Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 11
"Aku berangkat dulu. Kamu jangan pergi ke mana pun." Abram mencium kening Stevani penuh kasih sayang saat dirinya hendak berangkat ke kantor, Stevani pun membalas dengan memeluk pinggang Abram sangat erat. Ia sama sekali tidak merasa bersalah meskipun sudah menyadari keberadaan Gisela di belakangnya. Tidak peduli meskipun Gisela sejak tadi menatap ke arah mereka.
Seharusnya Abram mencium kening istrinya, bukan kekasih yang sekarang sudah menjadi selingkuhan. Entah kenapa Abram bisa bersikap sangat keterlaluan seperti itu. Akan tetapi, lagi-lagi Gisela masih bisa tersenyum simpul saat Abram menatapnya hingga membuat lelaki itu kembali merasakan gelayar aneh.
Dengan sedikit tergesa karena khawatir Abram akan pergi, Gisela mendekati suaminya dan mencium punggung tangan lelaki itu dengan sangat hormat. Awalnya, Abram hendak menolak karena khawatir Stevani akan marah, tetapi tangan Gisela sudah terlebih dahulu merengkuhnya hingga ia tidak bisa menolak sama sekali. Gisela pun tak lupa mengucapkan hati-hati kepada suaminya. Abram hanya mengangguk lalu bergegas pergi, sedangkan Stevani menatap sinis ke arah Gisela.
"Buatkan aku jus mangga jangan diberi gula sedikit pun. Jangan terlalu kental juga," perintah Stevani ketika mobil Abram sudah menghilang dari pandangan. Gisela dengan bodohnya mengiyakan permintaan wanita itu. Bersikap seolah ia adalah pembantu di sana. Sama sekali tidak menolak.
Stevani menggeleng ketika melihat kepergian Gisela. Apakah wanita itu sangat bodoh. Padahal, Stevani sadar kalau yang lebih berhak di rumah itu adalah Gisela. Namun, rasa cinta kepada Abram dan juga perhatian lelaki itu membuat Stevani berambisius akan tetap memiliki Abram meskipun ada istri di samping lelaki itu. Ia tidak akan membiarkan Abram menjadi milik siapa pun selain dirinya.
Sepatu hak tinggi Stevani terdengar mengetuk lantai saat wanita tersebut berjalan menyusul Gisela yang sudah berada di dapur. Ia melihat Gisela yang sedang sibuk mengupas mangga.
"Katakan apa alasan yang membuatmu memaksa Abram untuk menikahimu? Padahal dia sudah menjadi kekasihku bertahun-tahun." Stevani bersedekap dan sedikit membusungkan dada, terlihat angkuh ketika di depan Gisela.
"Maaf. Aku sama sekali tidak tahu kalau Mas Abram sudah memiliki kekasih. Anggap saja, dengan kamu tinggal di sini adalah bentuk permintaan maafku." Gisela tersenyum sembari sibuk mengiris buah mangga tersebut.
Sementara Stevani justru berpikiran kalau Gisela sudah gila karena saking bodohnya. Secara nalar, wanita mana yang sudi tinggal satu rumah dengan kekasih suaminya. Apalagi, Gisela yang mau melayani dirinya seperti tuan putri, dan wanita itu adalah babu. Sungguh, tidak bisa dinalar menurut Stevani.
"Kamu tidak cemburu saat aku sedang bercinta dengan suamimu?" tanya Stevani lagi. Menatap Gisela penuh selidik.
"Tidak."
"Kamu yakin tidak iri padaku?" Stevani makin bingung. Apalagi saat melihat Gisela yang terus terlihat tenang.
"Tidak. Untuk apa aku iri padamu. Seandainya ada wanita baik-baik yang mampu merebut hati Mas Abram, itulah yang akan membuatku sangat cemburu karena aku belum bisa jadi istri yang baik untuknya," sarkas Gisela tanpa memudarkan senyumannya.
"Jadi, kamu mengatakan kalau aku ini bukan wanita baik-baik?" Stevani mulai naik darah karena tersinggung. Ucapan Gisela seperti sebuah sindiran untuknya.
"Aku tidak berbicara seperti itu. Kamu sendiri yang mengambil kesimpulannya. Yang aku tahu, wanita baik-baik tidak akan pernah mau bercinta dengan suami orang lain," ucap Gisela. Memindahkan jus mangga yang sudah jadi ke dalam gelas.
