Gendhis... Gadis manis yang tinggal di perkampungan puncak Sumbing itu terjerat cinta karena tradisi perjodohan dini. Perjodohan itu disepakati oleh keluarga mereka saat usianya delapan bulan dalam kandungan ibunya.
Gadis yang terlahir dari keluarga sederhana itu, dijodohkan dengan Lintang, anak dari keluarga kaya yang tersohor karena kedermawanannya
Saat usia mereka menginjak dewasa, muncullah benih cinta di antara keduanya. Namun sayang, ketika benih itu sudah mulai mekar ternyata Lintang yang sejak kecil bermimpi dan berhasil menjadi seorang TNI itu menghianati cintanya. Gendhis harus merelakan Lintang menikahi wanita lain yang ternyata sudah mengandung buah cintanya dengan Lintang
Seperti apakah perjuangan cinta Gendhis dalam menemukan cinta sejatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N. Mudhayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berita Penghianatan Gendhis jadi Trending Topik di Kampung
Pagi itu seusai sarapan di ruang tengah Pak Argo menghampiri anaknya.
"Lintang... Bapak perhatikan, sudah tiga hari ini kamu cuma di rumah aja. Besok kan sudah masuk sekolah. Mumpung masih liburan, ajak Gendhis jalan ke mana... gitu." Basa basi Pak Argo.
Lintang hanya memandangi televisi dan memindah-mindah channel sesuka hatinya.
"Nggak ah, Pak... masih males. Enakan di rumah, apalagi sekarang musim hujan." Lintang mencari alasan
Pak Argo yang sedang berdiri asyik mengamati perkutut kesayangannya itu menggeleng-gelengkan kepala. Ia heran dengan tingkah anaknya beberapa hari ini yang terlihat lebih pendiam dari biasanya.
Belum usai rasa heran Pak Argo, tiba-tiba Bu Parti muncul dari pintu masuk rumah mereka. Dia terlihat tergesa-gesa.
"Ibu sudah pulang? Bukannya tadi bilang mau ikut pengajian di rumah Pak RT?" Pak Argo bertanya pada istrinya.
"Nggak jadi! Jawab Bu Parti sewot sambil duduk di kursi bersama dengan Lintang dan Pak Argo.
" Loh... kenapa, Bu? Apa pengajiannya batal?" Pak Argo penasaran.
"Nggak batal, Pak... cuma Ibu jadi hilang selera..." Jawab Bu Parti.
"Kenapa Bu? Emangnya ngaji harus pakai selera?" Pak Argo bercanda.
"Bukan gitu, Pak..." Kata Bu Parti.
"Lalu?" Tanya Pak Argo.
"Bapak tanya saja sama anak bujang kesayangan Bapak ini?" Bu Parti menunjuk ke arah Lintang yang sedang duduk melihat siaran berita di tv.
"Lintang kata Ibu? Apa hubungannya ngaji sama Lintang, Bu?" Pak Argo masih tak mengerti.
"Ya jelas ada lah... gara-gara ibu-ibu pengajian sibuk ngomongin Lintang, Ibu jadi hilang selera." Kata Bu Parti.
Lintang hanya terdiam, seolah mengerti maksud perkataan ibunya.
"Memangnya, apa yang sudah Lintang perbuat, Bu? Ibu kalau mau cerita mbok ya jangan setengah-setengah, bikin Bapak bingung aja..." Kata Pak Argo.
"Anak kesayangan Bapak ini..., sudah mencoreng nama baik keluarga kita, dengan berkelahi di Silancur saat Gendhis kemah kemarin." Bu Parti ahirnya menjelaskan.
Pak Argo terkejut lantas duduk di kusi berhadapan dengan Lintang.
"Berkelahi? Apa betul itu Lintang?" Pak Argo mulai naik darah.
Lintang akhirnya buka sut.
"Emang, yaaa... ibu-ibu sukanya bergosip. Mereka pasti ngomong semaunya tanpa tahu kejadian sebenarnya." Jelas Lintang.
Bu Parti makin geram dengar jawaban itu dari putranya.
"Lintang... jaga ucapanmu. Mereka nggak akan bergosip kalau kamu nggak bikin masalah." Kata Bu Parti.
Pak Argo menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berkata,
"Lintang... sekarang jelaskan sama Bapak, apa yang terjadi sebenarnya?" Tegas Pak Argo.
Lintang masih saja belum mau bicara.
"Lintang... kalau Bapak lagi tanya itu dijawab!" Bu Parti makin emosi.
Lintang pun akhirnya angkat bicara,
"Bapak sama Ibu tanya saja sama calon menantu kesayangan Bapak Ibu itu... Lagian percuma juga Lintang jelasin, pasti ujung-ujungnya Lintang juga yang disalahin. Lintang bosen di rumah... Lintang mau cari angin dulu, permisi Pak, Bu..."
