Menikah dengan lelaki yang dia cintai dan juga mencintainya adalah impian seorang Zea Shaqueena.
Namun impian tinggalah impian, lelaki yang dia impikan memutuskan untuk menikahi perempuan lain.
Pergi, menghilang, meninggalkan semua kenangan adalah jalan yang dia ambil
Waktu berlalu begitu cepat, ingatan dari masa lalu masih terus memenuhi pikirannya.
Akankah takdir membawanya pada kebahagiaan lain ataukah justru kembali dengan masa lalu ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Destiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan siang berdua
"Halo?"
"ZEA!" Zea menjauhkan ponsel dari telinganya saat mendengar pekikan shanum.
"Ze kamu bener-bener mau nikah sama dia? kamu yakin Ze?" Tanya shanum beruntun.
"Iya Shan."
"Kenapa mereka bisa tau?" Kali ini suara Shanum terdengar melembut.
"Dia udah tau sejak awal."
"Ko bisa?"
"Dia menyelidiki semuanya sejak pihak rumah sakit ngasih tau dia kalau sampelnya hilang." Sahut Zea pelan.
"Terus, mama papa kamu tau dari mana?" Shanum kembali bertanya. Karena memang dia belum tau ceritanya, Zea belum menceritakan detailnya, hanya bilang bahwa ia akan menikah.
"Mama nemuin surat keterangan dari dokter waktu itu, aku lupa membawanya saat kita balik ke london."
"Perasaan kamu sama dia gimana sekarang? apa kamu masih.. mencintainya?" Tanya Shanum.
Zea terdiam, ia sendiri bingung dengan perasaannya. Ia kecewa pada Varro, namun di sudut hatinya ia merasakan kebahagian yang entah bagaimana.
"Baiklah aku mengerti. Mungkin ini jalan yang tuhan takdirkan untuk kamu. Anak kalian yang membawa kalian kembali bersama." Shanum menghela nafas, menjeda ucapannya.
"Ya sudah aku tutup telponnya. Bye Ze."
Zea meletakan ponselnya setelah panggilan terputus. Ia mencerna ucapan Shanum. Zea membenarkan, mungkin ini takdirnya bersama Varro.
.
.
.
Zea bangun pagi-pagi sekali, entah ada angin apa pagi ini. biasanya, semenjak hamil ia menjadi sangat pemalas untuk bangun pagi.
Pagi ini Zea tiba-tiba menginginkan salad buah untuk sarapannya, ia ingin membuatnya sendiri.
Lisa yang sedang berada di dapur saat ada yang menepuk bahunya. "Ya ampun, ZEA" Pekik Lisa menatap putrinya.
Zea hanya tersenyum lebar melihat respon mamanya.
"Jangan ngagetin gitu. Kalo mama punya penyakit jantung gimana? Mau kamu kehilangan mama?" Lisa terus mengomeli Zea.
"Ya nggak lah. Lagian mama kan sehat gak sakit." Sahut Zea enteng.
"Andai Zea andai."
"Kan masih andai, belum kejadian." Gumam Zea pelan, namun Lisa masih bisa mendengarnya.
"HEH MULUTNYA."
Zea yang melihat mamanya sudah melotot menatapnya segera memeluk mamanya erat. "Becanda mama, sorry."
Lisa memutar bola matanya malas, lalu melepaskan pelukan Zea dari tubuhnya. "Mau ngapain kamu pagi-pagi udah di dapur?" Tanya Lisa menyelidik.
"Aku lagi pengen salad buah pagi ini, aku mau buat sendiri." Ucapnya, seraya membuka kulkas memilih buah-buahan yang ia inginkan serta mengambil bahan-bahan lain yang di perlukan.
Ibu dan anak itu mulai mengerjakan bagiannya masing-masing.
Sementara itu, tepat pukul 7 pagi Varro sudah berangkat ke kantornya. Ia benar-benar mengejar waktu.
"Apa saja jadwalku hari ini?" Tanya Varro pada Jimmy, setelah ia sampai di ruangannya.
"Ada dua pertemuan dengan klien. Jam 8:30 meeting dengan perusahaan SJ Corp. Jam 1 siang meeting dengan Sentosa Group. Dua duanya meeting di luar kantor."
"Majukan meeting dengan Sentosa Group. Siang nanti aku ada Keperluan lain." Pinta Varro.
"Baiklah."
Setelah Jimmy keluar, Varro membuka ponselnya. Mengirim pesan pada Zea. Kemudian mulai memeriksa beberapa berkas yang sudah ada di mejanya. Masih ada waktu sebelum meeting nanti.
