Lama mengasingkan diri di Pulau Kesepian membuat Pendekar Tanpa Nyawa tidak tenang. Sebagai legenda tokoh aliran hitam sakti, membuatnya rindu melakukan kejahatan besar di Tanah Jawi.
Karena itulah dia mengangkat budak perempuannya yang bernama Aninda Serunai sebagai murid dan menjadikannya sakti pilih tanding. Racun Mimpi Buruk yang diberikan kepada Aninda membuatnya tidak akan mengenal kematian. Dia pun diberi gelar Ratu Abadi.
Satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Pendekar Tanpa Nyawa adalah Prabu Dira Pratakarsa Diwana alias Joko Tenang tanpa melalui pertarungan. Karena itulah, target pertama dari kejahatan yang ingin Pendekar Tanpa Nyawa lakukan melalui tangan Aninda adalah menghancurkan Prabu Dira.
Aninda kemudian membangun kekuatan dengan menaklukkan sejumlah pendekar sakti dan menjadikannya anak buah.
Mampukah Aninda Serunai menghadapi Prabu Dira yang sakti mandraguna? Temukan jawabannya di Sanggana 8 yang berjudul "Dendam Ratu Abadi".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raab 11: Titah Prabu Dira
*Ratu Abadi (Raab)*
Prabu Dira Pratakarsa Diwana memilih beristirahat di Istana Keprabuan. Dia ditemani oleh Ratu Tirana dan Permaisuri Sandaria.
Kedua wanita itu kompak melayani sang prabu yang mereka anggap lelah oleh kesedihan dan kemarahan, serta karena usai menempuh perjalanan yang jauh.
Ratu Tirana melayani dengan kelembutannya, sementara Permaisuri Sandaria melayani dengan keceriannya. Semua dayang mereka tidak libatkan. Itu bukan karena mereka ingin melakukan aksi ranjang bertiga, tetapi semata-mata untuk berbakti.
Tidak ada adegan panas bergairah atau aksi main serigala mandi atau cuci muka di atas kasur. Itu karena Prabu Dira sedang tidak mood sebab pengaruh kesedihan plus kemarahannya. “Sedang masa berkabung” atas kematian Ratu Ani menjadi dalih kuat bagi Prabu Dira untuk menolak pertarungan ranjang, padahal sang penantang sudah mengantri.
Mau tidak mau, Ratu Tirana dan Permaisuri Sandaria hari itu harus menghibur Prabu Dira tanpa kenal pamrih. Karena tidak ada pamrih, Permaisuri Sandaria pun memutuskan memanggil putrinya dengan dalih Putri Sisilia rindu ayahnya.
Putri Sisilia adalah putri Permaisuri Sandaria. Usianya baru enam tahun. Meski badannya kurang berisi daging alias ceking, kontras dengan ibunya, tetapi dia memiliki tanda-tanda kecantikan yang langka sejak kecil, meski kecantikan itu berbeda.
Putri Sisilia memiliki rambut berwarna putih bersih. Itu bukan usia tua di kalamasih bocil, tetapi itu mengikuti jenis rambut nenek atau leluhurnya. Dia memiliki pupil mata yang biru terang dan hidung mungil yang mancung. Wajahnya secantik boneka bule di masa depan.
Kehadiran Putri Sisilia yang suara dan gaya tawanya mirip ibunya itu bisa membuat Prabu Dira tertawa dan bercanda. Memang benar pepatah yang berkata “daun jatuh tidak akan jauh dari buahnya”.
Meski Prabu Dira terhibur, tapi justru Putri Sisilia yang akhirnya jenuh. Melihat kejenuhan itu, Ratu Tirana pun berinisiatif memanggil putrinya pula yang bernama Ginang Selaksa.
Ginang Selaksa juga berusia enam tahun, tetapi dia lebih tua dari Putri Sisilia. Putri dari Ratu Tirana itu lebih berisi, bahkan cenderung gemuk. Dia mewarisi bibir ayahnya, yaitu berbibir merah terang alami.
