Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
Ia hidup menyedihkan dalam kemiskinan bersama sepasang anak kembarnya, padahal ayah dari anak-anaknya adalah orang terkaya di kotanya.
Semua bermula dari suatu malam yang nahas. Bermaksud menolong seorang pria dari sebuah penjebakan, Hanna justru menjadi korban pelampiasan hingga membuahkan benih kehidupan baru dalam rahimnya.
Fitnah dan ancaman dari ibu dan kakak tirinya membuat Hanna memutuskan untuk pergi tanpa mengungkap keadaan dirinya yang tengah berbadan dua dan menyembunyikan fakta tentang anak kembarnya.
"Kenapa kau sembunyikan mereka dariku selama ini?" ~ Evan
"Kau tidak akan menginginkan seorang anak dari wanita murahan sepertiku, karena itulah aku menyembunyikan mereka." ~ Hanna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6
Setelah melewati malam penuh dosa tujuh tahun silam, Evan tak kunjung mengetahui gadis mana yang telah menghabiskan malam dengannya. Pencarian tak menemukan titik terang, bagaikan sebuah misteri yang tak terpecahkan. Bahkan seorang resepsionis hotel yang bertugas malam itu menghilang secara misterius, sehingga tak ada satu pun petunjuk tentang siapa gadis itu.
Selama tujuh tahun belakangan ini, Evan bagai terkubur rasa bersalah. Karena itulah, ia memutuskan meninggalkan keluarga besar Azkara dan menjalani hidup seorang diri sebagai hukuman.
Evan pun memilih melanjutkan program pendidikan dokter spesialis di Jerman dan berniat mengabdikan hidupnya di dunia kesehatan.
"Ada apa? Akhir-akhir ini kau jadi sangat aneh dan suka melamun."
Lamunan Evan seketika membuyar mendengar setiap kata yang terucap dari mulut makhluk menyebalkan yang duduk di sebelahnya. Ia hanya menoleh sekilas, menatap dengan kesal kemudian memalingkan pandangannya kembali keluar jendela. Dari sana ia melihat pemandangan kota Istanbul. Beberapa menit lagi pesawat akan mendarat. Evan tidak ingin suasana hatinya memburuk, karena ia memiliki satu kebiasaan aneh sejak dulu, yaitu mual saat pesawat akan mendarat.
"Tidak apa-apa, aku hanya sedang memikirkan sesuatu."
"Hanna Cabrera?"
Evan seketika menatap kesal. Nama itu adalah sebuah nama yang sangat ingin ia lupakan sejak dulu, tetapi entah mengapa setiap kali berusaha menghilangkan dari ingatan, semakin bayangannya menghantui.
"Jangan sok tahu. Kau tahu kan, aku sering mual saat pesawat mau mendarat," jawab Evan memijat pelipisnya.
"Oh, aku pikir kau sedang memikirkan dia."
Evan memutar bola mata dengan malas. "Kapan kau akan berhenti menyebut nama gadis itu?" gerutunya.
"Kau yang ingin aku terus menyebutnya."
Meskipun tahu sahabatnya cukup kesal, namun Rafli tak berhenti sampai di situ. Menggoda Evan yang memiliki karakter introvert adalah sesuatu yang cukup menyenangkan. Terlebih, jika berhubungan dengan masa lalu. Karena perasaan terdalamnya hanya akan timbul saat dipancing dan Rafli selalu berhasil melakukannya. Meskipun begitu, Evan selalu membantah.
"Kapan aku memintamu menyebut nama Hanna Cabrera?"
"Haha ... Kau sadar tidak ... Kau bilang tidak menyukainya, kau membenci dan memusuhinya. Tapi kau tidak bisa melupakannya sampai sekarang. Bukankah itu sangat aneh?"
Evan hanya berdecak kesal. Entah bagaimana cara menyumbat mulut sahabat laknat di sebelahnya itu agar berhenti menyebut nama Hanna Cabrera.
"Hentikan!"
"Kau tahu, dia menghilang beberapa tahun lalu dan tidak ada yang tahu keberadaannya sampai sekarang. Cleo bilang, Hanna si pembuat masalah itu pergi setelah diusir ayah dan ibunya. Mereka sudah tidak tahan dengan kelakuan Hanna yang bekerja sebagai wanita bayaran dan membuat mereka malu. Selain itu, dia juga menjadi penyebab ayahnya sakit dan bangkrut."
"Aku tidak peduli dengannya," ujarnya datar. "Terakhir kali aku melihatnya di stasiun bus tujuh tahun lalu. Dia pergi dengan tergesa-gesa seperti dikejar sesuatu. Hari itu dia hanya menggunakan blouse berwarna abu dengan celana jeans padahal cuaca sangat dingin."
Senyum di wajah Rafli semakin mengembang. "Van ... Kau masih ingat kapan terakhir kali melihatnya, bahkan kau ingat dia memakai baju apa dan memikirkan dia kedinginan atau tidak. Dan kau masih bilang tidak peduli tentangnya?"
Evan seketika membungkam setelah merasa terjebak ucapannya sendiri. Ia lalu memilih memejamkan mata. Lampu pesawat pun sudah dipadamkan karena akan segera mendarat.
_
_
"Kira-kira, sekarang dia tinggal di mana?" tanya Rafli seraya menyeret sebuah koper.
"Diamlah! Aku jadi mual mendengar ocehanmu."
Mereka berjalan dengan menoleh ke kanan dan kiri, mencari seorang sopir yang sejak tadi menunggu kedatangan mereka.
Sambil tersenyum, Rafli mengangkat tangan saat menemukan laki-laki bertubuh besar berdiri di antara beberapa puluh orang. Namun, senyum di wajahnya seketika memudar saat melihat sosok wanita di sisi pria itu.
"Kau yang meminta Cleo ikut menjemput kita?"tanya Rafli bernada sarkas.
"Tidak. Aku tidak memberitahunya kalau kita akan kembali."
"Oh ... Dia tidak menyerah ya, terus mengejarmu walaupun kau sudah menolak." Rafli menatap Cleo yang sedang melambaikan tangan ke arah mereka. "Apa dia tidak sadar, kalau dulu kau dekat dengannya hanya karena menyukai adiknya. Sampai mabuk malam itu hanya karena cemburu buta melihat Hanna didekati laki-laki lain."
"Hentikan ocehanmu! Dulu aku memang menyukai Hanna karena aku pikir dia gadis baik-baik."
Dan setelah mengenal Cleo pandanganmu terhadap Hanna berubah. Dan sayangnya kau sangat keras kepala. batin Rafli.
****
kalo zian dah hbs tu ayael