Lintang bergegas mengambil kunci motornya lalu keluar meninggalkan orang tuanya dengan setumpuk pertanyaan yang belum terjawab.
Pak Argo dan Bu Parti hanya mengelus dada melihat tingkah ananaknya.
"Benar-benar ini anak yaaa... nyusahin orang tua. Gimana ini Pak?" Tanya Bu Parti.
"Gini aja... Ibu coba cari tau masalah ini sama Gendhis. Dia pasti mau ngomong." Saran Pak Argo.
"Iya juga ya, Pak. Tapi kemarin waktu ketemu Ibu Gendhis nggak ngomong apa-apa Pak..." Bu Parti ingat waktu pulang kemah kemarin.
"Ya mungkin Gendhis masih sungkan mau cerita. Coba aja Ibu yang tanya duluan..." Tambah Pak Argo.
"Iya lah Pak..., besok Ibu tanya Gendhis. Sekarang ibu mau kembalikan selera Ibu dulu." Kata Bu Parti sambil bangun dari tempat duduknya.
"Emang Ibu mau ngapain?" Tanya Pak Argo.
"Ibu laper Pak, mau makan dulu. Tadi dari ladang mandi, sholat terus berangkat, belum sempat makan siang." Jawab Bu Parti sambil masuk menuju ruang tengah.
"Ya elaaa Bu... Bu..., bilang aja tadi Ibu nggak jadi ikut ngaji karena mau makan di rumah. Gitu aja kok pskai alasan Lintang segala." Pak Argo bicara pada perkututnya.
*****
Berita tentang perkelahian Lintang dengan Riko rupanya sudah menyebar tak terelakkan. Tak terkecuali Bu Sari yang seketika memendam kemarahan pada putrinya sepulang dari pengajian di tempat Pak RT.
Bu Sari berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumahnya. Setelah ia masuk rumah, didapatinya Gendhis tengah menyetrika seragam sekolah karena esok liburan telah usai.
"Gendhis... Matiin dulu seterikanya, Ibu mau bicara!" Kata Bu Sari.
Gendhis mematikan seterikanya lantas duduk di ruang tengah bersama Pak Ratno dan Bu sari.
"Iya, Bu... ada apa?" Tanya Gendhis.
Bu Sari mulai bicara serius,
"Bilang sama Bapak sama Ibu sekarang, kenapa Nak Lintang bisa sampai berkelahi di puncak?"
Gendhis masih terdiam, dia sudah mengira kalau cepat atau lambat, berita ini pasti akan menyebar.
Pak Ratno terkejut lalu bertanya,
"Apa, Bu? Nak Lintang berkelahi? Sama siapa?"
"Gendhis? Jawab, Bapak... dengan siapa Lintang berkelahi?" Bu Sari mengulang.
"Dengan... Mas Riko?" Jawab Gendhis lirih.
"Siapa itu Riko?" Pak Ratno kembali bertanya.
Wajah Gendhis tertunduk.
"Dia... Ketua OSIS di sekolah Gendhis, Bapak..."
"Oh... berarti apa yang dikatakan ibu-ibu di pengajian tadi itu benar, bahwa Gendhis... sudah menghianati tunangannya lalu Lintang marah dan mereka berdua berkelahi, apa itu betul?" Tanya Bu Sari penuh bara api.
"Astaghfirullah... itu sama sekali nggak betul, Ibu..." Bantah Gendhis.
"Kalau tidak betul lalu apa? Kenapa Lintang sampai memukul lelaki yang tidak bersalah?" Bu Sari meragukan jawaban Gendhis.
"Itu semua hanya salah faham, Ibu." Tambah Gendhis.
"Salah faham bagaimana? Jelas-jelas ada warga yang melihat kamu sedang bersama laki-laki itu. Ibu benar-benar nggak habis fikir, kenapa sampai bisa seperti itu?" Kata Bu Sari.
"Masya Allah... itu fitnah, Ibu. Kejadian sebenarnya bukan begitu..." Gendhis berusaha memberikan pengertian pada Ibunya.
Pak Ratno yang sedari tadi mengamati percakapan dua wanita kesayangannya itu akhirnya angkat bicara,
"Ibu... dengarkan dulu Gendhis ngomong. Lagian, Ibu kenapa lebih percaya omongan orang, dari pada sama anak sendiri." Pak Ratno mencoba menenangkan, tetapi justru semakin membuat Bu Sari tersulut emosi,
"Oh... jadi Bapak belain Gendhis yang sudah jelas jadi alasan kenapa Lintang sampai berkelahi?" Tanya Bu Sari.
Yaaa... selalu begitu, di mana ada perselisihan antara Lintang dengan Gendhis, Bu Sari selalu membela Lintang, sedang Bu Parti selalu membela Gendhis, bahkan sejak kecil hingga sekarang mereka dewasa.
