Jodoh Masa Kecil
Angin pucuk Sumbing bertiup, menerpa tubuh hingga merasuk ke tulang rusuk. Sinar surya perlahan mengintip dari balik gumpalan awan, serasa belum cukup menghangatkan pori. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Tapi sepertinya sang surya masih malu-malu menampakkan sinarnya pagi ini. Kabut tebal, bukan hal yang aneh di sini. Matahari terbiasa muncul di siang hari. Dedaunan yang masih basah oleh butiran kristal, bahkan jika berbicara, seolah ada kobaran api dari dalam tubuh, sehingga mulut keluar asap putih.
Bagi kami warga Kampung Merangi, Desa Sekar Wangi, Kecamatan Kaliangkrik, kampung tertinggi di pucuk Sumbing, sudah bukan waktu pagi lagi. Karena sejak subuh tadi, seusai melaksanakan ibadah sholat subuh, warga desa sudah bergegas menuju ladang. Bahkan saat masih gelap dan kokok ayam jago masih berkumandang, mereka sudah berada di ladang. Ada yang mencangkul, ada yang sedang memanen hasil bumi, ada yang membersihkan rumput liar pengganggu tanaman, ada yang sedang membasmi hama tanaman, dan ada pula yang hanya mencari setumpuk ranting kering untuk menghidupkan tungku mereka.
Ketika adzan dzuhur berkumandang, mereka bergegas kembali ke rumah, berjamaah di masjid lalu menyantap makan siang. Kemudian tanpa menunggu lama, mereka segera kembali ke ladang hingga senja nanti.
"Selamat pagi Mbak Gendhis..." Sapa seorang ibu lembut kepada Gendhis.
"Ya... Selamat pagi Bu..." Jawab Gendhis sesaat menghentikan langkahnya.
"Libur ya Mbak sekolahnya?" Tanya Bu Rati, tetangga yang rumahnya tidak terlalu jauh dengan Gendhis
"Iya Bu, mumpung hari minggu, bantu-bantu Ibu di ladang." Jawab Gendhis sembari membawa bekal dalam rantang berbahan stenlist dan teko kecil dari alumunium berisi minuman yang akan dia antarkan untuk orang tuanya di ladang.
"Mbak Gendhis ini hebat ya, sudah cantik, baik, sekolah, juga rajin membantu. Pak Ratno dan Bu Sari pasti bangga punya anak seperti mbak Gendhis" Puji Bu Rati jujur dan polos.
Gendhis tertawa kecil seraya berkata, "Bu Rati bisa saja..."
"Oh... Dek Dayu dan dek Lia juga ikut ya Bu Rati?" Gendhis melanjutkan.
Tampak wanita paruh baya itu menggendong putranya yang belum genap berusia dua tahun di punggungnya. Kakaknya yang mungkin baru berusia empat tahun, terlihat berjalan sambil memegang jemari ibunya. Sungguh pemandangan yang sudah biasa terjadi di Kampung Merangi.
"Iya Mbak, mau gimana lagi. Di rumah juga ndak ada yang momong. Bapaknya sudah sejak habis subuh tadi di ladang dengan Bapak dan Simbok." Jawab Bu Rati sambil berjalan.
Gendhis tersenyum lembut sambil menyentuh pipi Dayu yang lembut namun dingin, seolah menyapa dengan senyum manisnya. Anak kecil itu tertawa lepas menyambut senyuman Gendhis.
"Ndak papa Dek Dayu ya, ikut mamak di ladang, biar sehat." Ucap Gendhis menghibur.
Usia Bu Rati hanya terpaut dua tahun lebih tua dari Gendhis. Tapi seperti itulah kehidupan di Kampung Merangi, saat seharusnya Bu Rati mengenyam pendidikan di bangku SMA, seolah tak bisa melawan takdir, ia harus menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya sejak lima tahun lalu.
Gendhis merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan oleh orang tuanya, juga keluarga calon suami masa kecilnya untuk memberinya izin bersekolah sampai sekarang dia baru masuk di kelas X SMAN 1 Bandongan yang berbeda kecamatan dengan tempat tinggal Gendhis.
Keduanya berjalan bersama meniti jalan setapak menuju ladang mereka. Ladang tampak rapi dan subur. Sepanjang jalan dikelilingi tanaman sayur kubis dan brokoli yang mulai menghijau. Bunga kol yang masih kucup, sayur kentang dan wortel bersembunyi di balik tanah dan dedaunan basah oleh butiran kristal. Satu yang paling khas dari ladang tanah Merangi adalah aroma daun bawang yang menyengat hidung, pertanda bahwa sebentar lagi mereka siap untuk diangkut oleh mobil bak sayur, membawa mereka menuruni sepanjang jalan Merangi. Gendhis dan Bu Rati pun terpisah di persimpangan jalalan.
