NovelToon NovelToon
Antara Cinta Dan Perjuangan

Antara Cinta Dan Perjuangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cinta Terlarang / Cinta Murni
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Raira Megumi

Ahmad Hanafi, seorang laki-laki cerdas dan tangguh yang ikut serta dalam perjuangan memerdekaan bangsa Indonesia dari jajahan negeri asing yang telah menjajah bangsanya lebih dari 300 tahun.
Saat mengabdikan seluruh jiwa dan raganya demi bangsa yang dicintainya, ia dibenturkan pada cinta yang lain. Cinta lain yang ia miliki untuk seorang gadis cantik yang sulit ia gapai.
Rosanne Wilemina Van Dijk adalah nama gadis yang telah memporak-porandakan keyakinan Ahmad Hanafi akan cintanya pada bangsa dan negaranya.
Cintanya pada dua hal yang berbeda memberikan kebimbangan luar biasa pada diri seorang Hanafi.
Pada akhirnya, cinta siapa yang akan dipilih Hanafi? Cintanya pada bangsa Indonesia? atau pada Rosanne? atau ada wanita lain?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raira Megumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

19. Cinta Tak Bisa Memilih

Setelah menunggu beberapa saat, Hanafi mendengar suara derap kereta kuda. Ia membalikkan tubuh dan melihat Rosanne turun dari kereta kudanya.

“Cantik,” ucapnya lirih.

“Selamat pagi, Hanafi!” sapa Rosanne.

“Selamat pagi, Wina.”

Hanafi mengamparkan selembar kain untuk Rosanne, lalu duduk di samping Rosanne tanpa menggunakan alas duduk.

“Aku merindukanmu, minj lief. Apa yang kau kerjakan saat aku tidak ada?”

“Seperti biasanya. Aku bekerja, bertemu dengan teman-teman, dan…” Hanafi menggantung kalimatnya.

“Dan?” Rosanne menelengkan kepalanya menunggu jawaban Hanafi.

“Merindukanmu,” ungkap Hanafi sambil memandang ke arah bukit-bukit di hadapannya.

“Benarkah kau merindukanku, Hanafi?” Entah kenapa Rosanne suka sekali menambahkan nama Hanafi dalam setiap perkataannya.

“Pemandangan sangat indah, bukan?” ucap Hanafi mengalihkan pertanyaan Rosanne.

“Tentu saja, tetapi tetap saja tidak seindah suasana hatiku. Kau tahu, Hanafi? Sejak pagi tadi, jantungku tak berhenti berdebar-debar. Rasanya tidak sabar bertemu denganmu. Semalam pun, aku tidak bisa tidur cepat. Kau lihat lingkaran hitam di sekitar mataku?” Rosanne menunjuk matanya. Sebenarnya Rosanne membubuhkan bedak banyak-banyak di sekitar matanya agar terlihat lebih cantik tanpa lingkar hitam di wajahnya.

Hanafi memberanikan diri menatap wajah Rosanne.

“Tidak. Tidak ada lingkaran hitam yang mengganggu wajahmu. Kau selalu terlihat cantik.”

“Ah, andai saja tadi aku tidak membubuhkan banyak bedak, kau mungkin akan meihat tanda akibat kurang tidur. Kau tahu kenapa aku sulit tidur semalam?”

“Kenapa?” tanya Hanafi.

“Karena aku tidak sabar untuk bertemu denganmu. Aku tidak sabar menunggu pagi.”

“Oh,”

“Hanya oh saja? Apakah kau juga kesulitan tidur semalam?”

“Tidak,” jawab Hanafi berbohong.

“Ah, jadi hanya aku saja yang tidak bisa tidur karenamu. Kau ternyata tidak memikirkanku.”

“Aku tidur cepat karena aku ingin terlihat segar saat bertemu denganmu,” jawab Hanafi berusaha membesarkan hati Rosanne. Ia menyesal tidak mengatakan yang sebenarnya kalau ia pun tidak bisa tidur cepat karena memikirkan Rosanne.

“Ah, laki-laki dan perempuan memang berbeda saat mereka jatuh cinta, bukan begitu, Hanafi?”

“Tentu saja.”

