> "Rei Jaavu, apakah anda siap meninggalkan dunia ini dan pergi menuju negeri impian anda sekarang?"
"Jepang? Beneran aku bisa ke Jepang?"
> "Jepang? Ya, Jepang. Tentu saja."
Kata-kata itu muncul di layar laptop Rei, seperti tawaran menggiurkan yang nggak mungkin ia tolak. Sebuah sistem bernama "AniGate" menjanjikan hal yang selama ini cuma ada di dalam imajinasinya. Jepang klasik, negeri isekai, atau bahkan jadi tokoh kecil di dalam novel klasik yang selalu ia baca? Semua seperti mungkin. Ditambah lagi, ini adalah jalan agar Rei bisa mewujudkan impiannya selama ini: pergi kuliah ke Jepang.
Tapi begitu masuk, Rei segera sadar... ini bukan petualangan santai biasa. Bukan game, bukan sekadar sistem main-main. Di tiap dunia, dia bukan sekadar 'pengunjung'. Bahaya, musuh, bahkan rahasia tersembunyi menghadangnya di tiap sudut. Lebih dari itu, sistem AniGate seolah punya cara tersendiri untuk memaksa Rei menemukan "versi dirinya yang lain".
"Sistem ini... mempermainkan diriku!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RE-jaavu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Silent Word: Bagian 9
Bagian 9: Saat Bayangan Menelan Cahaya
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Meski musim semi seharusnya membawa kehangatan, aku tidak bisa menghilangkan rasa gelisah yang terus menghantui sejak aku menerima pesan ancaman dari Kagami tadi malam.
Aku berjalan ke sekolah dengan langkah berat, mencoba mengatur napas untuk menenangkan diriku. Namun, setibanya di gerbang, firasat buruk itu langsung berubah menjadi kenyataan.
Sebuah lingkaran kecil siswa berkumpul di halaman depan, suara tawa dan bisik-bisik mereka terdengar hingga ke tempatku berdiri. Aku memaksa langkahku lebih cepat, melewati kerumunan itu untuk melihat apa yang terjadi.
Di sana, aku melihatnya.
Aiko berdiri di tengah kerumunan, wajahnya pucat dan matanya menatap kosong ke lantai. Di kakinya, buku catatan kecil kami tergeletak, halaman-halamannya robek dan berserakan seperti serpihan salju.
Kagami berdiri di depannya, seringainya lebih lebar dari sebelumnya. Tangannya memegang sisa buku catatan itu, lalu dengan santai menjatuhkannya ke tanah.
“Aku hanya ingin tahu,” katanya, nadanya terdengar sinis. “Apa isi buku ini yang membuatmu begitu menyukainya?”
Aku tidak berpikir lagi. Aku langsung melangkah maju, mendorong kerumunan siswa yang hanya berdiri diam tanpa melakukan apa pun.
“Kagami!” suaraku menggema, lebih keras dari yang kuduga.
Dia menoleh dengan ekspresi terkejut, tapi seringai itu kembali muncul dalam hitungan detik. “Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu. Pahlawan kesiangan sudah datang.”
Aku berdiri di antara Kagami dan Aiko, tanganku mengepal erat di sisi tubuhku. “Kau sudah keterlaluan!”
Kagami mendengus, melipat tangannya di dada. “Oh, jadi sekarang kau mau jadi pahlawan untuknya? Kau tahu, aku hanya mencoba memberinya pelajaran. Dunia ini tidak akan bersikap baik pada orang seperti dia.”
Aku merasakan amarah membara di dadaku. “Dunia ini tidak butuh orang seperti kau yang hanya tahu cara menyakiti orang lain!”
Kerumunan mulai berbisik lebih keras, beberapa siswa bahkan terdengar terkikik. Tapi aku tidak peduli. Untuk pertama kalinya, aku tidak peduli bagaimana orang lain melihatku.
Kagami melangkah mendekat, wajahnya sekarang serius. “Kau pikir kau bisa menghentikanku, Kenta?”
“Aku akan berusaha” jawabku, meskipun aku tahu itu mungkin jawaban yang terdengar bodoh.
...****************...
