Di dunia di mana para dewa pernah berjalan di antara manusia, sebuah pedang yang terlupakan bangun, melepaskan kekuatan yang dapat mengubah dunia. Seorang pemuda, yang ditakdirkan untuk kehebatan, menemukan sebuah rahasia yang akan mengubah nasibnya, tetapi dia harus memilih pihak, pilihan yang akan menentukan nasib dunia. Cinta dan kesetiaan akan diuji ketika dia menjelajahi dunia sihir, petualangan, dan roman, menghadapi ancaman yang dapat menghancurkan jaringan eksistensi. Warisan Para Dewa menunggu... Apakah kamu akan menjawab seruannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pramsia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27: Bisikan Bayangan
Bau darah dan logam terbakar menusuk hidung, bau yang bikin mual dan bikin jantung berdebar kencang. Jian, Kai, dan Mei, napas mereka tersengal-sengal, berdiri di tengah reruntuhan pertempuran yang baru saja mereka hadapi. Bangunan-bangunan kristal yang dulu megah kini hancur berkeping-keping, bukti keganasan serangan makhluk-makhluk bayangan. Debu kristal halus menggores kulit mereka saat mereka berlari melalui gang sempit, dinginnya kristal menyentuh tangan mereka, mengingatkan mereka akan bahaya yang mengintai di balik keindahan Aurora. Suara langkah kaki mereka bergema di antara reruntuhan, bercampur dengan desisan angin yang dingin dan menusuk tulang.
"Mereka tahu di mana kita berada," desis Kai, matanya memindai puing-puing dengan campuran rasa takut dan amarah. "Mereka tahu tentang artefak itu." Masa lalu yang mengerikan itu kembali menghantuinya, menjerumuskannya ke dalam jurang ketakutan yang dalam, membuat Kai merasa bagaikan boneka kayu yang ditakdirkan untuk menari mengikuti irama hantu masa lalunya. "Kita harus menemukannya sebelum mereka berhasil," gumamnya, suaranya dipenuhi dengan keputusasaan. "Aku tidak bisa melupakan apa yang telah kulakukan," lanjutnya, suaranya bergetar. "Aku takut mereka akan datang untuk membalasku."
"Kai, tenang," bisik Jian, tangannya mencengkeram bahu Kai, berusaha menenangkannya. "Kita harus fokus sekarang. Kita bisa mengalahkan mereka."
"Mudah untuk mengatakannya," balas Kai, suaranya bergetar. "Aku tidak bisa melupakan apa yang telah kulakukan. Aku takut mereka akan datang untuk membalasku."
Mei, tangannya menggenggam bola cahaya yang berdenyut dengan cahaya samar dan ethereal, mengangguk muram. "Mereka mengejar kita, bukan hanya artefaknya. Mereka ingin menghentikan kita dengan cara apa pun." Ketakutan akan kekuatan yang tidak diketahui dari sosok misterius itu merayap ke dalam dirinya, tetapi Mei berusaha mengendalikannya dengan tekad yang kuat. "Kita harus tetap bersama," ucapnya, suaranya berbisik dengan keyakinan yang tersembunyi.
"Kita tidak punya pilihan," kata Mei, suaranya tenang namun tegas. "Kita harus menghadapi mereka."
Jian, tatapannya tertuju pada peta kuno yang diterangi oleh cahaya lembut bola itu, merasakan hawa dingin merayap di tulang punggungnya. Peta itu, jaringan jalan berkelok-kelok dan simbol-simbol misterius, menunjuk ke tiga lokasi: tempat suci tersembunyi dari Batu Cahaya, Pedang Kegelapan, dan Gelang Kehidupan. Artefak yang mereka cari, kunci untuk menyegel Gerbang Kegelapan.
"Kita harus menemukannya," kata Jian, suaranya tegas meskipun tangannya gemetar. "Sebelum terlambat." Jian berusaha menahan rasa takutnya terhadap ancaman yang lebih besar dari Gerbang Kegelapan, tetapi bayangan ketakutan itu tetap menghantuinya. "Kekuatan itu lebih besar dari kita!" teriak Kai, suaranya dipenuhi kecemasan.
Mereka berlari menuju sebuah pintu tersembunyi di balik air mancur yang berkilauan, airnya kini berwarna merah kehitaman. Bau kuno yang menyeramkan seperti bau makam tua memenuhi udara, suara desiran lembap yang menyerupai bisikan memenuhi telinga mereka. Jian mendorong pintu itu dengan susah payah, mencium bau tanah basah dan sesuatu yang kuno dan menyeramkan.
Di balik pintu itu, mereka menemukan sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan artefak kuno yang tertutup debu tebal. Di tengah ruangan, terletak sebuah meja batu besar dengan peta kuno yang terukir di atasnya, bercahaya dengan cahaya lembut, menunjukkan jalan yang berliku dan rumit. Di sudut ruangan, sebuah buku tua dengan sampul kulit tampak seperti berbisik rahasia, halaman-halamannya tampak rapuh dan kuning.
"Ini dia," bisik Jian, matanya terpaku pada peta, suaranya bergetar karena kelelahan dan ketegangan. "Petunjuk menuju tiga artefak: Batu Cahaya, Pedang Kegelapan, dan Gelang Kehidupan. Kita harus menemukannya sebelum Gerbang Kegelapan sepenuhnya terbuka."
"Tapi siapa mereka?" tanya Kai, masih terengah-engah, suaranya dipenuhi dengan kekhawatiran dan kemarahan. "Apakah mereka tahu tentang artefak ini? Aku tidak suka ini..."
Mei, dengan intuisinya yang tajam, menunjuk ke arah buku tua itu, suaranya tenang namun tegas. "Mungkin buku ini bisa memberikan jawabannya. Kita harus bertindak cepat."
Saat mereka mulai mempelajari peta dan buku kuno, suara langkah kaki terdengar dari pintu masuk lorong. Bukan langkah kaki makhluk bayangan, tetapi langkah kaki yang lebih berat, lebih kuat, dan lebih teratur. Sebuah bayangan gelap muncul di pintu masuk, mengunci mereka di dalam ruangan rahasia. Bau anyir darah yang kuat tiba-tiba memenuhi ruangan.
"Kalian tidak akan berhasil," suara serak dan dingin terdengar, suara yang penuh dengan kebencian dan kekuatan. "Gerbang Kegelapan akan terbuka, dan kegelapan akan menguasai semuanya."
"Siapa kau?" tanya Jian, pedangnya sudah terhunus, suaranya bergetar karena amarah dan ketegangan.
Sosok itu tertawa, suaranya penuh dengan kekejaman, suara yang menggema di ruangan rahasia itu. Cahaya mata merah yang menyeramkan menembus kegelapan, suara langkah kakinya mengalun dengan irama yang mengancam. "Aku adalah bagian dari kegelapan... dan aku akan memastikan bahwa rencanamu gagal. Kalian tidak akan menghentikan apa yang sudah dimulai."
"Kita harus bersiap untuk pertempuran terakhir," ujar Jian, suaranya berkumandang dengan keyakinan yang teguh.
Pertempuran baru saja dimulai.
( Lanjut Chapter 28 )