NovelToon NovelToon
Berdua : Menjadi Penakluk Bersaudara

Berdua : Menjadi Penakluk Bersaudara

Status: tamat
Genre:Fantasi / Tamat / Reinkarnasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Alif R. F.

Dua bersaudara kakak beradik yang sudah lama memainkan MMORPG menggunakan kapsul DDVR (Deep-Dive Virtual Reality) tiba-tiba berpindah dunia disaat mereka sedang menunggu tutupnya server.

Adik perempuan yang bernama Rena sudah bertahun-tahun menggunakan kapsul DDVR yang sekaligus digunakan sebagai penunjang kehidupan karena dirinya yang mengalami koma akibat kecelakaan di masa lalu, akhirnya bisa mengalami dunia nyata meskipun dengan tubuh yang berbeda dan di dunia yang berbeda pula.

Berbeda dengan kakak laki-lakinya, Reno, yang sudah mempersiapkan pernikahannya sementara semua impiannya hampir sudah tercapai semua kini harus dihadapkan dengan situasi yang berbeda, di dunia dan dengan tubuh yang berbeda, sama sekali tidak memiliki jalan untuk kembali.

Apakah Reno akan mengalah dengan adiknya, Rena, dan hidup di dunia baru sebagai seorang Penakluk? atau dia akan tetap berusaha mencari jalan pulang sementara meninggalkan adiknya di dunia yang asing dan kejam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alif R. F., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#14 – Kemenangan Tipis V

(Dunealdor Royal Castle).

Kastil kerajaan yang terkenal kokoh dengan rintangan yang rumit, berdiri di atas sebuah bukit yang mengawasi keseluruhan kota Kelemborr, kini telah ternodai dengan para pembelot yang merangsek ke dalam tanpa rasa hormat sedikit pun.

Panji-panji yang awalnya berlambangkan serigala, kini diganti dengan panji-panji yang berlambangkan singa, terpasang di setiap menara dan tembok kastil.

Durrand berjalan medekati kastil kerajaan, Dunealdor, sementara terdapat dua kesatria hitam berdiri di depan gerbang sedang menjaga gerbang kastil yang jebol dan tidak bisa ditutup.

"Huh? Siapa kau? Bisa-bisanya sampai disini? Apakah kamu berlari memutar? Kekeke," kekeh salah satu kesatria hitam meremehkan.

Durrand tidak menjawab dan terus berjalan melewati jembatan angkat yang berlumbah setengah rusak.

Setidaknya … ketika kota diserang, masih ada yang melawan mereka sampai di titik darah penghabisan. Pikirnya setelah melihat kerusakan pada jembatan dan gerbang.

"Oi!" tegur Kesatria hitam yang lain dan mulai berjalan mendekatinya.

Durrand tidak bergeming dan hanya berhenti berjalan. Dengan sang kesatria hitam yang berdiri di depannya, ia pun mulai mengetuk-ngetuk zirah dada miliknya. "Ini kokoh … dan tampak ringan."

Sang kesatria hitam menoleh ke belakang ke arah kawannya seakan menanyakan pendapat dengan matanya. Lalu ia pun kembali menoleh ke arah Durrand dan langsung mencekiknya.

"Oi … apakah kau sudah segitu putus asanya untuk mati?" tanya sang kesatria hitam.

Durrand mendongak dan menatapnya kembali dengan tegas. "Bolehkah saya meminjam helm anda?" ucapnya dan langsung mencabut helm sang kesatria hitam dengan santainya, membuat strap nya putus begitu saja.

Sang kesatria hitam tertegun dan belum memproses apa yang baru saja terjadi, sementara Durrand langsung mengenakan helm tersebut ke kepalanya. "Benar … ini benar-benar ringan. Darimana kalian mendapatkannya?"

Sang kesatria masih tertegun dan tidak menjawab.

"Woi! Apa yang terjadi? Kenapa kalian malah diam saja?" tanya kawannya yang masih berdiri di dekat gerbang.

