Di dunia yang dikendalikan oleh faksi-faksi politik korup, seorang mantan prajurit elit yang dipenjara karena pengkhianatan berusaha balas dendam terhadap kekaisaran yang telah menghancurkan hidupnya. Bersama dengan para pemberontak yang tersembunyi di bawah tanah kota, ia harus mengungkap konspirasi besar yang melibatkan para bangsawan dan militer. Keadilan tidak lagi menjadi hak istimewa para penguasa, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan dengan darah dan api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairatin Khair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Ares mendorong pintu kayu besar di ujung koridor, membuka jalan ke dalam aula utama istana. Cahaya obor berkedip-kedip di sepanjang dinding batu yang tinggi, memberikan kilauan suram pada ruangan luas yang tampak lebih menyerupai medan pertempuran daripada ruang pengadilan yang megah. Lantai marmer yang biasanya bersih kini berdebu dan retak, seolah kekuatan besar telah menghancurkan kemegahan masa lalunya. Di ujung aula itu, berdiri seorang pria dengan jubah hitam pekat, yang tampaknya menyatu dengan bayangan di sekitarnya.
Ragnar Velheim menunggu mereka.
Sosoknya terlihat lebih kurus dan lebih tinggi daripada yang diingat Ares, tetapi auranya penuh dengan kekuatan gelap yang membuat udara di sekitarnya terasa berat. Mata Ragnar bersinar dengan kebencian yang membara, tetapi juga dengan keyakinan yang tidak tergoyahkan bahwa dia akan menang.
"Kau datang jauh untuk ini, Ares," Ragnar berbicara dengan suara yang dingin dan menusuk. "Tapi ini bukan pertempuran yang bisa kau menangkan."
Ares maju dengan hati-hati, pedangnya terhunus, dan pasukan kecil pemberontaknya menyebar di sekelilingnya, siap untuk pertempuran. "Aku tidak datang untuk bicara, Ragnar," jawab Ares tegas. "Aku datang untuk mengakhiri tiranimu."
Ragnar tertawa pelan, suara rendahnya bergema di aula yang kosong. "Tiran? Kau masih tidak mengerti, bukan? Ini bukan tentang kekuasaan atau takhta. Ini tentang kelangsungan hidup. Kekaisaran ini akan runtuh tanpaku. Valyria sudah hancur, Ares. Kau hanya mencoba menyelamatkan puing-puing yang tersisa."
Ares maju lebih dekat, matanya tidak lepas dari Ragnar. "Valyria jatuh karena orang sepertimu. Kau menggunakan sihir gelap untuk memperpanjang kekuasaanmu, dan kau menghancurkan segala yang kau sentuh."
Ragnar mengangkat tangannya, dan dari bayang-bayang di sekitarnya, muncul aura gelap yang berdenyut, seolah-olah ada kehidupan di dalamnya. "Sihir ini adalah satu-satunya hal yang menjaga kekaisaran tetap hidup," katanya tajam. "Kau terlalu buta untuk melihat kenyataan. Kaisar sudah mati, Ares. Hanya aku yang memegang kendali sekarang."
Ares merasa jantungnya berhenti sejenak. Meskipun dia sudah menduga hal ini, mendengar langsung dari mulut Ragnar membuat kenyataan itu jauh lebih berat. Kaisar yang selama ini dianggap menghilang telah mati, dan Ragnar memerintah Valyria menggunakan kekuatan gaib yang kelam.
"Kaisar mati?" salah satu pemberontak di belakang Ares berbisik, suaranya dipenuhi keterkejutan. "Jadi ini semua permainan sihir hitam?"
Ragnar tersenyum tipis. "Ya. Kaisar sudah mati bertahun-tahun yang lalu. Tubuhnya tidak lebih dari boneka yang aku kendalikan dengan kekuatan sihir kuno ini. Dan aku akan terus memerintah kekaisaran, menjaga Valyria tetap hidup, apapun yang harus kulakukan."
Ares merasakan gelombang kemarahan menguasainya. "Kau menghancurkan segalanya! Kau mengorbankan rakyat untuk kepentingan pribadimu."
"Aku melakukan apa yang diperlukan!" bentak Ragnar tiba-tiba, suaranya penuh dengan kemarahan yang mendalam. "Kaisar yang lemah dan bangsawan korup menghancurkan Valyria sebelum aku mengambil alih. Aku menyelamatkan kekaisaran ini dari kehancuran total! Tanpa aku, kita semua akan mati."
Suasana di aula itu semakin tegang. Pasukan pemberontak di belakang Ares menyiapkan senjata mereka, sementara bayangan di sekitar Ragnar mulai bergerak, seperti makhluk hidup yang bersiap untuk menyerang. Ares tahu bahwa pertempuran ini akan menjadi ujian terakhir. Ragnar bukan hanya seorang jenderal yang kuat; dia kini telah menjadi sosok yang jauh lebih berbahaya, diperkuat oleh sihir gelap yang tidak dapat diprediksi.
