Dendam Ratu Abadi
*Ratu Abadi (Raab)*
Di sebuah pulau kecil yang sangat mahsyur dengan nama Pulau Kesepian, hiduplah dua orang wanita. Seorang nenek dan seorang gadis muda. Si nenek berstatus sebagai majikan dan si gadis muda adalah budaknya.
Meski Pulau Kesepian sangat mahsyur, tetapi tidak ada seorang pun yang berani coba-coba anjang sana ke pulau tersebut, meski seorang pendekar sakti sekali pun. Hal itu karena sosok si nenek yang merupakan penghuni awal dan pemilik pulau yang luasnya hanya sepuluh kali lapangan sepak bola. Semoga bisa dikira-kira.
Sosok nenek di pulau itu bukanlah sembarang nenek. Namanya sudah mahsyur sebagai pendekar tua sakti mandra yang berguna dari golongan hitam. Dia memiliki rekor seribu kali bertarung dengan hanya satu kali kalah. Itupun kekalahannya dia alami tanpa melakukan pertarungan adu fisik, tapi cukup dengan mengatakan, “Aku mengaku kalah.”
Dia sudah lama mengumumkan dirinya mundur dari dunia persilatan, memilih hidup tenang dan sunyi di Pulau Kesepian. Dia ternama dengan nama dunia persilatan Pendekar Tanpa Nyawa. Jangan ditanya siapa nama aslinya! Mungkin dia pun sudah lupa siapa nama aslinya karena terlalu lama memakai identitas Pendekar Tanpa Nyawa, meski dia masih bernyawa sampai sekarang.
Pendekar Tanpa Nyawa memiliki perawakan tubuh yang tinggi besar dengan fisik yang tua, sewajar sebagai seorang nenek-nenek. Usianya sudah mencapai delapan puluh tahun dengan kulit yang sudah tipis. Meski demikian, raganya sehat seperti wanita berusia separuh baya. Bahkan bertarung fisik pun dia masih lincah.
Lama dia hidup seorang diri di pulaunya. Segala sesuatu dia lakukan sendiri. Namun, setelah dia memiliki seorang budak wanita, dia kini sangat memanjakan dirinya. Hal-hal kecil saja dia memerintah budaknya yang melakukan, kecuali perkara urusan menyuap makanan ke mulut dan perkara kakus.
“Budaaak!” teriak Pendekar Tanpa Nyawa kencang ketika dia memanggil budaknya pada suatu waktu, karena budaknya agak jauh dari posisinya.
“Hamba, Gusti Agung!” sahut satu suara wanita yang jauh lebih jernih didengar dibanding suara serak si nenek.
Terdengar suara langkah kaki yang berlari tergesa-gesa ke tempat si nenek yang sedang duduk bersandar di kursi kayu, berbantal tumpukan sabut kelapa yang dibungkus kain.
Tidak berapa lama, muncullah seorang gadis cantik jelita berbibir merah. Gadis berpakaian lusuh warna abu-abu itu memiliki model wajah yang bulat. Selain bibirnya yang menjadi kekhasannya karena merah alami, dia juga sangat mudah diingat karena memiliki kumis tipis nan halus, yang justru bisa memancing nafsu lelaki mata belang. Usianya masih muda di angka dua puluhan.
Dialah gadis yang dipanggil “Budak” oleh Pendekar Tanpa Nyawa. Padahal dia memiliki nama yang indah, yaitu Aninda Serunai. Namun, sang majikan tidak mau memanggil nama asli budaknya.
“Hamba, Gusti Agung,” ucap Aninda Serunai seraya berlutut di depan kaki si nenek yang terjuntai di kursi tuanya.
“Apa yang kau lakukan di sana, Budak?” tanya si nenek.
“Hamba sedang menguliti ular laut, Gusti Agung,” jawab Aninda Serunai yang kala itu memang sedang memegang sebilah pisau.
“Duduklah dengan tenang dan nyaman. Aku ingin menyampaikan sesuatu kepadamu!” perintah si nenek tanpa mengomentari aktivitas budaknya itu.
Aninda Serunai lalu memilih duduk bersila di depan si nenek yang duduk santai. Dia meletakkan pisaunya di lantai papan.
Setelah melihat gadis cantik berkumis itu sudah siap mendengarkan, Pendekar Tanpa Nyawa lalu mulai berkata dengan satu pertanyaan.
“Apakah kau masih mendendam kepada kakakmu?”
“Masih, Gusti Agung,” jawab Aninda Serunai lemah seraya mengangguk sekali.
“Sebenarnya aku tidak peduli dengan dendammu kepada Raja Sanggana itu, tetapi itu kemudian menjadi salah satu alasan bagiku untuk menggunakanmu sebagai senjataku guna membalas kekalahanku darinya,” ujar Pendekar Tanpa Nyawa.
“Hamba akan patuh apa pun yang Gusti Agung perintahkan,” ucap Aninda Serunai seraya menjura hormat penuh takzim.