Sang kesatria mulai sadar bahwa tangannya sama sekali tidak bisa meremas leher Durrand, dan hendak melepaskan genggamannya karena mulai merasa terintimidasi. Sementara Durrand langsung memegang tangannya dengan kuat, sedang tangan sang kesatria tidak bergeming seakan tertahan oleh sesuatu yang begitu kuat.

"Tolong—"

Durrand mencekik sang kesatria yang belum sempat berteriak, lalu meremasnya hingga tercekik dan tewas seketika. Sedangkan kawannya langsung menghunuskan pedangnya, namun Durrand langsung melompat ke arahnya, menubruknya dengan dengkulnya hingga terpojok ke tembok kastil.

"Kuhakkk!" keluh sang kesatria hitam yang lain.

"Kalian ternyata sama lemahnya seperti yang lain, hanya saja perlengkapan kalian yang kuat." Durrand menatap sang kesatria hitam yang kini terduduk dan tersandar di tembok sementara dirinya masih syok. "Dan juga, sepertinya aku tidak bisa merusak logam kalian. Hmmmm, tampaknya aku masih jauh untuk mencapai itu."

"Tunggu—"

Durrand mematahkan leher sang kesatria hitam, dan membunuhnya.

Dari sana Durrand pun mulai melepaskan zirah mereka dan langsung mengenakannya. Sedangkan untuk pedang, Durrand mengambil keduanya dan membawanya masuk ke dalam kastil. Kini dengan pakaian kesatria hitam dan dual wielding, ia pun mulai menyusupi kastil dan mulai membunuhi para kesatria hitam tanpa kendala.

Dari luar kastil, suara teriakan yang bercampur dengan lonceng berbunyi keras. Sementara para kesatria hitam yang selama ini angkuh karena perlengkapannya, menjadi tidak ada apa-apanya di hadapan Durrand. Mereka semua tertebas di lokasi yang sama, di leher mereka dengan begitu presisi.

Dunealdor memiliki banyak lapis gate house, sehingga sangat sulit untuk ditembus. Namun setiap kali Durrand melewati setiap gerbang, tampak gerbang besi angkat yang membentuk gate house semuanya robah karena sebab yang sama, yakni karena tebasan tebasan pedang dari para kesatria hitam.

"Logam yang bisa menebas besi … kira-kira … bagaimana cara mereka menempanya?" gumam Durrand sementara tebasan terakhir pada kesatria hitam terakhir baru saja ia lancarkan. "Apakah ini hasil buatan kurcaci? Atau Elf? Elf memiliki logam yang sangat ringan, namun aku tidak pernah menyaksikan bahwa logam mereka, Elvotrium mampu menebas besi dengan mudah. Begitu juga dengan logam kurcai, Derregrontium, meski memiliki warna hitam, itu tetap termasuk dari logam yang sama seperti besi, hanya saja sedikit lebih kokoh dan berat."

Durrand terus berjalan, setelah menebas kesatria hitam terakhir. Tak lama dan pada akhirnya, ia pun tiba tepat di depan pintu besar Donjon. Pintu tertutup rapat, dan Durrand sangat mengenal dengan apa yang ada di baling pintu besar tersebut, yakni sebuah balok besi yang mengunci.

Durrand pun mengambil kuda-kudanya dan mulai menebaskan dua pedang hitamnya ke pintu Donjon.

Pintu Donjon pun terpotong dan roboh, mengekspos puluhan kesatria hitam lainnya yang menjaga enam bangsawan pengkhianat yang kini tampak ketakutan dan khawatir sementara hanya bisa duduk di kursi meja perjamuan.

Sang Baron berdiri dari kursinya, berjalan dan mulai menunjuk-nunjuk Durrand. "Kau! Kau bagaimana bisa?! Kalian seharusnya mati! Musnah! Kenapa kalian bisa kembali dan merusak rencana kita!??"