"Jika kau benar-benar ingin melindungi Valyria, kau tidak akan menghancurkannya dari dalam," kata Ares dingin. "Kau bukan penyelamat. Kau adalah kehancuran itu sendiri."
Ragnar tertawa pahit. "Aku penyelamat yang kalian tidak pantas dapatkan."
Tanpa peringatan, Ragnar mengangkat tangannya, dan bayangan hitam yang melingkupinya melesat ke arah Ares dan pasukannya seperti semburan kegelapan. Ares dengan cepat bereaksi, mengangkat pedangnya untuk menangkis serangan itu. Gelombang energi gelap menghantam pedang logamnya, membuat tangannya bergetar karena kekuatannya yang luar biasa.
Pertempuran pecah dengan cepat. Pasukan pemberontak berhadapan dengan makhluk-makhluk bayangan yang dipanggil oleh Ragnar, sementara Ares mencoba mendekati Ragnar, memotong melalui serangan sihir yang dilemparkan ke arahnya. Aula besar itu kini dipenuhi suara pedang beradu, teriakan, dan ledakan sihir yang memecahkan udara.
Ares berlari ke arah Ragnar, melompat ke udara dan mengayunkan pedangnya. Ragnar mengangkat tangannya dan dengan mudah memblokir serangan itu dengan perisai energi yang muncul di sekelilingnya. "Kau tidak bisa mengalahkanku, Ares," kata Ragnar, senyumnya mengejek. "Aku telah menjadi sesuatu yang jauh melampaui manusia biasa."
Ares menyerang lagi, dengan kecepatan yang lebih besar kali ini, mencoba menembus pertahanan sihir Ragnar. Tapi setiap serangannya diblokir dengan mudah, seolah Ragnar hanya bermain-main dengannya. Ares tahu bahwa jika dia tidak menemukan celah, pertempuran ini akan berakhir dengan kekalahan mereka.
Di tengah kekacauan, salah satu prajurit pemberontak berteriak, "Ares, kita tidak bisa terus seperti ini! Mereka terlalu kuat!"
Ares tahu bahwa mereka tidak bisa melawan makhluk-makhluk bayangan ini dengan kekuatan fisik saja. Ragnar telah mempersiapkan pertahanan yang sempurna, dan mereka terjebak di dalam istana tanpa cara yang jelas untuk keluar.
"Jangan menyerah!" Ares berteriak, mencoba menjaga semangat pasukannya tetap tinggi. "Kita harus menemukan cara untuk menghancurkan sihirnya!"
Saat itu, Ares teringat sesuatu yang Mira katakan—bahwa sihr kuno Ragnar tidak bisa dihancurkan secara langsung, tapi memiliki kelemahan di sumbernya. Jika mereka bisa menemukan benda atau kekuatan yang menjadi pusat sihirnya, mereka mungkin bisa menghentikannya. Namun, tidak ada petunjuk yang jelas tentang di mana kelemahan itu berada.
Ares mengamati sekeliling aula, matanya mencari petunjuk. Di tengah-tengah aula, di belakang Ragnar, ia melihat sebuah altar batu besar yang dipenuhi simbol-simbol kuno yang bersinar dengan cahaya biru redup. Itu pasti pusat kekuatan sihir Ragnar. Altar itu memancarkan aura yang kuat, dan bayangan-bayangan di sekitar Ragnar tampaknya terhubung dengan altar tersebut.
"Itu dia," pikir Ares. "Altar itu yang harus dihancurkan."
Dia menatap Ragnar dengan tegas, tahu bahwa dia harus membuat keputusan yang berisiko. "Kita harus memecahkan altar itu!" serunya kepada para pemberontak. "Itu sumber kekuatan sihirnya!"
Tanpa ragu, Ares menyerang dengan segala kekuatan yang dia miliki, mencoba mengalihkan perhatian Ragnar dari altar. Ragnar, yang tampaknya tidak menyadari bahwa Ares telah mengetahui kelemahannya, melawan dengan serangan sihir yang semakin kuat.
Sementara itu, beberapa pemberontak lain, dengan mengikuti perintah Ares, bergerak ke arah altar, mencoba menghancurkannya. Ragnar, melihat rencana mereka, berteriak marah, "Tidak! Jangan sentuh altar itu!"
Tapi itu sudah terlambat. Dengan ayunan pedang yang kuat, salah satu pemberontak menghantam altar batu dengan kekuatan penuh, dan suara retakan keras memenuhi aula. Cahaya biru dari altar mulai meredup, dan bayangan di sekitar Ragnar mulai kehilangan bentuknya.
Ragnar terhuyung, seolah-olah kekuatannya tiba-tiba lenyap. "Tidak! Ini tidak mungkin!" serunya dengan putus asa.
