Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Levin yang Menyebalkan
Dizza kemudian melangkah menuju ke belakang counter dan mengeluarkan sesuatu dari balik sana. Lalu meletakan sisi potongan kue utama. “Ini baru punyamu,” kata Dizza yang langsung disambut dengan cebikan masam dari Levin.
“Giliran sisa-sisa saja kau beri padaku, giliran barang bagus kau berikan pada Edzhar. Kadang-kadang aku berpikir kalau kau ini pilih kasih,” gerutu pemuda itu. Namun meski terkesan mengeluh dia tetap mencomot satu bagian kue tersebut dan memasukannya ke dalam mulut sebelum rona wajahnya kemudian berubah. “Wah, ini enak.”
“Enak kan? aku membuatnya dengan sepenuh hati sejak pagi, sampai aku memutuskan untuk bolos kuliah,” sahut Dizza dengan ekspresi wajah penuh kebanggan sementara Levin terus saja melahap potongan-potongan kue yang di sajikan oleh Dizza tanpa henti.
“Kau membuat kue ini untuk dia kan? jadi ini yang kau pahami setelah kemarin kita tidak membeli apa-apa untuk kadonya?” ujar Levin setelah kue diatas meja tinggal tersisa remahannya saja.
Dizza hanya mengerucutkan bibir. “Nah, itu kau tahu,” sahut Dizza. “Kalau sudah tahu kau tidak usah banyak bertanya. Lebih baik kau bantu aku mengemasnya. Kita rayakan ulang tahun Edzhar diam-diam.”
Namun Levin bergeming. Matanya menatap kue buatan Dizza dengan pandangan tidak terbaca.
“Levin?” Dizza melangkah menghampiri. Levin mengangkat kepalanya untuk menatap Dizza, mengarahkan pandangan matanya tepat ke mata Dizza pula. “Kau selalu all out ya, kalau mengenai Edzhar.”
Alis Dizza terangkat bingung. “Memangnya kenapa? Apa yang salah?”
“Yang kau lakukan ini berlebihan tahu,” ujar Levin seraya menunjuk kue yang Dizza buat. “Kau seharusnya tidak perlu mengerahkan seluruh effort hanya untuk membuat kue.”
“Apa yang salah dari menyiapkan kue ulang tahun untuk sahabat kita sendiri?” sahut Dizza tidak senang.
“Lalu kau bilang apa tadi? Menyiapkan pesta kecil dan menunggunya pulang dengan lilin yang menyala?” timpal Levin lagi yang entah kenapa jadi emosional.
Dizza mengedikan bahu. “Kalau kau tidak mau merayakannya bersama kami ya sudah kau tidak usah ikut berkontribusi.”
“Bukan itu maksudku, Dizza.” Levin meletakan tangannya di kedua bahu Dizza.
“Lalu apa? kenapa kau tiba-tiba emosi begitu sih? Kemarin kau juga begitu saat aku minta menemani membeli hadiah. Kau ini sebenarnya kenapa?” sahut Dizza lagi makin tidak mengerti gerak-gerik Levin. Beberapa saat yang lalu dia terlihat baik-baik saja. Tapi setelah dia melihat kue ulang tahun buatannya Levin mendadak bersikap menyebalkan.
“Dizza...” Levin tercekat, dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Dia melepaskan tangan Levin yang berada di bahunya lalu memilih mengusap mukanya sendiri dan menghela napas berat. Setelah Levin memikirkannya dia memang bersikap tidak rasional. Kenapa dia mendadak bersikap kekanakan dan marah-marah hanya karena sebuah kue ulang tahun saja?
Levin juga sudah tahu kalau Dizza menyimpan rasa kepada Edzhar, jadi wajar saja kalau gadis itu melakukan semua hal yang dia bisa untuk memperlihatkan rasa sayangnya walau hingga kini Dizza belum menyadari perasaan yang dia miliki kepada Edzhar. Hanya saja kalau begini terus bukankah cepat atau lambat dia akan menyadarinya? Baik itu Dizza maupun Edzhar pasti juga merasakan ada banyak perbedaan yang mencolok dari cara mereka berinteraksi. Dan bila sudah sampai dititik itu, Levin entah bagaimana merasa belum siap.
Ya, dia belum siap kehilangan Dizza. Kehilangan kesempatan untuk memilikinya lebih dari sahabat. Meski sepertinya keinginannya untuk mewujudkan status diantara mereka terlalu sulit untuk jadi nyata. Karena toh, Dizza tidak pernah melihatnya seperti saat dia melihat kepada Edzhar.
Sungguh, apakah sekarang Levin sudah sangat jahat karena menghalangi mereka untuk mengubah status?
“Maaf …,” ujar Levin setelah jeda panjang diantara mereka berdua. Untuk saat ini dia bahkan tidak tahu harus mengatakan apa dan bersikap bagaimana.
Dengan perlahan, Dizza juga melakukan hal serupa. Dia menghela napas dalam-dalam sebelum menyentuh tangan pria itu dengan menepuknya halus. “Sudahlah, sudah. Kurasa kau sedang mengalami hari yang buruk. Jadi tanpa sadar kau melampiaskannya padaku. Tidak apa-apa. Aku memaafkanmu,” kata Dizza dengan penuh pengertian.