"Cedric! Kau!" tatap Durrand yang sekujur tubuhnya penuh dengan darah para kesatria hitam.

"Tsk! Bunuh dia! Cepat, bunuh dia! Pasti dia sudah kelelahan sekarang!" perintah Cedric, sang Baron pengkhianat dengan menggebu-gebu.

Duke Edward sementara itu, hanya diam sambil terus memperhatikan.

Terdapat 43 kesatria hitam yang tersisa, dan kini mereka menyerang Durrand secara bersamaan dan membabi buta. Namun, setiap serangan mereka dengan mudah ditangkis oleh Durrand dan diserang balik dengan sangat cepat dan presisi, membuat kepala mereka terputus dan akhirnya tergeletak gugur satu-persatu.

Edward yang tampak tenang pun mulai mengerutkan keningnya. Gelagat tubuhnya yang seakan menunjukkan keoptimisannya perlahan berubah menjadi gelagat tubuh yang pesimis dengan mulai menggerak-gerakkan kaki dan tangannya yang terus mengelap keringat.

Sampai akhirnya kesatria hitam terakhir pun gugur di tangan Durrand, dan semuanya … tewas dengan kepala putus.

"Mari berunding," ucap Cedric tampak panik, sementara hanya bisa tersenyum menahan perasaan takutnya.

Durrand pun berjalan mendekat, sementara Cedric terus berjalan mundur dan akhirnya, bokongnya membentur meja perjamuan.

"Berunding? Untuk apa? Kami sudah menang?" ucap Durrand terus mendekati Cedric.

"T-tapi … tapi … kalian menang tipis … karena … karena kita telah membunuh Raja—"

Durrand yang sudah berada begitu dekat pun langsung memotong kedua kaki Cedric.

Slas!!

Cedric berteriak ditengah kesakitannya, penuh dengan rasa sakit yang teramat sedang darahnya terus memuncrat. Sementara itu, lima bangsawan lainnya yang duduk pun berdiri seketika, merasakan kehidupan mereka kini dalam keadaan yang genting dan penuh dengan teror.

"Tunggu tunggu tunggu, kita hanya disuruh---"

Para Bangsawan lain mulai berteriak satu persatu sementara kedua kaki mereka dipotong oleh Durrand yang menatap mereka dengan dingin dan kejam, dan penuh akan dendam. Sementara itu, Edward yang menyaksikan itu, dan sebagai bangsawan terakhir yang masih memiliki dua kaki pun langsung berlari.

Namun, Durrand dengan mudah menggapainya, menarik kerah belakangnya lalu melemparnya jauh ke tengah-tengah ruang singgasana. Kelima bangsawan kini hanya bisa mengesot, sedang jejak darah mereka terus mengikuti kemanapun mereka pergi.

Durrand pun memotong dua kaki dan tangan Edward, lalu melemparnya ke arah para bangsawan yang terus merangkak mencoba kabur. Kini, Dunealdor dipenuhi dengan suasana mencekam dan teror, kepanikan dan keputusasaan para bangsawan pengkhianat menggema dan terekam ke setiap sudut ruang singgasana.

"Ohhh … aku akan menikmati waktu yang sudah kalian luangkan untukku," ucap Durrand yang tanpa sadar tersenyum menikmati.

****.

Beberapa jam kemudian, hari sudah sore, Terry dan beberapa komandan pun memasuki Dunealdor, melewati setiap mayat para kesatria hitam tanpa kepala yang tergeletak di setiap sudut kastil.

"Tuan Hector, perintahkan para prajurit untuk membereskan ini semua. Saya ingin masuk ke donjon, ingin melakukan banyak hal kepada para pengkhianat itu, dan saya yakin, yang mulia juga sudah menangkap dan mungkin memenjarakan mereka."

"Baik, penasihat," ucap Hector menunduk dan berjalan kembali.

Terry terus berjalan bersama dengan sisa komandan yang lain.