Namun, sebelum aku bisa melakukan apa pun, sebuah tangan kecil menyentuh lenganku. Aku menoleh, dan melihat Aiko menatapku dengan mata berkaca-kaca. Dia menggeleng pelan, lalu menulis sesuatu di halaman terakhir buku catatan kami yang tersisa.
> Jangan lakukan ini. Kau akan terluka.
Aku membaca tulisan itu, merasa dadaku semakin berat. “Aku tidak peduli,” bisikku lembut.
Dia menatapku lama, lalu menulis sesuatu lagi.
> Aku sudah cukup terluka. Aku tidak ingin melihat orang lain terluka karena aku.
Kata-kata itu menusukku lebih dalam daripada ancaman apa pun dari Kagami. Tapi aku tahu, jika aku mundur sekarang, semuanya akan sia-sia.
“Aiko…” Aku mencoba mengatakan sesuatu, tapi suara tawa Kagami memotongku.
“Lihat ini,” katanya sambil menatap kerumunan. “Pahlawan kesiangan kita bahkan tidak bisa memutuskan apa yang harus dia lakukan!”
Dia tertawa lagi, diikuti oleh teman-temannya yang sekarang berdiri di dekatnya.
Aku menutup mata, mencoba mengumpulkan keberanian. Namun, sebelum aku bisa melangkah maju, suara keras lainnya memecah keheningan.
...****************...
“Cukup!”
Semua orang menoleh ke arah suara itu, termasuk aku. Di depan kerumunan, berdiri seorang guru senior dengan tatapan tajam yang langsung membuat Kagami dan teman-temannya membeku.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanyanya, suaranya tegas namun penuh wibawa. “Bubar sekarang, atau saya akan membawa semuanya ke ruang kepala sekolah!”
Kerumunan siswa langsung tercerai-berai, meninggalkan aku, Aiko, Kagami, dan beberapa sisanya yang terlalu terkejut untuk bergerak. Kagami menatap guru itu, seringainya menghilang.
“Kami hanya bercanda,” katanya pelan, tapi tidak ada yang percaya padanya.
Guru itu melangkah mendekat, mengambil buku catatan yang robek dari tanah. Dia memandang kami semua dengan tatapan kecewa.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” katanya. “Kagami, ikuti saya ke ruang kepala sekolah. Sekarang.”
Kagami tampak ingin membantah, tapi akhirnya dia hanya mendengus pelan dan berjalan pergi dengan wajah yang sulit dibaca.
Aku menghela napas panjang, merasa sedikit lega, meskipun ketegangan masih menggantung di udara. Aku menoleh ke Aiko, yang masih berdiri diam di tempatnya.
“Shizuru-san…” Aku menyentuh bahunya dengan lembut. “Kau baik-baik saja?”
Dia menatapku, matanya berkaca-kaca, lalu mengangguk pelan.
...****************...
Di atap sekolah, sore itu.
Kami duduk diam, menikmati angin musim semi yang membawa aroma bunga sakura. Aku merasa terlalu lelah untuk mengatakan apa pun, tapi aku tahu aku harus berbicara.
“Aiko…” Aku menoleh ke arahnya. “Aku minta maaf karena tidak bisa menghentikan mereka lebih cepat.”
Dia menatapku lama, lalu mengambil buku catatan yang robek dari tasnya. Dia sampai repot-repot meminta kembali buku catatan rusak itu kepada guru tadi, walau tahu itu tak lagi bisa digunakan. Meski halaman-halamannya hampir habis, dia masih menuliskan sesuatu.
> Kau sudah melakukan lebih dari cukup. Terima kasih.
Aku membaca kata-kata itu, merasa dadaku menghangat untuk pertama kalinya hari itu. Aku tersenyum kecil, lalu menuliskan sesuatu di halaman yang sama.
> Aku janji, aku akan selalu ada di sini untukmu.
Dia membaca tulisanku, lalu tersenyum lembut.
Di balik senyuman itu, aku bisa melihat bahwa meskipun dia telah melalui banyak hal, Aiko jauh lebih kuat dari yang terlihat.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa langkah kecilku akhirnya membawa perubahan nyata.
aku mampir ya 😁