Dari kejauhan, Pak Ratno dan Bu Sari terlihat harmonis saat memetik sayuran gimbal berwarna hijau tua. Gendhis berjalan menuju tempat di mana orang tuanya sedang memanen sayur brokoli.
"Bapak, Ibu, istirahat dulu. Ini Gendhis bawakan makanan!" Seru Gendhis sambil berjalan menuju gubuk bambu.
"Iya, Nduk... sebentar lagi." Jawab Bu Sari.
Gubuk itu sengaja dibuat oleh Pak Ratno sebagai tempat berteduh dikala hujan atau terik. Meski tak seluas rumah, namun cukup untuk melepas lelah. Tak hanya itu, gubuk juga dijadikan sebagai tempat meletakkan hasil panen mereka.
(Nduk... merupakan panggilan kesayangan untuk anak perempuan bagi masyarakat Jawa, yaitu Jawa Tengah dan DIY).
Gendhis meletakkan rantang dan teko di atas dipan bambu berukuran 2m x 1m. Beberapa karung brokoli tampak bersandar pada pagar gubuk yang terbuat dari bambu. Pak Ratno dan Bu Sari menghentikan jemari mereka yang sedang sigap memanen brokoli. Mereka bejalan menuju gubuk yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat mereka memanen.
"Bu, ini tadi Gendhis masak sayur kesukaan bapak, oseng kubis hijau sama ikan asin." Ucap Gendhis sambil membuka rantang berisi makanan.
Sejak kecil, Pak ratno selalu membiasakan hidup sederhana pada keluarganya. Bukan karena tidak mampu, hanya saja kalau urusan makanan sehari-hari, keluarga itu lebih memilih pola hidup sehat dengan mengkonsumsi banyak sayuran. Itulah salah satu wujud syukur mereka pada Sang Pencipta atas hasil bumi yang melimpah.
"Jam segini kok sudah mateng Nduk, pikir Ibu mau selesaikan dulu beberapa baris baru istirahat." Jawab Bu Sari sambil mencuci tangan nya dengan air yang ada di kolam kecil yang sering mereka gunakan untuk menampung air di samping gubuk.
Saat kemarau datang, petani di Kampung Merangi harus menyiram tanamannya kalau mereka tak ingin gagal panen. Mereka harus memiliki akses cukup air yang biasa mereka alirkan dari sumber air dengan menggunakan pipa. Sungguh berat tugas seorang petani. Di saat terik, mereka harus tetap menyiram tanaman paling tidak sehari sekali. Kalau harga sedang bagus, tak sedikit petani yang langsung bisa membeli kendaraan bermotor atau membangun rumah mereka. Tapi saat harga sayur terjun bebas, seolah tak ada artinya, sayur-sayuran itu hanya dijadikan pakan untuk ternak mereka. Kendati demikian, mereka tidak pernah mengeluh, selalu mensyukuri hasil panen meski kadang harga sayur di pasar tidak stabil.
"Wah, kalau dibawakan sayur ini, mana kuat Bapak tunda makan nanti-nanti, Nduk... " Sambung Pak Ratno yang juga tengah membersihkan tangannya.
Gendhis tersenyum sembari berkata, "Iya Bu, sebenarnya sudah matang dari tadi pagi, cuma Gendhis bersih-bersih dulu baru menyusul ke ladang."
"Radit tidak ikut ke ladang, Nduk?" Bu Sari menanyakan si bungsu pada kakaknya.
"Ndak, Bu. Tadi katanya mau main layang-layang sama Bambang di lapangan." Jawab Gendhis.
Pak Ratno dan Bu Sari lantas duduk dan menikmati makanan yang dibawakan Gendhis. Sambil sesekali meneguk secangkir teh jawa khas tanah Merangi yang mereka buat sendiri dari hasil ladang mereka. Memang tak seluas perkebunan teh, hanya ditanam di samping lahan mereka yang tengahnya dipenuhi tanaman sayur. Namun cukup membuat mereka jarang membeli teh pabrikan, hanya sesekali saja jika mereka ingin beli.
"Gendhis mau ke tengah dulu ya, Bu..." Ucap Gendhis sambil berjalan menuju tengah ladang tempat orang tuanya tadi memetik brokoli.
"Kamu ndak makan dulu, Nduk?" Tanya Bu Sari.
"Tadi Gendhis sudah makan di rumah, Bu." Jawab gadis itu.
Nampak ada rasa bangga tepancar dari gurat alis mata Pak Ratno dan Bu Sari karena telah dikaruniai putri seperti Gendhis. Sejak kecil tidak pernah menyusahkan orang tua. Pinter masak, dan dia juga seorang kakak yang penyayang. Ngemong sama adik semata wayangnya. Meski adiknya baru duduk di bangku kelas empat SD, tapi saat bepergian dia tidak pernah malu mengajak adiknya selagi Radit mau.