“Apa yang akan kita lakukan hari ini? Bagaimana dengan anak-anak?” Rosanne khawatir dengan murid-muridnya.

“Setiap hari Minggu mereka tidak belajar. Apakah kau sudah lupa hari, Wina?”

“Ah, ya. Hari ini adalah hari Minggu. Aku benar-benar melupakannya.” Rosanne tertawa saat menyadari kekeliruannya.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan hari ini? Apakah kita akan di sini selama seharian?” tanya Rosanne.

“Kau ingin kita pergi ke mana?”

“Entahlah, aku akan mengikuti kemana pun kau pergi.”

“Kalau kita menghabiskan waktu bersama di sini, kau tidak berkeberatan?” tanya Hanafi. ia khawatir Rosanne tidak suka dengan rencananya untuk menghabiskan waktu bersama di tempat itu untuk lebih saling mengenal. Hanafi ingin hanya ada mereka berdua saja.

“Tidak! Sama sekali tidak. Aku suka tempat ini. Aku belum pernah mengunjungi tempat ini.”

“Tempat ini seharusnya milik bangsa kami, tetapi kami tidak bebas untuk menikmati tempat seindah ini. Kau tahu, tidak sembarangan orang yang bisa datang ke tempat ini?”

“Benarkah?” Rosanne terkejut mendengar kenyataannya.

“Bangsamu yang menguasai tempat ini.”

“Hanafi, sungguh aku meminta maaf padamu. Aku tidak …”

“Sudahlah. Kau tidak bersalah karena kau memang tidak mengetahuinya.”

“Apa yang harus aku lakukan agar kalian terbebas dari cengkraman bangsaku?”

“Tidak ada. Tidak ada yang bisa kau dan aku lakukan untuk saat ini.”

Hanafi kembali memandang perbukitan yang menjulang tinggi di depannya. Hatinya kembali goyah menghadapi dua cinta yang ia miliki. Cinta terhadap tanah airnya dan juga cinta pada Rosanne. Dia memasrahkan hidupnya pada takdir.

“Sudahlah, kita tidak perlu membahas hal yang belum pasti. Kita bicara tentang diri kita saja. Aku belum mengenalmu secara mendalam. Aku hanya mengetahui namamu dan kakak laki-lakimu saja.”

“Aku juga hanya sedikit mengetahui tentang dirimu walaupun sudah berbulan-bulan kita saling mengenal.”

“Bagaimana dengan keluargamu. Apakah kedua orangtuamu masih hidup?”

“Ya. Papa dan mamaku masih hidup dan sangat sehat. Mereka tinggal di Belanda bersama dengan kakak laki-lakiku yang lain dan juga adik laki-lakiku. Aku anak perempuan satu-satunya di dalam keluarga. Bagaimana denganmu. Apakah kau memiliki saudara kandung? Bagaimana dengan orang tuamu?”

“Seperti kau ketahui aku tinggal sendiri. Orang tuaku tinggal di kota sebelah. Aku tidak memiliki saudara  dari ibu yang sama. Ayahku memiliki tiga orang istri dan dari istri ayahku yang lain aku memiliki lima orang saudara, 3 orang laki-laki dan dua orang perempuan.”

“Wow!” Rosanne terkejut mendengar cerita Hanafi.

“Dua orang istriku ayahku yang lain sudah meninggal sebelum ayah menikah dengan ibu. Ibuku adalah istri ketiga ayahku.”

“Apakah ayahmu sekarang memiliki istri yang lain selain ibumu? Ah, maaf aku bertanya sesuatu yang tidak seharusnya. Aku hanya…”

“Tidak apa-apa. Aku tahu kau pasti khawatir dan penasaran apakah aku juga memiliki keinginan memiliki istri lebih dari satu. Ayahku menikah dengan ibu setelah kedua istri sebelumnya meninggal. Sekarang, selain ibuku, ayah tidak memiliki istri yang lain.”

“Eh… ehem, aku hanya bertanya tentang ayahmu saja, bukan tentangmu.”

“Kau tidak ingin bertanya hal yang sama padaku?”

“Tidak… tapi, bolehkan aku bertanya hal itu kepadamu?”

Hanafi tertawa mendengarnya.

