NovelToon NovelToon
Ragaku Milik Suamiku Tapi Hatiku Milik Dia

Ragaku Milik Suamiku Tapi Hatiku Milik Dia

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Duda / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Heni Rita

Cinta Devan atau biasa di panggil Dev. begitu membekas di hati Lintang Ayu, seorang gadis yang sangat Dev benci sekaligus cinta.

hingga cinta itu masih terpatri di hari Lintang meski dirinya sudah di nikahi seorang duda kaya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heni Rita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ayu Lari Dari Rumah

"Darimana kamu tadi siang, hah?!" Bentak Bu Salma saat Ayu keluar dari kamar setelah putrinya dari tadi mengunci diri di dalam kamar.

Ayu tidak bergeming, ia terus melangkah mengabaikan perkataan ibunya.

"Ayu!" Pekik ibunya lagi, di kejarnya Ayu.

"Lepaskan Ayu Bu!" Ayu menjerit histeris saat Bu Salma menarik kasar lengannya.

"Dasar gatel! Ngapain kamu menemui bajingan itu, hah?!" Bu Salma semakin mengencangkan tangannya memegang pergelangan lengan Ayu.

"Tolong lepaskan Ayu Bu!" Ayu memberontak berusaha melepaskan diri.

"Dasar genit! Bela- balain kaki lecet demi menemui bajingan itu! Otak kamu taruh dimana, hah!" Cecar Bu Salma sambil menyeret tubuh Ayu masuk ke kamar.

"Lepas Bu! Sakit!" Ayu menjerit histeris.

"Diam di situ! Ibu mau ambil air hangat dulu!" Setelah menghempaskan tubuh Ayu ke atas kasur, Bu Salma dengan tergesa pergi ke dapur.

Tidak lama kemudian, Bu Salma membawa sebaskom air hangat dan waslap.

Ayu menangis tergugu.

"Sini!" Bu Salma lalu menarik kedua kaki putrinya dengan sangat kasar. Dengan hati- hati, Bu Salma membasuh telapak kaki Ayu yang lecet.

"Ibu bilang pada ayah! Baru tahu kamu!" Oceh Bu Salma sambil terus membersihkan luka lecet di kedua kaki Ayu.

"Ayu datang ke sana bukan untuk menemui Devan Bu. Tapi Ayu mau minta maaf sama Bu Hera," adu Ayu sambil menangis terisak.

"Ngapain kamu minta maaf! Pokoknya sampai kapanpun, Ibu tidak sudi besanan sama dia!"

"Tapi Bu_"

"Gak ada tapi- tapi! Sudi Ibu punya menantu bajingan kaya si Devan! Ingat ya Yu! Jodoh kamu hanya Bapak Herman!" Bu Salma mengancam.

Ayu tertunduk patuh sambil meringis menahan sakit.

"Ibu gak habis pikir sama kamu Yu. Udah tahu si Devan itu bajingan, masih saja kamu kejar- kejar!"

"Tapi Ayu tidak ada hubungan apa- apa sama Devan Bu! Kenapa Ibu selalu menuduh Ayu!" Bantah Ayu.

"Jangan bohong kamu! Tindakanmu membuktikan kalau kamu menyukai dia. di kira ibu ini bodoh apa?"

"Cukup Bu! Ibu selalu saja berprasangka buruk pada Dev!"

"A-apa? Kamu membela si Devan?" Bu Salma di buat geram dengan perkataan putrinya.

"Bukan Ayu membela Dev Bu. Tapi memang kenyataan Ayu dan Dev tidak ada hubungan apa- apa, mengapa Ibu selalu berpikir kalau Ayu suka sama Dev!" Protes Ayu.

Bu Salma menggelengkan kepalanya. Benar dugaannya, selama ini memang putrinya menaruh hati pada bajingan itu. Terbukti Ayu mulai berani menentangnya demi lelaki brengsek itu.

Mulut Ayu memang tidak mengakui itu semua, tapi kedua matanya mengatakan, kalau lelaki bajingan itu sudah merasuki otak putrinya.

"Dengar ya Yu! Enam Minggu lagi, kamu lulus sekolah, dan Ibu akan langsung menikahkan kamu dengan Pak Herman!"

Ayu menelan ludah.

"Ingat? Jangan bikin malu ibu, tanggal dan bulan sudah kami tetapkan untuk pernikahan mu nanti, jangan bikin malu Ibu dan Ayah, ngerti kamu!"