"Yang bukan wanita baik-baik itu kamu, bukan aku! Kamu yang sudah merebut Abram dariku. Jadi, bukan salahku kalau aku merebut apa yang seharusnya menjadi milikku!" bentak Stevani. Wajahnya sudah memerah karena amarah. Namun, Gisela tetap terlihat tenang. Bahkan, bibirnya masih menunjukkan senyuman yang mampu membuat amarah Stevani makin naik.
Ketika suasana sedang memanas, bel di rumah tersebut berbunyi. Gisela dengan langkah cepat hendak membuka pintu, khawatir suaminya yang pulang karena ketinggalan sesuatu. Namun, ketika pintu utama tersebut terbuka lebar, Gisela terkejut saat melihat siapa yang sedang berdiri di sana. Wajah Gisela tampak sangat gugup, termasuk Stevani yang sudah berdiri di belakang wanita itu.
"Mama," panggil Gisela. Wajahnya memucat karena takut.
Vera yang melihat putrinya pun segera memeluknya erat. Meluapkan segala rasa rindu. Namun, Vera tertegun saat melihat Stevani yang sedang berdiri di belakang Gisela. Dengan cepat, ia melepaskan pelukan putrinya.
"Dia siapa?" tanya Vera menatap Stevani curiga. Gisela pun menoleh ke belakang dan menghela napas panjang saat melihat Stevani yang tampak gugup.
"Dia teman kuliahku dulu, Ma. Dia sedang mencari pekerjaan, jadi sementara menumpang di sini." Gisela menarik tangan Stevani dengan lembut. Menyuruh wanita itu agar berdiri sejajar dengannya, sedangkan Stevani hanya menurut, tetapi dalam hati merasa gelisah sendiri.
"Teman kuliah?" Vera masih menaruh curiga. Kening wanita itu sampai mengerut dalam saat mengamati Stevani. Merasa asing dan tidak sepenuhnya percaya pada ucapan Gisela.
"Iya, kita tidak terlalu dekat, jadi Mama belum tahu. Daripada kita di luar seperti ini lebih baik sekarang Mama masuk saja." Gisela tetap menggenggam tangan Stevani erat dan bersikap seolah mereka memang teman dekat, sedangkan satu tangan Gisela menarik Vera agar masuk.
"Aku buatkan minum dulu, Ma." Gisela hendak pergi ke dapur, tetapi Vera segera menahan putrinya.
"Memangnya di sini tidak ada pelayan?" Vera kembali bertanya penuh kecurigaan. Ia merasa ada beberapa kejanggalan.
"Belum ada, Ma. Orang yang biasa menjadi pelayan Mas Abram, sedang pulang kampung. Mungkin Minggu depan baru kembali," terang Gisela. Dalam hati wanita itu terus saja mengucapkan kata maaf karena telah berbohong.
"Kalau begitu, kita ke dapur sama-sama saja." Vera pun mengajak putrinya untuk segera ke dapur. Namun, Gisela justru tampak gugup hingga membuat Stevani yang sejak tadi diam pun merasa heran.
"Gisel, apa kamu yang akan minum jus mangga ini? Bukankah kamu alergi dengan buah mangga dan segala olahan yang berbau buah ini," kata Vera. Tatapannya begitu menuntut hingga membuat Gisela menunduk takut.
Tangannya merem*s ujung baju yang dikenakan. Untuk saat ini ia tidak tahu lagi harus menjawab bagaimana. Ia benar-benar tidak bisa berbohong lagi.
"Gisel, kenapa kamu tidak menjawab?" Vera mulai meninggikan suaranya. Ia yakin kalau putrinya sedang berbohong saat ini.
"Itu punya saya, Tante." Stevani angkat bicara. Vera pun membulatkan bibir lalu mengambil air putih. Gisela mengembuskan napas lega, sedangkan Stevani pun melakukan hal yang sama.
Setelah cukup lama di dapur, Vera pun segera kembali ke ruang tamu.
"Terima kasih sudah menolongku tadi," ucap Gisela. Tersenyum manis sebelum akhirnya menyusul Vera.
"Dia benar-benar wanita bodoh. Pantas saja Abram tidak mau dengannya dan lebih memilih aku." Stevani berbicara angkuh sembari tersenyum sinis.