleng pelan, lalu tersenyum. "Nggak, biasa aja kok," jawabnya sambil menghindari kontak mata dengan Raka. Ada rasa canggung yang melingkupi mereka, terutama karena Putri masih terbayang kejadian semalam ketika mereka berpelukan.
Raka, meskipun terlihat tenang, juga sedikit merasa suasana ini berbeda dari biasanya. Ia ingin bicara lebih banyak, tapi tidak tahu harus mengatakan apa. Suasana menjadi semakin hening, hanya ada bunyi gerobak yang mereka rapikan.
Di kejauhan, Tiara terus mengintip dengan wajah jahil. Ia melihat betapa canggungnya Putri dan Raka, dan itu membuatnya semakin gemas. "Ayo dong, ngomong yang manis-manis! Hehe, pasti lucu," pikir Tiara dalam hati.
Setelah beberapa saat, Tiara memutuskan untuk kembali ke rumah, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang canggung tapi manis. "Maaf ya, Put. Kalian berdua butuh waktu, jadi aku kasih kesempatan," gumamnya sambil tertawa kecil.
Setelah selesai merapikan gerobak tempat mereka berjualan, Raka dan Putri duduk beristirahat di kursi kayu yang berada tak jauh dari jalan. Malam sudah semakin larut, suasana di sekitar mereka hening, hanya ditemani suara angin malam yang sejuk. Di hadapan mereka, tersisa beberapa pisang goreng yang tidak habis terjual.
"Kayaknya pisang goreng ini nggak laku semua," Raka berkata pelan sambil tersenyum kecil. "Mau? Lumayan buat cemilan," tambahnya sambil menyodorkan pisang goreng ke arah Putri.
Putri mengangguk dan mengambil satu, memakannya pelan-pelan sambil tersenyum. Mereka berdua mulai ngobrol ringan, bercanda kecil, dan sesekali tertawa pelan. Namun, ada sesuatu yang berbeda malam itu, suasana yang semakin lama semakin berubah. Obrolan mereka mulai mereda, berganti dengan tatapan mata yang lebih dalam dan tak terucapkan.
Raka menatap Putri dengan pandangan tajam, penuh perhatian. Putri yang awalnya merasa nyaman, tiba-tiba merasakan degup jantungnya semakin kencang. Raka tidak berkata apapun, tapi tubuhnya perlahan mendekat ke arah Putri. Tatapan matanya seakan membawa pesan yang sulit diabaikan.
Putri terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Jarak antara mereka semakin dekat. Wajah Raka hanya beberapa sentimeter dari wajahnya. Putri bisa merasakan hangat napas Raka yang kini begitu dekat dengan dirinya. Perasaan canggung, tegang, dan malu bercampur aduk di dalam hatinya. Namun, ia tetap diam, seolah menunggu apa yang akan dilakukan oleh Raka.
Tepat saat itu, Raka berhenti. Bibirnya hampir menyentuh bibir Putri, namun seolah sadar, ia malah tersenyum lembut. "Makannya kok blepotan kemana-mana," bisik Raka dengan suara pelan dan lembut, membuat suasana semakin intens.
Dengan jemarinya, Raka menyentuh ujung bibir Putri, membersihkan minyak dari pisang goreng yang masih tersisa di sana. Gerakan jemarinya begitu perlahan, dan setiap sentuhannya membuat Putri semakin malu. Pipinya mulai memerah, dan matanya tidak berani menatap langsung ke arah Raka.
Putri tersentak dalam keheningan. Tidak tahan dengan suasana yang begitu canggung dan jantungnya yang terus berdetak kencang, Putri segera berdiri. "Aku… aku pulang dulu, ya," katanya dengan suara pelan, mencoba menghindari situasi yang semakin membuatnya tak nyaman.
Namun, tepat saat Putri hendak melangkah pergi, Raka dengan cepat menangkap pergelangan tangannya. "Tunggu, Kak," bisik Raka. Tanpa memberi waktu bagi Putri untuk bereaksi, Raka menarik Putri kembali ke arahnya. Dalam gerakan yang lembut namun penuh makna, Raka mengecup kening Putri, sebuah ciuman singkat namun sangat hangat.
"Makasih ya, Kak, udah mau nemenin Raka jualan," bisik Raka di telinga Putri setelah mencium keningnya, suaranya begitu lembut tapi jelas. Sentuhan itu membuat Putri semakin malu, membuat jantungnya seakan ingin meledak.
Putri tidak tahu harus berkata apa. Ia terdiam sejenak, lalu tanpa berpikir panjang, ia menarik tangannya dari genggaman Raka dan berlari cepat menuju rumah. Ia bisa merasakan wajahnya yang semakin panas karena malu, dan dadanya yang terus berdebar tanpa henti.
Sementara itu, Raka hanya tersenyum kecil melihat Putri yang berlari menjauh, seakan puas dengan reaksinya yang penuh rasa malu itu.