Tetapi sejujurnya jauh lebih rumit dari itu. Andai saja ini memang hanya karena sekadar ‘bad day’ Levin tidak akan perlu se-frustasi ini. Dia tidak akan merasakan was-was ditinggalkan Dizza. Ya, dia memang pria egois yang merasa ingin memiliki tapi tidak sanggup menerima penolakan dari Dizza dan menghancurkan persahabatan mereka yang sudah lama terjalin sejak lama.
Bahu Levin merosot turun. Pria itu ingin membantu Dizza, dia suka saat melihat gadis itu tersenyum dan antusias dalam melakukan semua hal yang dia kerjakan apalagi saat dia melakukannya dengan sepenuh hati. Karena itu meski itu mungkin akan menyakiti hatinya sendiri, Levin harus kembali mengorbankan perasaan pribadinya demi melihat senyuman berkembang di wajah sang terkasih. “Apa kau perlu bantuan?”
“Kapan Edzhar pulang kuliah?” tanya Dizza menatap Levin dengan kedua mata bulatnya. Dia terlihat sangat menggemaskan di mata Levin.
Untuk mendistraksi, Levin sempat mengalihkan pandangannya sebelum memberikan jawaban. “Entahlah aku tidak yakin. Aku kan ada disini bersamamu, jadi aku tidak bisa melaporkan apa-apa padamu.”
“Kalau begitu telpon dia saja,” sahut Dizza yang langsung dibalas dengan keluhan dari Levin.
“Kenapa bukan kau saja yang melakukannya?”
“Kau bodoh ya? aku kan akan memberinya kejutan ini. Masa aku juga yang harus meneleponnya.”
Meski pria itu sebenarnya ingin bersikeras tapi apa dayanya. Dia sudah terlalu lama mengenal Dizza dan sangat tahu bagaimana isi kepala gadis itu berkejar. Dia paling tahu kalau Dizza sudah memiliki ide, maka itu harus di eksekusi secepatnya. Sebab gadis itu selalu kukuh dengan apa yang dia percayai dan katakan. Dengan satu hela napas, Levin bergerak meski jauh dilubuk hati dia malas luar biasa.
“Oke, oke, as you wish princess,” sahut Levin malas dan kemudian mulai merogoh saku celananya untuk menghubungi lelaki itu. Hanya saja jauh dilubuk hati Levin berharap Edzhar tidak mengangkat teleponnya. Ya, dia berharap begitu.
Terdengar bunyi sambungan telepon yang meminta respon. Baik Levin maupun Dizza sama-sama menantikan jawaban dari sebrang sana. Sampai kemudian tidak lama, terdengar ‘halo’ yang langsung membuat keduanya terkejut. Dizza langsung menyuruh Levin untuk menjawab panggilan tersebut.
“Yo, pria yang sedang berulang tahun. What’s up man?” sahut Levin. Dan dari balik telepon Levin bisa menyadari bahwa pria itu tampak tidak terlalu bersemangat diikuti dengan desahan napas panjang. Apakah sebenarnya dia menantikan telepon dari Dizza?
“Eh? Apa-apaan desahan napasmu itu? tidak suka aku meneleponmu? Aku mengganggumu?” Begitu kata itu keluar dari mulutnya, detik itu juga pukulan melayang dari Dizza ke arah punggungnya. Lengkap dengan ekspresi tidak suka dan kata-kata tanpa suara.
Sejujurnya lucu juga menggoda Dizza melalui Edzhar, jadi diam-diam Levin malah punya ide jahil dikepala. Pembicaraannya dengan Edzhar berlangsung panjang lebar dan saat Levin membahas soal perempuan, dia bisa mendapati wajah Dizza yang cemberut. Merasa tidak enak dengan itu, Levin memutuskan untuk mengakhiri. “Kado dariku menyusul bersamaku nanti malam ya, kita rayakan pesta kecil-kecilan ditempatmu.” Lalu setelah dia mendengar kata terima kasih dari Edzhar lelaki itu menutup telepon darinya.
“Sudah kan?”
“Ya.”
“Hei, kenapa mukamu masam begitu? Apa saat aku menelepon kau membasahi dirimu dengan cuka?”
“Berisik! Sudahlah sana pulang saja.”
“Hei, kau marah?”
“Pulang, Levin,” tegas Dizza, bahkan sampai mendorong lelaki itu keluar dari dapurnya.
“Kau yakin? Katanya kau mau pergi ke tempatnya Edzhar?”
“Aku bisa melakukannya sendiri. Sudah, pulang saja.” Dizza mendorong tubuh pria jangkung itu sampai depan pintu. “Jangan lupa tutup pintunya dengan benar,” kata gadis itu lagi sambil kembali memutar badannya menuju ke dapur. Melihat gelagat Dizza yang seperti itu tidak ada yang bisa Levin lakukan selain menurut dan pergi.
Sepeninggal Levin, untuk sesaat Dizza terdiam. Matanya menatap kue di meja, lalu menghela napas. “Apa pula dia membawa topik menyebalkan begitu. Aku kan cuma menyuruhnya untuk menanyakan kapan dia pulang. Malah si bodoh itu lupa menanyakan hal pokoknya.”
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