Setelah mengatakan itu, Bu Salma keluar dari kamar dengan membawa baskom besar, bekas membasuh luka lecet kaki putrinya.

Tidak berapa lama, samar Ayu mendengar ibunya menghubungi Herman.

Lantas dengan hati-hati, Ayu turun dari kasur. Berjalan berjinjit, Ayu berniat menghampiri ibunya ke kamar.

"Bu, ngapain Ibu menghubungi Pak Herman?" Tanya Ayu setelah ia berada di dalam kamar ibunya.

"Berisik! Pak Herman bentar lagi mau datang kesini!" Ujar ibunya sambil menyimpan ponselnya di atas meja nakas.

"Untuk apa Pak Herman ibu suruh datang kesini?" Tanya Ayu kesal

"Diam! Kembali sana ke kamar!"

"Bu, Ayu belum siap ketemu Pak Herman dalam keadaan begini! Kaki Ayu sakit Bu!"

"Justru itu, ibu katakan sama dia. Kalau kakimu terluka. Dan dia akan membawamu ke Dokter."

"Dih! Ibu ini bikin malu saja."

*****

"Ran, kemarilah!" seru Devan meminta Rani untuk mendekat.

Dengan langkah malas Rani berjalan menuju kamar Devan, dimana Devan sedang duduk di meja kerjanya.

"Darimana kamu? Jam segini baru pulang!" Tanya Devan, matanya tetap pokus melihat layar laptop. Tanpa melihat adiknya yang sudah berdiri di dekatnya.

Rani memutar bola matanya malas.

"Main!" Jawab Rani asal.

Devan lalu berdiri, kemudian dia merentangkan tangannya seolah meminta Rani untuk mendekat dan memeluknya.

"Peluk Aa," pinta Devan sambil mengedipkan satu matanya ke arah Rani.

"Ih, apaan sih A! Gak lucu!"

Devan terkekeh.

"Apa sih A! Gak jelas!" Decak Rani sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Devan menarik nafas.

"Ya sudah, kalau tidak mau hadiah dari Aa," ucap Devan sambil duduk kembali di kursi kerjanya.

"Hadiah?" Secepat kilat Rani mendekati Devan.

Devan tidak bereaksi.

"A, barusan Aa bilang hadiah? Maksud Aa mau ngasih hadiah, iya?" Tanya Rani. menegaskan.

"Kamu itu Ran ...Ran ...ulang tahun kamu sendiri saja tidak ingat," ucap Devan kemudian.

Sontak Rani membekap mulutnya sendiri.

"Astaga!"

Rani sampai lupa, hari ini hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun.

"Aa, Rani lupa!" Pekik Rani sambil melingkarkan kedua tangannya ke pundak Devan.

"Tuh kan? Aa bilang juga apa, masih muda udah pikun!" Devan lantas menarik kedua lengan Rani sambil berdiri.

Di gendongnya tubuh Rani sambil berputar- putar.

"Hahaha ..." Rani tertawa riang.

Setelah menurunkan tubuh mungil sang adik, Devan lantas menuntunnya lalu mendudukkan Rani di tepi ranjang.

"Katakan sama Aa, kamu mau hadiah apa?" Tanya Devan sambil duduk berjongkok di depan adiknya.

"Mmmm ... apa ya?" Bola mata Rani naik ke atas, berpikir sejenak, memikirkan, kira- kira mau hadiah apa dari kakak tercintanya.

"Ayo katakan? Kamu mau hadiah apa dari Aa?" Ulang Devan.

"Bentar atuh A, gak sabaran banget sih!"

"Cepetan! Aa banyak kerjaan nih!" Desak Devan sambil menjorokkan kening Rani.

"Dih! Si Aa mah!" rutuk Rani sambil meraba keningnya.

Devan kemudian memeluk erat tubuh adik satu-satunya yang sangat Ia cintai. Dan diusapnya punggung Rani dengan lembut. Tidak ada kata-kata yang terucap dari bibir mereka berdua. Kemudian merekapun mengurai pelukan.

Mata Rani berkaca.

"Lho… kenapa kamu nangis?"

Sontak wajah Rani bersemu merah.

"Gitu aja nangis. Ya udah kamu istirahat saja sana kalau gak mau hadiah dari Aa." Perintah Devan.

"Enak saja! Gak mau!" Tolak Rani jengkel.