“Aku pun tidak tahu jawabannya, Wina. Aku tidak tahu kemana takdir akan menggiringku, dan juga kita. Aku sungguh tidak tahu, Wina. Aku juga takut kalau kita… ah, sudahlah, aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita saat ini. Bagiku, mengetahui bahwa kau mencintaiku sudah cukup.”

“Hanafi!” Tiba-tiba bayangan masa depannya tanpa Hanafi berkelebat dalam kepala Rosanne. “Aku juga takut. Aku pernah mengatakan kalau cinta tidak harus memiliki, tetapi memikirkan aku tidak bersama denganmu rasanya itu menyakitkan, Hanafi.”

“Hm…”

“Engkau tahu, Hanafi? Satu minggu saja tidak melihat dirimu telah membuatku gelisah apalagi jika aku tidak bisa melihatmu selamanya. Mungkin aku akan mati.”

“Jangan bicara seperti itu, Wina! Jangan membicarakan tentang kematian. Tidak baik jika kita terlalu berlebihan dalam memperlakukan perasaan kita. Jangan sampai perasaan cinta yang kita miliki menghancurkan diri kita. Aku tidak mau kau terpuruk jika kita ditakdirkan tidak bersama.”

“Kau menyerah, Hanafi?”

“Aku tidak bisa melawan takdir, Wina. Kau pun tidak bisa.”

“Apa kau menerima jika kita ditakdirkan tidak bersama, Hanafi? Kalau begitu, untuk apa kita bersama sekarang jika kau tidak mau berjuang?” seru Rosanne kecewa. Ia tidak menyangka Hanafi dengan mudahnya menyerah pada takdir.

“Aku dan engkau tidak tahu kemana takdir akan menggiring kita, Wina. Mencintaimu adalah hal yang paling membahagiakan dan tidak pernah terpikir sebelumnya. Aku tidak pernah menyangka akan dicintai oleh seorang nona Belanda yang cantik sepertimu.”

“Kau tahu, Hanafi? Aku telah jatuh cinta padamu sejak pertama kita bertemu. Kau masih ingat bagaimana kita bertemu?”

“Tentu saja. Saat itu aku sangat tidak suka padamu. Aku tidak suka semua orang dari bangsamu karena bangsamu telah merebut tanah kami.”

“Ya, aku tahu. Saat itu kau pasti sangat membenciku,” ucap Rosanne lirih.

“Tapi lambat laun aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda tentangmu. Engkau tidak seperti mereka.”

“Sejak kapan kau mulai menyukaiku, Hanafi?” tanya Rosanne penasaran. Tentu saja Rosanne penasaran bagaimana dan sejak kapan Hanafi mulai mencintainya. Hanafi, seorang laki-laki dingin yang tidak pernah mengacuhkannya tiba-tiba mengungkapkan cinta kepadanya.

“Aku menyukaimu karena kau baik. Sejak kau datang ke rumahku dan memberikan pelajaran kepada anak-anak, aku mulai memandangmu dengan sudut pandang yang berbeda. Kau berbeda dengan mereka.”

“Lalu, sejak kapan kau mencintaiku, Hanafi?” tanya Rosanne menggoda.

“Hm… aku tidak tahu. Tiba-tiba saja aku tidak suka melihatmu bersama dengan laki-laki lain. Perasaan tidak suka itu menyiksaku dan setelah itu aku mulai menyadari mungkin rasa suka berubah menjadi rasa cinta. Aku menginginkanmu hanya untuk diriku.”

“Hanafi, terima kasih.”

“Untuk apa?”

“Untuk segala cinta yang kau berikan padaku. Aku telah menjadi perempuan yang paling beruntung di muka bumi ini karena diinginkan olehmu. Aku berdoa, sungguh-sungguh berdoa agar kita bersama selamanya. Walaupun cara kita berdoa berbeda, aku yakin Tuhan akan mendengar doaku.”

Mendengar perkataan Rosanne tentang cara berdoa yang berbeda menyadarkan Hanafi bahwa ia dan Rosanne memang berbeda dan perbedaan itu yang mungkin akan memisahkan mereka.

“Wina, kau tahu? Perbedaan mungkin akan menyulitkan kita untuk bersama. Aku tidak bisa menikahi perempuan yang berbeda agama denganku dan itu adalah prinsip ajaran agama yang aku anut. Tidak ada tawar menawar.”

