Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17
Malam itu, Dylan baru saja tiba di rumahnya yang megah setelah seharian penuh aktivitas, termasuk kunjungannya ke apartemen Rose. Ia berharap bisa menikmati ketenangan malam di ruang kerjanya atau mungkin beristirahat. Namun, begitu ia masuk ke ruang tamu, suara khas Ny. Eleanor, ibunya, langsung menyapanya.
“Dylan! Kau baru pulang?” tanya wanita elegan itu dengan senyum lebar, meski matanya jelas menyimpan niat lain.
Dylan menghela napas dalam hati. Ia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini akan menuju. “Ya, Ibu. Ada apa?”
Ny. Eleanor segera berdiri dari sofanya, menghampiri putranya dengan langkah ringan. “Ada apa? Tentu saja ada sesuatu yang ingin Ibu bicarakan. Duduklah dulu,” katanya sambil menunjuk kursi di sebelahnya.
Dengan enggan, Dylan menuruti permintaan ibunya. Begitu ia duduk, Ny. Eleanor langsung meluncurkan serangkaian pertanyaan tanpa basa-basi.
“Bagaimana keadaan Rose? Ibu dengar dia tidak masuk kerja hari ini. Kau pasti sudah menjenguknya, kan?”
Dylan menatap ibunya dengan alis terangkat. “Dari mana Ibu tahu semua itu?”
Ny. Eleanor tersenyum kecil, menyilangkan tangan di dadanya. “Oh, Ibu punya sumber. Lagipula, tidak sulit menebak. Anak itu pasti kelelahan, dan kau... yah, kau terlalu perhatian pada seseorang untuk ukuran seorang bos.”
Dylan mengerutkan kening, merasa percakapan ini akan semakin sulit. “Rose hanya karyawan magang, Bu. Aku hanya memastikan dia tidak mengabaikan kesehatannya.”
“Tidak usah pura-pura dengan Ibu, Dylan,” potong Ny. Eleanor, nadanya mulai menggoda. “Kau jelas peduli padanya lebih dari sekadar bos kepada bawahannya. Kau bahkan membawakan makanan untuknya, bukan?”
Dylan menoleh ke arah lain, menghindari tatapan tajam ibunya. “Itu hanya tindakan profesional.”
Namun, Ny. Eleanor tidak terpengaruh. Ia tersenyum lebar dan mendekatkan wajahnya ke Dylan. “Dylan Wang, Ibu sudah melihat cukup banyak hubungan untuk tahu apa yang sedang terjadi di sini. Jadi, kapan kau berencana melamarnya?”
Pertanyaan itu membuat Dylan terdiam sejenak. Ia menatap ibunya dengan ekspresi dingin, mencoba menyembunyikan kebingungannya. “Ibu, aku bahkan belum yakin apa yang dirasakan Rose. Lagipula, memaksakan hal seperti itu hanya akan membuat segalanya menjadi rumit.”
Ny. Eleanor mendesah panjang, tapi wajahnya tetap tenang. “Kau terlalu memikirkan risiko, Nak. Kadang-kadang, kau hanya perlu mengikuti hatimu. Jika kau menunggu terlalu lama, seseorang mungkin akan merebutnya darimu.”
“Dia baru magang di perusahaanku,” jawab Dylan tegas. “Hubungan semacam itu bisa menjadi terlalu rumit. Aku tidak ingin Rose merasa tertekan atau dipaksa. Kalau memang ada sesuatu di antara kami, aku ingin itu terjadi secara alami.”
Ny. Eleanor terdiam sejenak, menatap putranya dengan mata yang penuh pengertian. “Ibu mengerti, Dylan. Tapi dengarkan ini: hidup itu tidak selalu tentang menunggu waktu yang tepat. Terkadang, kau harus menciptakan waktu itu sendiri.”
Dylan menghela napas dalam. “Aku tahu, Bu. Tapi untuk sekarang, aku ingin fokus memastikan Rose baik-baik saja. Itu saja.”
Ny. Eleanor tersenyum tipis, lalu meraih tangan putranya. “Baiklah, Ibu tidak akan memaksa. Tapi jangan terlalu lama, Nak. Rose adalah gadis yang istimewa. Ibu bisa melihatnya, dan Ibu yakin kau juga bisa.”