Jadilah kamar Prabu Dira arena permainan oleh kedua putri yang sama-sama aktif. Kondisi kamar yang awalnya rapi kini terlihat seperti kamar terkena banjir bandang.
Kondisi itu diperparah ketika Permaisuri Tutsi Yuo Kai datang ke kamar Prabu Dira. Bukan karena wanita asal Negeri Jang itu ikut main atau mengacak-acak kamar tersebut, tetapi karena dia datang membawa dua orang anak lelaki, satu usia sembilan tahun dan satu lagi empat tahun.
Anak berusia sembilan tahun memiliki perawakan ideal sebagai seorang anak lelaki. Selain tampan parasnya, gestur tubuhnya dalam bergerak pun selayaknya anak penguasa, yaitu anak kedua dari Prabu Dira yang menguasai banyak wilayah dan banyak istri. Anak berpakaian hijau berambut sedikit gondrong itu bernama Pangeran Getar Jagad, anak dari Permaisuri Getara Cinta.
Kepergian ibunya dalam tugas negara membuat Pangeran Getar Jagad memilih tinggal di Istana Jang. Alasannya hanya karena makanan Negeri Jang enak-enak, terutama mie rebus dan berbagai turunan masakan mie.
Anak lelaki usia empat tahun yang memiliki warna kulit putih terang dan bersih tersebut, punya model mata yang sangat sipit, tapi masih terlihat bola matanya di kala terjaga. Namun, bola mata itu akan hilang entah ke mana jika dia tertawa, memancing orang yang baru-baru melihatnya akan tertawa pula. Anak berambut pendek itu bernama Pangeran Tutsi Chang Kok, putra kandung dari Permaisuri Yuo Kai.
Permaisuri Yuo Kai senang jika Pangeran Getar Jagad tinggal di istananya karena putra kedua Prabu Dira tersebut memiliki karakter momong adik.
Jadi, ketika Permaisuri Yuo Kai dipanggil menghadap oleh Prabu Dira, dia membawa kedua anak mereka.
Setelah Pangeran Getar Jagad dan Pangeran Chang Kok menyembah kepada ayahnya dan sang ayah memberi peluk kecup sayang, mereka pun segera bergabung bermain bersama kedua saudara perempuannya, Putri Ginang Selaksa dan Putri Sisilia.
“Kematian Ratu Ani tidak akan membuatku mengambil tampuk kekuasaan di Kerajaan Pasir Langit. Karena tujuan kita menaklukkan Pasir Langit untuk membangun benteng laut, jadi permaisuri yang tepat untuk aku tempatkan sebagai pemimpin di sana adalah dirimu, Permaisuri Negeri Jang,” ujar Prabu Dira di kala keempat anaknya asik bermain agak jauh dari orang-orang dewasa.
“Aku tidak akan membantah perintah Kakang Prabu. Namun, aku bertanya, kenapa Kakang Prabu tidak menugaskan permaisuri yang lain?”
“Karena kau memiliki ilmu pembangunan. Meski ilmumu bukan pembangunan di laut, tetapi kau yang paling layak memimpin di Kerajaan Pasir Langit saat ini. Utusan Penasihat Kerajaan Pasir Langit sedang pergi mencari ahli pembangunan laut. Selagi ahli bangunan laut itu belum datang, kau sudah bisa memulai pembangunannya di sisi daratnya,” tutur Prabu Dira.
“Mulai kapan, Kakang Prabu?” tanya Permaisuri Yuo Kai.
“Berangkatlah besok pagi bersama Pangeran Chang Kok. Bawa suratku untuk Mahapatih Badaragi. Jika ada yang menentang, aku beri dirimu wewenang untuk menentukan nasib dan nyawanya,” perintah Prabu Dira.
“Baik, Kakang Prabu,” ucap Permaisuri Yuo Kai patuh.