“Kau sudah lima tahun hidup bersamaku dan selama itu pula aku dimanjakan oleh pelayananmu. Hidup dimanja dan dilayani bertahun-tahun ternyata membuatku malas dan justru membuat otot dan persendianku mulai kehilangan daya. Tiba-tiba aku memiliki pemikiran jahat karena aku memang ternama sebagai orang hitam. Aku senang dengan kesendirianku di sini, tetapi aku juga ingin menciptakan karya hebat di daratan sana, salah satunya adalah mengalahkan kakakmu si Raja Sanggana Kecil itu. Budak!”
“Hamba, Gusti Agung,” sahut Aninda Serunai.
“Aku ingin menghidupkanmu kembali menjadi wanita berkesaktian tinggi. Apakah kau mau?” tanya Pendekar Tanpa Nyawa.
“Tentu aku sangat mau, Gusti Agung,” jawab Aninda Serunai antusias dengan senyum yang sumringah.
“Sepertinya kau sudah bosan menjadi budakku, Budak,” kata Pendekar Tanpa Nyawa.
“Bukan seperti itu maksudku, Gusti Agung. Tolong ampuni aku, Gusti Agung. Ampuni aku, Gusti Agung!” kata Aninda Serunai cepat sambil sujud di depan kaki si nenek. Nada suaranya menunjukkan ketakutan. Pasalnya dia sudah beberapa kali menerima hukuman yang menyiksa raga dan batinnya, tapi itu hanya di tahun pertama ketika awal-awal menjadi budak.
“Aku sudah lama tidak menghukummu, Budak,” kata Pendekar Tanpa Nyawa dingin.
“Jangan, Gusti Agung. Ampuni aku, Gusti Agung. Ampuni budakmu ini! Hiks hiks hiks!” ucap Aninda Serunai sangat memelas dengan masih posisi bersujud yang berujung terdengar suara tangisnya.
“Jangan menangis!” bentak Pendekar Tanpa Nyawa.
Terkejut perasaan Aninda Serunai. Isak tangisnya seketika berhenti seperti air seni lelaki yang terpergok kencing sembarangan oleh calon mertua.
“Aku tidak sudi memiliki budak yang cengeng!” bentak Pendekar Tanpa Nyawa lagi.
“I-i-iya, Gusti Agung,” ucap Aninda Serunai. Jelas-jelas suaranya bergetar ketakutan. Pasalnya, jika si nenek sudah tidak sudi, itu artinya dia mungkin akan dibunuh. Dia lalu bangun dari sujudnya.
“Aku tidak akan membunuhmu karena aku akan menggunakanmu. Untuk membuatmu kembali memiliki kesaktian tinggi dalam waktu singkat, kau akan menjalani latihan yang menyiksa, bahkan mengancam nyawamu sendiri. Kau akan bisa bertahan dan berhasil jika kau memiliki kemauan yang tinggi. Apakah kau mau menjalaninya, Budak?” ujar Pendekar Tanpa Nyawa. “Atau kau memilih menjadi budak tanpa daya sampai kau mati menua?”
“Aku memilih berlatih, Gusti Agung,” jawab Aninda Serunai dengan wajah penuh harap.
“Baiklah. Mulai besok subuh, latihanmu akan dimulai. Hari ini kau aku bebaskan dari melayaniku,” kata Pendekar Tanpa Nyawa.
“Terima kasih, Gusti Agung,” ucap Aninda Serunai gembira. Jarang-jarang dia mendapat hari libur karena memang tidak ada tanggal merah di dalam kalender yang juga tidak ada.
“Kau pasti masih ingat gerakan-gerakan olah kanuragan yang pernah kau kuasai,” kata si nenek.
“Masih, Gusti Agung,” jawab Aninda Serunai.
“Jadi kau tinggal memunculkan kembali tenaga dalammu yang musnah dan ditambah ilmu-ilmu baru yang akan aku wariskan,” kata si nenek.
“Baik, Gusti Agung,” ucap Aninda Serunai patuh.
“Kau boleh pergi!” perintah si nenek.
“Terima kasih, Gusti Agung.”
Aninda Serunai lalu bersujud kembali menghormat. Sujudnya agak lama yang menunjukkan rasa terima kasihnya. Setelah itu, dia beringsut mundur dan kemudian bangkit pergi. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Umar Muhdhar
1
2024-10-27
1
🔵𝐀⃝🥀𝓐𝔂⃝❥Jinda🤎🕊️⃝ᥴͨᏼᷛ
lah ampe calon mertua di bawa-bawa ke sini ini ka Rudi mang kocak wkwk /Facepalm/
2024-10-24
1
🔵𝐀⃝🥀𝓐𝔂⃝❥Jinda🤎🕊️⃝ᥴͨᏼᷛ
duh mainannya ular laut ngeri ey, ular laut sama belut sama kagak ya🤔
2024-10-24
1