“Hanafi, kau tahu mengapa aku senang berkunjung ke rumahmu?”

Hanafi menggeleng.

“Aku menyukai suaramu saat mengaji. Hatiku tenteram dan nyaman saat mendengarmu dan anak-anak melantunkan ayat-ayat suci dari kitab kalian. Kau memahamiku, Hanafi?”

“Ya.”

“Aku juga membaca beberapa buku tentang agama kalian dan aku tertarik. Kau harus tahu hal yang paling penting ini, Hanafi. Aku tidak akan berpindah agama karena aku ingin kau nikahi, Hanafi. Kalaupun kelak aku berpindah keyakinan, itu karena dari diriku, bukan karena dirimu. Kau paham itu, Hanafi?”

“Syukurlah. Aku tidak akan suka kalau kau berpindah keyakinan hanya karena diriku. Terima kasih, Wina.”

Rosanne tersenyum melihat senyuman Hanafi. Sungguh ia sangat bahagia.

“Wina!” panggil Hanafi setelah beberapa saat.

“Hm…”

“Apa arti dari kata yang sering kau ucapkan padaku?”

“Kata apa?”

“Minj lief.”

“Kau benar-benar ingin mengetahui artinya?”

“Tentu saja.”

“Sekarang aku akan memberitahumu. Dulu, aku takut mengatakannya karena khawatir kau akan marah tetapi sekarang aku yakin kau tidak akan marah.”

“Jadi, apakah artinya?”

“Sayangku.”

“Hah?’

“Ya, minj lief, sayangku.”

Wajah Hanafi memerah mendengar arti dari dua kata yang sering Rosanne sematkan setiap kali bicara padanya.

Dua insan yang dilanda badai asmara itu menatap keindahan langit biru yang menaungi mereka. Pada Sang Penguasa langit, mereka gantungkan segala asa.

“Wina, besok aku akan berangkat ke Batavia dan akan tinggal di sana beberapa lama,” ungkap Hanafi.

“Berapa lama?”

“Satu bulan, dua bulan, atau bisa lebih dari itu.”

“Jadi kita tidak akan bertemu selama itu?”

“Ya.”

“Tidak bisakah kau pergi sebentar saja?” harap Rosanne.

Hanafi menggeleng. “Tidak, Wina. Aku akan bertemu dengan para pemuda dari daerah lain di sana. Kami akan membicarakan dan melakukan hal-hal penting demi tanah air kami.”

Hanafi tidak khawatir menceritakan semua cita dan perjuangannya pada Rosanne. Hanafi yakin, Rosanne tidak akan membocorkan semua rencananya kepada pihak musuh.

“Bolehkan aku ikut, Hanafi?”

“Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin aku pergi membawamu. Kalau aku pergi bersamamu, bisa-bisa orang akan mencapku sebagai pengkhianat.”

“Oh,” Rosanne terkejut sekaligus khawatir mendengar perkataan Hanafi.

“Apakah bersama dan mencintaiku membahayakan dirimu?” tanya Rosanne khawatir.

“Tidak,” ucap Hanafi berbohong.

Rosanne mengetahui jika Hanafi berbohong. Ia bersyukur sekaligus bersedih mengetahui kenyataan yang dihadapi mereka. Terkadang Rosanne berpikir mengapa ia harus mencintai Hanafi, mengapa ia tidak mencintai Marco saja? Mencintai Marco akan lebih mudah bagi hidupnya. Tidak ada perbedaan antara dirinya dan Marco, baik kebangsaan, status sosial, maupun keyakinan. Intinya mencintai Marco akan jauh lebih mudah.

Namun cinta tidak bisa memilih. Rosanne tidak bisa memilih kepada siapa akan ia serahkan hatinya. Menurut logika, akan lebih mudah mencintai Marco, tetapi hatinya telah memilih Hanafi. Bersama Hanafi, dia akan memperjuangkan cinta.

********

to be continued...

1
Nurgusnawati Nunung
Hanafi mulai berubah, jd luluh
Nurgusnawati Nunung
Hanafi orang yang tegas..
Nurgusnawati Nunung
hadir...
Anna Kusbandiana
lanjut ya, thor...👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!