Tak lama, mereka pun sampai di depan pintu Donjon yang sudah roboh. Lalu karena efek langit yang mulai gelap, Terry hampir tidak bisa melihat ada apa di dalam, sehingga ia langsung berjalan begitu saja, mempercayakan segalanya kepada Durrand yang sudah memasuki kastil lebih dulu darinya.

Kemudian sesaat kakinya melangkah dan matanya mulai menyesuaikan dengan cahaya di dalam ruangan, ia melihat begitu banyak darah yang menggenang, serta tubuh tak berkepala para kesatria hitam yang juga bergelimpangan di lantai ruang singgasana.

Terry pun terus berjalan sambil tertegun, sedang matanya masih melirik ke sekitar lantai, menjaga langkahnya agar tidak asal menginjak. Ia terus berjalan dan menunduk, sampai akhirnya ia menatap ke depan ke arah singgasana, ia melihat Durrand sudah duduk di sana dengan zirah hitamnya yang penuh dengan darah.

Terry pun berlutut, begitu juga dengan para komandan yang mengikutinya dari belakang. "Selamat kepada yang mulia atas pencapaian yang sangat luar biasa ini."

"Bedirilah," perintah Durrand dengan santainya.

Terry berdiri, begitu juga dengan komandan lainnya.

"Terry," ucap Durrand dan mulai menunjuk ke arah ember lebar yang ada di sisi kiri ruang singgasan dari perspektifnya. "Di sana adalah wajah para pengkhianat, saya sudah mengumpulkannya."

"Maksud anda?" tanya Terry merasa bingung.

Errrr,

Suara erangan terdengar dari sisi kanan Terry tiba-tiba, yang mana ia langsung menoleh secara reflek. Dan terkejutlah ia sesaat melihat siapa yang mengerang. Di sana, tergeletak enam bangsawan pengkhianat tanpa kulit wajah dan tanpa dua kaki dan tangan, semuanya bertelanjang dan penuh dengan darah.

"Di sana adalah wajah mereka … aku menguliti mereka, lalu menyembuhkan mereka, lalu menguliti mereka lagi, sampai ramuan merah ini …," jelas Durrand sambil melempar Vial kosong ke depan Terry. "Sampai ramuan ini habis. Padahal setiap tetes ramuan ini, mampu menumbuhkan anggota tubuh yang hilang. Haaa … aku jadi menyesal telah menghabiskan semuanya ke mereka."

Terry merasa konflik dengan perasaannya. Pertama-tama ia merasa kagum dengan pencapaian Durrand, namun secara bersamaan ia merasa begitu takut dan terintimidasi dengan gelagat Durrand yang begitu sadis.

"Yang mulia … saya … saya bingung … tanggapan apa yang harus …."

"Terry, kirimkan wajah-wajah mereka ke rumah mereka, simpan dengan baik di dalam peti yang penuh dengan garam, agar awet," jelas Durrand, bersandar di singgasana nya.

"Lalu … lalu bagaimana dengan nasib mereka, yang mulia?" tanya Terry, menoleh dengan menahan rasa mual ke arah enam bangsawan yang terjejer di tempat yang redup.

"Tancapkan pemancang dari dubur mereka, lalu pajang di depan tembok kastil. Perlihatkan dan biarkan kabar menyebar. Lalu peringati mereka, yang hendak kita kirimkan wajah-wajah itu, peringati mereka untuk segera menyerah, sebelum seluruh keluarga mereka mengalami nasib yang sama seperti ayah-ayah mereka di sini."

Tatapan dan ucapan dingin Durrand membuat tubuh Terry dan juga para komandan bergetar dan dingin. Ini adalah pertama kalinya bagi mereka merasa begitu takut sekaligus tunduk kepada raja mereka.

Paduka … sebenarnya, siapa yang telah anda tunjuk sebagai pewarismu?Pikir Terry sementara hanya bisa menunduk patuh di depan Durrand.

****.

Bersambung ….

****.

1
arfan
semangat up bos
Alif R. F.
thank you /Pray/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!