"Habis, ditanya mau hadiah apa. Malah mewek! Cengeng!" Cibir Devan.

"Kalau Rani lulus. Rani pengen kuliah di Malaysia A, bareng sahabat Rani, Dinar," pinta Rani terlampau tinggi permintaanya.

Devan menelan ludah.

"Hah? Apa Aa gak salah dengar?" Devan membungkuk, menatap heran wajah sang Adik.

Rani mengangguk ragu sambil menggigit bibir bawahnya.

"Hebat benar permintaanmu Ran! Bisa- bisanya pengen kuliah ke Malaysia. Duit darimana Dodol," rutuk Devan sambil mencubit hidung mungil Rani.

Rani cemberut.

"Katanya nanya pengen hadiah apa!" Rani berdecak kesal.

"Permintaanmu itu ketinggian Ran."

"Iya kan kalau Rani lulus."

"Ran, kalau kamu ke Malaysia. Trus Mamah sama siapa kalau Aa kerja, kasian Ran Mamah udah tua, nanti kesepian kalau kamu gak ada di rumah," terang Devan.

"Makanya Aa cepat kawin! Biar ada yang ngurus Mamah."

Lagi- lagi Devan menelan ludah mendengar sindiran pedas adiknya.

"Ohya A. Rani baru ingat!" Mata Rani berkerling menatap antusias wajah sang kakak.

Alis Devan bertaut.

"Ingat apa?"

"Itu, siapa gadis yang tadi datang kesini?"

"Ayu?"

"Nah, iya itu dia!"

"Kenapa? Kamu kenal sama dia?" Tanya Devan mulai serius menanggapi ucapan sang adik.

"Rani tidak begitu kenal sih! Hanya pernah lihat, dia kan jarang keluar rumah A. Orangnya judes!"

"Kirain."

"Naahhh kan, gadis itu pasti bikin penasaran Aa, iya kan?"

Devan mendengus kasar.

"Hehehe ..." Rani cekikikan melihat raut wajah sang kakak.

"Gak lucu!" Sentak Devan.

"A, saat Rani pulang. Rani lihat, dia keluar dari rumah tapi wajahnya kaya sedih gitu, jalannya kaya tertatih- tatih, kayaknya dia habis di marahin atau gimana, yang jelas dia nangis terus."

"Sekarang dimana gadis itu?" Devan langsung memegang kuat kedua bahu sang adik membuat Rani takut.

"R-Rani tidak tahu A, sepertinya menuju jalanan," kata Rani asal tebak.

Tanpa pikir panjang, Devan langsung menyambar jaketnya yang tergantung di tempat biasa, lalu dengan tergesa dia keluar kamar meninggalkan Rani yang masih berdiri membeku. Heran melihat reaksi kakaknya.

*****

"Pak! Turunan aku di sini!" Ayu memberontak ingin turun.

Tentu saja Herman tidak akan biarkan Ayu kabur dari rumah hanya masalah sepele. Hanya karena Ibunya memaksanya untuk memeriksakan kedua kakinya ke dokter.

Ayu menolak, tapi ibunya memaksa. Dan terjadilah cekcok sengit antara ibu dan anak, yang membuat Herman jadi serba salah.

Ayu marah dan pergi dari rumah, Herman berhasil mengejarnya. Hingga dirinya dia membujuk Ayu untuk naik ke mobilnya. Tapi setelah berada di dalam mobil, gadis itu kembali berulah.

"Aku mau pulang ...hiks!"

Herman hanya melirik dengan mulut terkunci sempurna tapi terlihat geram. Mencoba untuk tidak terpecah konsentrasinya akibat raungan gadis bertubuh mungil yang menggigil, tak tahu karena dinginnya udara di dalam mobil itu atau karena emosinya yang menyebar di dalam dadanya membuat nyeri yang menusuk setiap kali dia bernapas.

“Sebenarnya apa sih maumu Dek? Bapak bela- belain nyuri waktu di waktu sibuk demi memenuhi keinginan ibumu, dan rasa sayang Bapak sama kamu Dek, karena Bapak dengar kedua kaki Adek terluka!" Herman menggenggam erat tuas gigi mobil yang dia kendarai. Mencoba dengan sangat agar tak juga terkuasai amarahnya. Tapi gadis yang sebentar lagi menjadi istrinya ini terus menggerus kesabarannya kian menipis.