“Aku menjanjikanmu mengantar pulang ke Negeri Jang setelah pembangunan benteng laut selesai terbangun,” ujar Prabu Dira.
“Terima kasih, Kakang Prabu,” ucap Permaisuri Yuo Kai yang kemudian bertanya, “Apakah Kakang Prabu tidak berangkat bersamaku ke Pasir Langit?”
“Aku akan pergi ke Gunung Dewi Runa untuk menemui Ratu Siluman. Kita akan membeli belerang di sana untuk mengeraskan kayu kapal menjadi sekuat baja. Setelah itu, aku harus pergi memantau langsung upaya utusan yang dikirim oleh Penasihat Kerajaan Pasir Langit untuk menemui ahli pembangunan laut. Mendapatkan ahli pembangunan laut sangat mendesak dan penting. Aku harus pergi memastikan tugas mereka berhasil.”
“Baik, Kakang Prabu,” ucap Permaisuri Yuo Kai.
“Sebelum kematiannya, Ratu Ani telah melakukan sejumlah langkah-langkah keamanan. Kau bisa minta Mahapatih Badaragi untuk melaporkan seluruhnya,” kata Prabu Dira lagi.
“Baik, Kakang Prabu,” ucap Permaisuri Yuo Kai lagi.
“Kakang Prabu, apakah kematian Ratu Ani tidak menimbulkan gejolak?” tanya Ratu Tirana.
“Gejolak sudah muncul di masa Prabu Galang Digdaya. Aku menduga, para pemberontak itu akan mengubah rencananya setelah Prabu Galang tumbang. Mungkin pula akan merubah kembali rencana barunya setelah tahu Ratu Ani juga mati,” jawab Prabu Dira. “Itu yang akan menjadi tantangan bagi Permaisuri Negeri Jang saat memimpin Pasir Langit. Masyarakat di negeri ini masih belum setertib di Negeri Jang. Mungkin akan lebih sulit melacak para pemberontak itu.”
“Mungkin juga Kakang Prabu bisa salah menilai,” sanggah Permaisuri Yuo Kai.
Prabu Dira hanya tersenyum mendengar kepercayaan diri Permaisuri Yuo Kai.
Seorang dayang datang menghadap dan turun berlutut menjura hormat.
“Ada dayang utusan dari Gusti Permaisuri Mata Hati, Gusti Prabu,” lapor dayang yang menghadap.
“Persilakan masuk!” perintah Prabu Dira.
“Baik, Gusti,” ucap si dayang patuh penuh hormat.
Dayang itu lalu pergi dengan beringsut mundur. Tidak berapa lama, dayang lain dengan pakaian yang semodel datang masuk.
“Sembah hormat hamba, Gusti Prabu,” ucap si dayang yang masih muda lagi bening kulitnya.
“Katakan apa yang kau bawa!” perintah Prabu Dira.
“Gusti Permaisuri Mata Hati sudah menjatuhkan hukuman kepada Gusti Permaisuri Mata Hijau, Gusti Prabu,” ujar si dayang.
“Apa hukumannya?” tanya Prabu Dira.
“Permaisuri Mata Hijau dikeluarkan dari giliran tahta keratuan selama satu putaran. Kemudian diasingkan ke Negeri Tanduk….”
“Ke Negeri Tanduk?” sebut ulang Permaisuri Sandaria terkejut, tapi sepasang matanya tidak mendelik. Keterkejutan Permaisuri Sandaria memangkas kata-kata si dayang.
Sebenarnya Prabu Dira, Ratu Tirana dan Permaisuri Yuo Kai ikut terkejut, tetapi mereka lebih tenang.
“Apa lagi?” tanya Prabu Dira.
“Permaisuri Mata Hijau dilarang bertemu dengan Gusti Prabu selama dua tahun,” jawab si dayang.
“Apa?!” pekik Prabu Dira terkejut. (RH)
ya begitulah Om. semua demi cinta dan kerinduan😘🤣