Ares mengambil kesempatan itu, melompat ke depan dan menghantam Ragnar dengan pedangnya. Kali ini, tanpa perlindungan sihirnya, Ragnar tidak bisa menahan serangan itu. Pedang Ares menembus baju zirahnya, dan Ragnar jatuh berlutut, darah mengalir dari lukanya.
Ragnar menunduk, tangannya mencengkeram luka di dadanya, darah hitam pekat mengalir di antara jari-jarinya. Suara napasnya menjadi berat dan terputus-putus. Mata penuh kebencian dan keputusasaan menatap lurus ke arah Ares.
"Ini... bukan... akhirnya," Ragnar tersedak dalam kata-katanya, suaranya kini penuh dengan keputusasaan dan kemarahan. "Kau pikir ini kemenanganmu? Kau tidak tahu... apa yang telah kau lakukan."
Ares mendekat, meskipun jantungnya berdegup kencang, dia tidak menunjukkan rasa takut. "Ini adalah akhir dari tiranimu, Ragnar. Kau tidak akan pernah bisa menghancurkan Valyria lagi."
Ragnar tertawa pelan, tawa yang lebih terdengar seperti erangan. "Valyria... sudah lama mati, Arvenius. Kau hanya melihat cangkang kosong... yang tersisa. Jika kau menghancurkanku... maka kau akan membiarkan sesuatu yang jauh lebih buruk bangkit."
Ares mengerutkan alisnya. Kata-kata Ragnar terdengar seperti peringatan, tetapi sulit untuk dipercaya. Bagaimana mungkin ada sesuatu yang lebih buruk daripada kekuasaan Ragnar?
"Kau hanya ingin menakuti kami, Ragnar," jawab Ares, nadanya tegas. "Semuanya sudah berakhir."
Ragnar tersenyum pahit, darah menetes dari sudut bibirnya. "Bukan aku... bukan sihirku yang memegang kendali... Seluruh Valyria akan terbakar... tanpa kekuatan ini."
Ares mengacuhkan kata-kata terakhirnya. Dengan satu gerakan cepat, dia mencabut pedangnya dari tubuh Ragnar, membuat pria itu jatuh terjerembab ke lantai. Ragnar terbaring di sana, tubuhnya mulai lemah, dan akhirnya, napas terakhir keluar dari dadanya.
Ragnar Velheim, jenderal besar yang pernah berkuasa, yang menghancurkan hidup Ares, kini mati di lantai aula kekaisaran. Seluruh kekuasaan yang dibangun atas kegelapan itu kini runtuh bersama jasadnya.
Keheningan menyelimuti aula besar itu. Pasukan pemberontak yang bertempur di belakang Ares, kini berdiri dalam kelelahan, menatap sekeliling dengan napas terengah-engah. Bayangan-bayangan yang tadinya melindungi Ragnar kini memudar bersama kematiannya, seolah-olah sihir gelap itu lenyap bersama tuannya.
Ares menatap tubuh Ragnar sejenak, sebelum berbalik menghadap pasukannya. "Ini kemenangan kita," katanya dengan suara pelan, namun tegas. "Tapi perang belum selesai. Kita harus memastikan kekaisaran ini tidak jatuh ke tangan tiran lagi."
Liora, yang terlambat tiba di aula bersama sisa pasukan pemberontak, masuk dengan langkah cepat. Matanya memandang Ragnar yang terbaring tak bernyawa, lalu beralih ke Ares. "Kau berhasil."
Ares mengangguk tanpa senyum. "Ya, tapi Ragnar memperingatkan kita. Dia mengatakan Valyria sudah mati. Ada sesuatu yang lebih gelap di balik kekuasaannya."
Liora mendekat, tatapannya penuh pertimbangan. "Apa pun itu, kita akan mengetahuinya nanti. Untuk saat ini, kita harus merayakan kemenangan kita. Ragnar telah jatuh, dan itu sudah cukup untuk memulai era baru."
Namun, jauh di dalam hati Ares, ada perasaan gelisah yang tidak bisa dia abaikan. Kata-kata Ragnar terngiang di benaknya, peringatan terakhir tentang kekuatan yang lebih besar, sesuatu yang mungkin tidak bisa mereka kendalikan.
Di luar istana, matahari mulai naik di cakrawala, menyinari Valyria yang perlahan bangkit dari kegelapan. Rakyat akan segera tahu bahwa Ragnar telah jatuh, dan mereka akan mencari harapan baru. Namun, Ares tidak bisa menghilangkan firasat bahwa pertempuran ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Saat dia keluar dari aula menuju balkon istana, memandang ke kota di bawah, Ares bertanya-tanya: Apakah ini benar-benar akhir, atau hanya awal dari kehancuran yang lebih besar?
cerita othor keren nih...