.
.
Zea sudah bersiap di kamarnya, ia menunggu Varro datang menjemput setelah sebelumnya mendapat pesan dari pria itu yang memberi tahu kalau dia akan menjemputnya jam 12 siang.
Zea kembali memastikan penampilannya, ia tidak mau sampai berpenampilan buruk di hadapan pria itu.
tok
tok
tok
Zea membuka pintu kamarnya.
"Non itu dibawah sudah ada yang jemput." Ucap salah seorang maid memberi tahu.
"Iya, makasi bi."
"Iya non, kalau gitu bibi permisi."
Zea kembali masuk ke dalam kamarnya mengambil tas yang sudah ia siapkan serta ponselnya. Kemudian keluar dan turun ke bawah menemui Varro.
Varro yang menyadari kedatangan Zea, segera menghampiri gadis itu. "Sudah siap?" Tanya Varro. Zea mengangguk.
"Ya sudah yuk." Varro menarik tangan Zea membawa ke dalam genggamannya. Zea hanya menurut, mengikuti langkah Varro menuju mobil pria itu.
"Kamu mau makan siang dimana?" Tanya Varro, saat sudah melajukan mobilnya keluar dari komplek perumahan kediaman Zea.
"Terserah, aku ngikut."
"Nanti cari resto di mall saja kalau gitu, biar sekalian nyari cincin." Varro melirik Zea yang mengangguk.
Varro membuang nafas pelan melihat Zea yang masih bersikap seperlunya padanya. Ia akan sabar menghadapinya.
"STOP!" Varro kaget mendengar pekikan Zea, namun untungnya ia tidak refleks menginjak rem. Varro menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Kenapa Ze?" Tanya Varro, ia khawatir Zea kenapa-kenapa.
"Eh, e.. i-itu.." Zea gugup di tatap seperti itu oleh Varro. Tadi ia spontan menghentikan Varro saat melihat kedai bakso yang hampir terlewati.
Varro mengerutkan keningnya, "Kenapa? Itu apa?"
Zea menatap Varro ragu-ragu "A-aku mau makan disana." Ucap Zea cepat, menunjukan kedai bakso yang terlihat ramai pembeli.
Varro mengikuti arah yang ditunjuk Zea. "Aku parkir dulu." Varro kembali menjalankan mobilnya masuk ke area parkir di depan kedai.
Varro turun terlebih dulu, memutari mobil lalu membuka pintu untuk Zea "Yuk turun."
Varro menggandeng Zea masuk ke dalam kedai "Kamu mau pesan apa?"
Zea membaca menu yang tersedia disana. "Aku mau ini, tapi ... "
"Apa?"
"Dua porsi ya" Ucap Zea lirih.
Varro terkekeh melihat Zea yang malu-malu saat memintanya.
"Mas saya pesan yang ini 3 porsi, sama es jeruknya dua."
"Baik mas, silahkan di tunggu."
"Yuk" Varro mengajak Zea menuju meja kosong yang letaknya paling ujung karena hanya sisa disana. Semua meja sudah penuh.
Selang 10 menit kemudian pesanan mereka datang. Senyum terukir di wajah Zea saat pesanannya sudah ada dihadapannya.
Zea mulai mengambil saos sambal dan kecap lalu menuangkan ke mangkuk miliknya.
"Jangan pake cabe." Varro menghentikan Zea yang akan menuangkan sambal yang terlihat sangat merah.
Zea menautkan alisnya menatap Varro kesal "Gak enak kalo gak pake ini."
"Nanti kamu sakit perut Ze." Ucap Varro lembut.
"Gak akan." Bantah Zea.
Varro menghela nafasnya, "Ya sudah sedikit saja. Jangan banyak-banyak, kasian dia nanti kepanasan di dalam sana." Dengan lembut Varro memberi tahu.
Zea merenggut kesal, namun tetap menuruti perintah Varro. Ia hanya menuangkannya sedikit.
Varro tersenyum melihatnya. Ia senang Zea mau mendengarkan apa yang dia larang. "Makanlah."
Varro makan sambil memperhatikan Zea yang makan dengan lahap. Dua porsi habis Zea makan. Varro mengerti, mungkin karena faktor kehamilan juga jadi penyebab meningkatnya porsi makan Zea.
"Setelah ini kemana? ada yang mau di beli lagi?"
Zea menggeleng "Gak ada. Langsung nyari cincin aja. Tapi tunggu dulu, perut aku penuh banget" Keluh Zea.
Varro terkekeh melihat Zea menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Varro merasa Zea sudah mulai bisa membuka diri lagi padanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...