“Ibuku bohong! Kakiku gak parah- parah amat! Ngapain harus periksa ke Dokter!" teriak Ayu, sekarang semakin histeris. Bahkan Ayu mulai memukuli dadanya sendiri.

Tapi Herman menangkap suatu yang aneh dan mencurigakan dari sikap Ayu, gadis ini marah bukan karena ibunya. Tapi ada hal lain yang Herman tidak ketahui.

“Dek! Hentikan!” Herman masih ingin mencoba menghalau emosi Ayu tapi semakin menjadi. Padahal Herman sama sekali tidak tahu apa salahnya? Saat menemui gadis ini di rumahnya. Ayu langsung menggila.

Tentu saja hal itu sangat mengganggu pikirannya. Walaupun sekarang mereka sedang ada di jalanan sepi, Tapi sedikit saja kehilangan konsentrasi, yang ada mereka akan celaka. Dan gadis ini, dia malah bertingkah membingungkan, mulut dan hatinya bicara lain.

Ayu sudah keterlaluan.

Cit …!

Suara ban yang direm dengan tiba-tiba terdengar keras di sekitar jalan pertigaan yang sepi dan gelap di malam hujan yang tinggal menyisakan gerimis, hanya lampu dari mobil mereka yang menyoroti jalan aspal hitam itu. Tentu saja tindakan Herman itu membuat Ayu langsung terhempas ke depan.

Herman langsung memukul keras kemudi yang ada di depannya. Mencoba melampiaskan semua rasa frustasi dan kesal yang sudah dibangkitkan oleh calon istrinya ini. Ayu memang semakin sensitif selama masa-masa persiapan pernikahan mereka. Tapi kali ini rasanya gadis yang masih berusia muda ini, benar-benar sudah keterlaluan. Sikap kekanakannya benar-benar mencekik Herman hingga habis kesabarannya.

“Hah! Sial!” umpat Herman sambil menggertakkan giginya melihat dengan kilatan emosi yang nyata pada gadis yang tampak hanya diam memperhatikan dirinya meluapkan amarahnya. Kepalanya rasanya begitu mendidih.

Ayu terdiam dan tahu dia sudah membuat pria yang sudah di jodohkan oleh kedua orang tuanya marah besar, hal itu bisa terlihat dari bagaimana otot-otot di wajah pria dewasa itu bergerak-gerak dan napasnya yang dalam dan cepat.

“Baik! Baiklah! Jika kamu tidak mau di jodohkan dengan Bapak! Batalkan saja!" Teriak Herman dengan segala emosinya yang memuncak. Mengaburkan akal sehatnya hingga membuat kata-kata yang pastinya menikam jantung Ayu tergelincir.

Mata Herman membesar. Rasanya dia ingin memukul wajahnya sendiri saat sadar apa yang sudah dia katakan. Perasaannya seketika perih ketika melihat sebutir air mata lolos begitu saja dari pipi Ayu yang menatapnya nanar.

"Dek…?” Herman merasa tercekat. Apa yang sudah dia katakan? Kabut emosi menguasai pikiran sehatnya.

“Sudah …!” Suara serak Ayu terdengar dengan napas berat yang susah sekali dia telan karena rasa sakit itu sudah menjalar naik hingga kerongkongannya. Mencekiknya kuat hingga dia tak bisa lagi bernapas normal.

Ayu lalu mengubah posisinya, mengalihkan padang ke arah kaca yang mulai berkabut. Herman bisa melihat bagaimana bibir Ayu tampak bergetar. Rasa penyesalan semakin kental menampar Herman.

“Dek, Bapak …!" Herman mencoba untuk memegang lengan Ayu yang tampak dengan sangat menahan tangisnya. Herman yakin gadis ini sangat terluka dengan apa yang baru saja dia katakan.

Ayu menarik napasnya dalam. Semakin dia bertahan semakin sesak rasanya. Dia sudah tak sanggup lagi dengan segala sakit yang mengerogoti segala sendinya. Dia tak mau lagi ada di tempat ini sekarang dan dengan gerakan cepat dia langsung membuka pintu mobil dan segera keluar menerjang rintik hujan yang terasa bagaikan jarum-jarum kecil dingin yang menusuk tubuhnya yang seketika menggigil. Sekali lagi dia tidak tahu, apakah memang karena udara disekitarnya ataukah karena rasa sakit yang ditorehkan oleh Herman, ibunya atau Devan.