Dylan hanya mengangguk pelan. Setelah percakapan itu, ia kembali ke ruang kerjanya, mencoba memfokuskan diri pada laporan-laporan yang menumpuk di mejanya. Namun, pikirannya terus kembali ke Rose—wajah lelahnya, senyum kecilnya, dan bagaimana ia terlihat begitu terkejut ketika Dylan membawakannya makanan tadi siang.
Dalam hati, Dylan tahu bahwa apa yang dikatakan ibunya ada benarnya. Tapi ia juga tahu, Rose adalah seseorang yang memiliki prinsip dan harga diri. Jika ia melangkah terlalu cepat atau terlalu mendominasi, ia takut akan merusak segalanya. Untuk sekarang, ia hanya bisa berharap waktu akan memberikan mereka jawaban yang jelas.
***
Rose duduk di sofa apartemennya sambil memeluk bantal kecil. Tubuhnya masih terasa lelah meskipun ia sudah tidur hampir sepanjang hari. Saat sedang menikmati segelas teh hangat, ponselnya berdering. Ia melihat nama yang muncul di layar: Nyonya Park.
Rose tertegun sesaat sebelum akhirnya menjawab. “Halo, Ibu.”
“Roseane, bagaimana kabarmu, Sayang? Ibu dengar kau sedang magang di Wang Corp sekarang. Apa kau baik-baik saja di sana?” Suara lembut ibunya terdengar hangat, seperti selalu.
Rose tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja, Bu. Perusahaan ini memang menantang, tapi aku belajar banyak.”
“Bagus kalau begitu,” jawab Nyonya Park. “Ibu khawatir kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Kau harus ingat untuk menjaga kesehatanmu juga.”
Rose menghela napas pelan. “Iya, Bu. Hari ini aku izin karena merasa kurang enak badan. Tapi jangan khawatir, aku sudah lebih baik sekarang.”
Di ujung telepon, Nyonya Park terdengar berpikir sejenak sebelum melanjutkan. “Rose, Ibu ingin bertanya sesuatu. Kalau kau merasa betah di Wang Corp, apa kau berencana untuk menetap di sana lebih lama? Bagaimana dengan karirmu di Korea Selatan? Kau pernah bilang ingin kembali ke sana, kan?”
Pertanyaan itu membuat Rose terdiam. Sejujurnya, ia belum memikirkan rencana jangka panjangnya. Pekerjaan di Wang Corp memang sangat menantang, bahkan kadang terasa terlalu berat, tetapi ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ia menyukai proses belajarnya. Di sisi lain, Korea Selatan adalah rumahnya, tempat di mana ia selalu merasa nyaman.
“Jujur saja, Bu, aku belum memutuskan,” kata Rose akhirnya. “Magang di Wang Corp membuka banyak peluang, tapi aku juga tidak ingin terlalu jauh dari rumah untuk waktu yang lama.”
Nyonya Park tertawa kecil. “Itu memang tidak mudah, Sayang. Tapi kau harus memikirkan masa depanmu. Jika kau merasa tempat ini bisa memberikan apa yang kau cari, mungkin ini saatnya kau mempertimbangkan untuk menetap lebih lama.”
“Ibu, apa menurutmu aku bisa benar-benar berkembang di sini?” tanya Rose ragu.
“Tentu saja, Rose. Kau selalu memiliki potensi besar, dan Ibu tahu kau bisa menghadapi tantangan apa pun,” jawab Nyonya Park dengan yakin. “Tapi ingat, keputusan akhirnya ada di tanganmu. Jangan merasa tertekan untuk memilih apa yang tidak sesuai dengan hatimu.”
Rose merasa sedikit lega mendengar kata-kata ibunya. Percakapan itu mengingatkannya bahwa apa pun yang ia pilih, ia harus melakukannya untuk dirinya sendiri, bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain.
“Terima kasih, Bu. Aku akan memikirkannya baik-baik,” katanya.
Setelah berbicara beberapa saat lagi, mereka mengakhiri telepon. Rose meletakkan ponselnya di meja dan menatap langit malam dari jendela apartemennya. Di tengah pikirannya yang berputar tentang karier, Wang Corp, dan masa depannya, bayangan Dylan tiba-tiba muncul.
“Apa aku benar-benar bisa bertahan di sini?” gumamnya pelan. Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu—atau mungkin seseorang—yang membuatnya ingin mencoba lebih lama lagi.
Bersambung
Apa Rose yang membuat mu betah di Wang Corp?