Rachel, seorang CEO muda yang sukses, hidup di dunia bisnis yang gemerlap dan penuh tekanan. Di balik kesuksesannya, ia menyimpan rahasia besar—ia hamil dari hubungan singkat dengan mantan kekasihnya, David, yang juga merupakan pengusaha terkenal. Tak ingin skandal mengancam reputasinya, Rachel memutuskan untuk menghilang, meninggalkan kariernya dan kehidupan glamor di kota besar. Ia memulai hidup baru di tempat terpencil, bertekad untuk membesarkan anaknya sendiri, jauh dari perhatian publik.
Namun, anaknya, Leo, tumbuh menjadi anak yang luar biasa cerdas—seorang jenius di bidang sains dan matematika. Dengan kecerdasan yang melampaui usianya, Leo kerap membuat Rachel terkejut sekaligus bangga. Di usia muda, Leo mulai mempertanyakan asal-usulnya dan mengapa mereka hidup dalam kesederhanaan, jauh dari kenyamanan yang seharusnya bisa mereka nikmati. Ketika Leo secara tak sengaja bertemu dengan David di sebuah kompetisi sains, masa lalu yang Rachel coba tinggalkan mulai terkuak, membawa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 – Pengkhianatan di Balik Pintu Tertutup
Ruangan itu penuh dengan ketegangan yang hampir tak tertahankan. Adrian berdiri di tengah ruang rapat, menatap layar besar yang memproyeksikan laporan keuangan perusahaan. Namun, pikirannya tidak berada di sana. Di luar ruangan, Nathan sedang menunggu, sementara Clara berusaha meyakinkannya bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja.
Namun, Adrian tahu kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Ada rahasia yang sedang perlahan terbongkar, dan itu akan menghancurkan segalanya jika ia tidak bertindak cepat.
---
Clara melangkah masuk ke ruangan, wajahnya penuh kecemasan.
> Clara: “Adrian, kau harus keluar. Nathan mulai bertanya tentang laporan yang ia temukan.”
Adrian, mengernyit: “Laporan apa?”
Clara, ragu-ragu: “Laporan keuangan lama. Dia menemukan celah tentang pengalihan dana perusahaan. Sesuatu yang berkaitan dengan Marcus.”
Adrian menutup mata, mencoba menenangkan pikirannya. Celah itu seharusnya tidak pernah ditemukan. Itu adalah bagian dari rencana besar untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman Marcus bertahun-tahun lalu. Tapi jika Nathan tahu, semua kerja kerasnya akan dipertanyakan, termasuk niatnya.
> Adrian: “Dia tidak boleh tahu. Itu akan membuatnya berpikir aku sama buruknya dengan Marcus.”
Clara: “Dia sudah mulai meragukanmu, Adrian. Kau harus jujur sebelum semuanya terlambat.”
---
Nathan masuk tanpa mengetuk, membawa selembar kertas di tangannya. Wajahnya penuh kemarahan.
> Nathan: “Ayah, apa ini? Aku pikir kau selalu jujur padaku, tapi ini? Apa kau benar-benar menggunakan dana perusahaan untuk mengalahkan Marcus?”
Adrian, menghela napas: “Nathan, dengarkan aku dulu.”
Nathan, memotong: “Dengarkan apa? Penjelasan lain yang penuh kebohongan? Kau selalu bilang kita harus menjadi orang yang lebih baik, tapi kau sendiri melakukan ini?”
Clara mencoba menenangkan Nathan, tetapi pemuda itu melangkah mundur, tidak ingin mendengar apa pun.
> Adrian: “Aku tidak melakukannya untuk diriku sendiri. Aku melakukannya untuk melindungi perusahaan, melindungi keluarga kita.”
Nathan: “Melindungi? Atau menyelamatkan egomu? Kau tidak lebih baik dari Marcus!”
Kata-kata itu menampar Adrian lebih keras daripada pukulan apa pun yang pernah ia terima. Namun, ia tidak bisa marah. Ia tahu Nathan memiliki hak untuk merasa seperti itu.
---
Di sisi lain kota, Marcus duduk di kantornya, memegang telepon dengan senyum penuh kemenangan.
> Marcus: “Nathan sudah tahu, kan? Aku yakin dia mulai mempertanyakan segalanya. Adrian tidak akan bisa menyelamatkan dirinya kali ini.”
Anak buahnya: “Tuan, apakah kita melanjutkan rencana selanjutnya?”
Marcus: “Tentu saja. Pastikan Nathan tahu bahwa aku ada di pihaknya. Biarkan dia datang padaku. Ini saatnya menghancurkan Adrian dari dalam.”
Marcus tahu bahwa menghancurkan kepercayaan antara Adrian dan Nathan adalah kunci untuk mengambil alih segalanya.
---
Nathan melangkah keluar dari ruangan Adrian, dengan pikiran penuh amarah. Clara mencoba mengikutinya, tetapi Adrian menghentikannya.
> Adrian: “Biarkan dia pergi. Dia butuh waktu.”
Clara: “Kau tidak boleh membiarkan Marcus mempengaruhinya, Adrian. Jika Nathan sampai berpikir bahwa Marcus adalah pilihan yang lebih baik, kita akan kehilangan segalanya.”
Adrian tahu Clara benar, tetapi ia juga tahu Nathan adalah anak yang cerdas. Jika ia mencoba memaksanya kembali, itu hanya akan membuatnya semakin menjauh.
Sementara itu, Nathan berhenti di sudut lorong, matanya tertuju pada nomor telepon yang ia dapatkan dari salah satu email anonim beberapa minggu lalu. Ia tidak yakin, tetapi sesuatu di dalam dirinya mendorongnya untuk menghubungi nomor itu.
> Nathan, bergumam: “Jika Ayah tidak mau jujur, mungkin aku akan mencari jawaban di tempat lain.”
Ia menekan tombol panggil, dan suara Marcus terdengar di seberang sana.
> Marcus: “Nathan. Aku tahu kau akan menghubungiku.”
Nathan, tegas: “Kita perlu bicara. Aku ingin tahu kebenarannya.”
Marcus tersenyum puas, mengetahui bahwa pion terakhir dalam permainannya telah bergerak seperti yang ia rencanakan.
---
Adrian berdiri di depan jendela besar kantornya, memandang ke luar dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Ia merasa bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi, tetapi ia tidak tahu apa. Clara masuk dengan ponsel di tangannya.
> Clara: “Adrian, kau harus melihat ini.”
Adrian mengambil ponsel itu dan melihat pesan video dari Marcus. Video itu menunjukkan Nathan sedang duduk di ruangan Marcus, berbicara dengannya.
> Marcus, dalam video: “Anakmu yang genius ini benar-benar luar biasa, Adrian. Tapi kau tahu, dia mulai menyadari siapa yang sebenarnya pantas ia percayai. Kita lihat saja seberapa jauh dia akan pergi untuk menemukan kebenaran.”
Adrian merasakan tubuhnya menegang. Ia tahu bahwa permainan Marcus sudah berada di tahap akhir, dan kali ini, taruhannya lebih tinggi daripada sebelumnya.
---
Adrian harus memilih: apakah ia akan membongkar semua rahasia masa lalunya kepada Nathan, atau mempertaruhkan hubungan mereka yang semakin rapuh untuk melawan Marcus? Di sisi lain, Nathan menghadapi dilema: apakah ia akan mempercayai ayahnya yang selama ini ia kagumi, atau menggali lebih dalam dengan bantuan Marcus?