Air matanya terasa hangat bergabung dengan air hujan yang sudah menguyupkan sebagian tubuhnya.

“Dek! Dek!” teriak Herman yang bahkan tidak digubris sama sekali oleh Ayu. Herman tentu kaget dengan apa yang dilakukan oleh gadis itu. Keadaan di luar mulai gelap dan juga cuaca yang tidak bersahabat.

Tapi Ayu terus berjalan. Sorot lampu depan mobil itu yang membuat Herman bisa melihat gadis yang terus menjauh darinya. Suara wiper mobil yang menggaung di dalam mobil semakin membuat hati Herman semakin kacau dan cemas. Mau tak mau akhirnya dia harus keluar dari mobilnya.

Langkah Herman cepat, agar bisa menggapai tangan Ayu. Dia merasakan jari jemari lentik itu sudah sedingin es, gemetar dan juga terasa mengkerut. Tapi saat Ayu yang sudah kuyup karena air hujan memandangnya. Hati Herman sekali lagi terasa tergores.

“Maafkan Bapak Dek...."

Tapi sepertinya dia tak akan mudah meluluhkan hati gadis ini.

Ayu menarik tangannya perlahan dan segera tersenyum kecut.

“Aku rasa kita memang harus mempertimbangkan lagi rencana pernikahan ini.”

“Dek …," ujar Herman dengan sangar lirih dan memohon, sekali lagi ingin menggapai tangan Ayu, tapi gadis itu menunjukkan sikap bahwa dia sama sekali tidak ingin di sentuh. Hal itu tentunya membuat Herman mengerutkan dahinya dalam.

"Bapak pulang saja. Aku bisa pulang sendiri,” Ayu memerintah.

“Tapi …!”

“Pulanglah! Apakah Bapak tidak mendengar apa yang aku katakan?! Pulang saja! Tinggalkan aku di sini. Pergilah!” teriak Ayu memecah keheningan malam. Tangis yang sekuat tenaga dia tahan akhirnya pecah juga. Mengabur diantara rintikan hujan yang bertubi menumbuk bumi.

Herman hanya diam menatap dengan wajahnya yang cukup kaget dengan apa yang dia lihat sekarang. Gadis ini dari tadi bersikap aneh.

Ayu sekarang melungsur turun, berjongkok di pinggir jalanan yang hanya sesekali dilalui oleh kendaraan. Memeluk tubuhnya sendiri yang gemetar, Ayu hanya belum bisa menerima cinta pria yang umurnya terpaut jauh dengan dirinya.

“Pergilah! Jika Bapak tidak pergi dari sini, aku juga akan tetap di tempat ini!” Ayu menyeka hidungnya yang basah. Menarik napasnya yang bercampur dengan air hujan, membuat kepalanya seketika pusing karenanya.

Herman tentu tidak ingin meninggalkan gadis yang sangat membingungkan ini. Dia tetap ingin bertahan. Tapi baru saja selangkah dia kembali melangkah. Ayu langsung menghardiknya.

"Pergilah!! Apa Bapak mendengarkan aku!" Teriak Ayu dengan segala amarah yang dia punya. Tak ingin lagi menyimpannya. Ayu memang tak pernah suka dengan pria dewasa ini. Apalagi calon suaminya ini ternyata duda beranak satu, itulah fakta yang baru ia ketahui dari ibunya saat berdebat tadi sore. Ayu merasa di bodohi oleh kedua orang tuanya, bisa- bisanya menjodohkan dirinya dengan seorang duda.

“Baiklah! Jika itu memang maumu.” Herman menggenggam tangannya dengan sangat kuat. Dia tahu betapa keras kepalanya calon istrinya ini. Walau dia tahu rasa cemas menggelayuti hatinya, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa, lagipula emosinya sudah mulai menyusup kembali.

Herman dengan cepat memutar tubuhnya. Berjalan dengan langkah frustasi dan segera memasuki mobilnya.

Dengan wajah yang mengeras, Herman langsung menekan gas mobilnya dan membuat gerakan berbalik arah dan melaju cepat meninggalkan gadis yang hanya berdiri di pinggir jalan remang itu.

Herman menekan keras rahangnya, mencoba menahan emosinya. Dia menyipitkan matanya dan sedikit mengintip dari kaca spion tengah mobilnya.

1
Abel_alone
tetap semangat 🌹🌹🌹🌹
Luna Sani: Terima kasih kak ..🙏😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!