"Bukannya belain, Bu... tapi kita kan belum denger penjelasan Gendhis. Apa salahnya kita kasih kesempatan bicara dulu..." Kata Pak Ratno.
"Gendhis mau ngomong apa lagi, semuanya sudah jelas. Biar dia yang menjelaskan sendiri di depan Pak Argo dan Bu Parti." Kata Bu Sari.
Gendhis merasa sangat sedih, saat apa yang dituduhkan orang padanya tentang perkelahian Lintang, Bu Sari justru lebih mempercayai perkataan warga desa. Dijelaskan pun sepertinya percuma untuk waktu sekarang, Bu Sari takkan percaya padanya. Namun ia bersyukur, setidaknya ada Pak Ratno ayahnya, yang selalu percaya pada putrinya.
"Gendhis... kamu itu gadis yang sudah bertunangan, tak semestinya kamu ngasih kesempatan sama laki-laki lain, lihat apa yang terjadi sekarang? Bagaimana kita mau menjelaskan semua ini sama Pak Argo dan keluarganya?" Kali ini nada bicara Bu Sari sudah lebih rendah.
Ayah dan anak itu hanya terdiam.
"Sudahlah... Ibu capek. Sudah sore, Ibu mau siap-siap ke masjid sholat maghrib. Ayo, Pak..." Bu Sari berjalan menuju kamarnya dan seolah meminta suaminya meninggalkan Gendhis. Namun Pak Ratno belum jua beranjak dari tempat duduknya. Ia faham betul apa yang sedang putrinya rasakan saat ini.
"Bapak... gimana ini?" Gendhis mengeluh.
"Nak, biarkan Ibu mu tenang dulu, dia baru saja dengan kabar tak enak dari orang lain, wajar dia marah. Tapi Bapak yakin, besok kalau fikirannya dah tenang, marahnya pasti hilang, kita bicara baik-baik. Ibu mu pasti mengerti." Pak Ratno mencoba membesarkan hati Gendhis.
"Sebentar lagi magrib. Mau ikut Bapak ke masjid?" Pak Ratno mengalihkan pembicaraan.
"Iya... Pak..." Gendhis menjawab.
"Ya sudah, sekarang kita ke masjid sambil nunggu ibumu siap-siap." Kata Pak Ratno.
Gendhis pun bersiap lantas mengambil mukena dan sajadah merahnya lalu pergi menuju masjid bersama orang tuanya.
*****
Waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB. Sudah cukup larut namun Gendhis belum juga dapat memejamkan matanya. Dia masih duduk termangu memandang jendela kamar yang masih terbuka. Berharap Lintang melihatnya dari depan rumahnya lalu mendengarkan penjelasan dari Gendhis. Tapi rasanya tak mungkin... harapannya seolah sirna ketika melihat dari kejauhan lampu kamar Lintang telah mati. Segera ia menutup rapat jendela kamarnya.
Gendhis masih memegang ponselnya, sambil sesekali ia membuka percakapan di whatsapp, namun tak ada satupun pesan yang masuk dari Lintang. Padahal dilihatnya baru beberapa menit yang lalu Lintang terakhir buka whatsapp.
Sudah tiga hari ini semenjak kejadian pagi itu di Silancur, Lintang tak pernah menghubunginya. Bahkan sudah berapa banyak pesan yang ia kirim namun tak ada satupun yang dibalas. Semua panggilan dimatikan. Gendhis benar-benar tak tahu apa yang harus ia perbuat untuk meyakinkan kekasihnya itu.
Gendhis masih terus berusaha menghubungi Lintang sampai malam itu ia kirim pesan terakhir sebelum tidur,
"Mas Lintang... aku tahu Mas Lintang pasti marah banget sama aku. Tapi tolong... sekali saja dengarkan aku. Aku akan buktikan kalau apa yang Mas Lintang sangkakan padaku, dan apa yang orang fikirkan tentang ku waktu adalah salah... sampai kapanpun aku tunggu maaf mu untuk ku... Selamat malam, selamat istirahat. Jangan lupa, besok pagi kita sudah masuk sekolah, Mas Lintang cepat lah tidur..."
Gendhis masih memegang ponselnya berharap Lintang membalas satu, dua patah kata, itu cukup melegakan hatinya. Tapi... ia hanya mendapati centrang dua pesannya berwarna biru. Itu tandanya Lintang sudah membaca pesan darinya.
Gendhis terus menunggu dan menunggu, hingga membuat matanya lelah, tubuhnya letih memikirkan semua yang terjadi. Akhirnya, ia pun terjaga di atas ranjang sembari memegang ponsel di tangan kirinya.
*****
Gandis juga baru lulus SMA kok bisa langsung jadi guru?