Gendhis juga gadis yang pandai, sejak SD sampai sekarang, tidak pernah turun dari peringkat satu dan dua. Hal itulah yang membuat orang tuanya mau menyekolahkan Gendhis sampai SMA. Juga keluarga calon suaminya yang bersedia menikahkan putra mereka dengan Gendhis saat dia selesai kuliah nanti. Namun kedua orang tua lelaki itu mengajukan syarat bahwa pertunangan Gendhis dengan jodoh masa kecilnya harus dilaksanakan secepat mungkin. Permintaan itupun disetujui Gendhis dan keluarganya. Minggu depan, pasangan perjodohan itu akan melaksanakan pertunangan. Dan sepertinya pertunangan itu akan menjadi pertunangan termegah sepanjang sejarah di Desa Sekar Wangi.
*****
"Bu ne Lintang! Bu ne... Bu ne..." Lelaki paruh baya itu nampak mondar mandir mencari istrinya di ruang tengah.
"Iya, Pak ne... Ada apa?" Terdengar suara istrinya berjalan dari dapur menuju ruang tengah.
"Lintang kemana ya Bu ne?" Tanya Pak Argo panik.
"Tadi katanya mau nyuci mobil." Wanita itu seolah sudah terbiasa melihat kecemasan suaminya.
Sembari menyiapkan makanan di ruang tengah, Bu Parti menenangkan suaminya. "Tenang Pae, sebentar lagi juga pulang."
"Ini kan sudah sore Bu ne, sudah waktunya nganter sayuran. Nanti kemaleman, pedagang sayurnya keburu bubar." Ucap Pak Argo duduk di sofa ruang tengah, sambil sesekali melihat jam yang melingkar di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Waktunya turun ke Pasar Kaliangkrik mengantarkan hasil panen.
"Anak itu, nyuci mobil kan bisa di depan rumah. Sudah dekat, airnya banyak, juga hemat biaya. Cari alasan saja anak itu, biar bisa kluyuran!" Wajah Pak Argo mulai terlihat kesal.
"Tenang Pae, sebentar lagi juga pulang. Tadi pamit sama saya katanya sekalian mau nganter Gendhis untuk rental tugas apa gitu dari sekolah." Bu Parti mencoba cari pembelaan untuk anak bujang kesayangannya.
"Oalah... Sama Gendhis to. Ya sudah kalau begitu." Seolah terhipnotis mendengar nama Gendhis disebut, seketika kemarahan Pak Argo padam laksana api di siram air.
Entah kesalahan apa yang Lintang perbuat ketika nama Gendhis disebut semua kecemasan orang tua Lintang luluh sirna. Kebaikan dan kelembutan Gendhis seolah dapat memenangkan hati setiap orang.
Dari halaman, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah keluarga Mitro Dimejo, kakek buyut Lintang. Sosok yang cukup tersohor karena kekayaannya dan kedermawanannya. Hampir keseluruhan ladang Desa Sekar Wangi yang terletak di puncak Sumbing adalah milik mendiang keluarga Mitro Dimejo, dan yang sekarang mengurus adalah keturunannya. Kakek Lintang adalah putra tunggal sekaligus pewaris kekayaan tunggal. Dia memiliki dua anak laki-laki yaitu Pak Argo dan Pak Dhe Aryo, kakak kandung Pak Argo.
Pak Argo bergegas keluar rumah untuk memastikan bahwa anaknya benar-benar sudah pulang, dan kecemasannya pun hilang ketika melihat Lintang dan Gendis turun dari mobil pickup L300 keluaran terbaru. Mobil yang selalu digunakan Lintang dan Pak Argo untuk mengangkut sayur hasil panen ke pasar.
"Maaf, Pak Argo, jadi lama menunggu. Tadi Mas Lintang nganter Gendhis rental tugas dulu setelah nyuci mobil." Gendhis mendekati Pak Argo yang sedari tadi memang menunggu Lintang.
"Iya Nduk, ndak papa. Sudah selesai tugasnya?" Pak Argo menjawab seolah lupa bahwa dirinya sempat menggerutu menunggu Lintang tak kunjung pulang.
"Sudah, Pak Argo. Terimakasih karena jadi repot. Saya pamit pulang dulu." Ucap Gendhis berpamitan. Padahal rumah mereka hanya terpisah oleh halaman luas rumah Lintang, dan jalan utama yang menghubungkan dengan kampung-kampung di bawahnya. Namun tetap saja Gendhis selalu bersikap santun.
"Oh, ndak repot Nduk, kalau ada perlu atau tugas sekolah lain, minta saja Lintang untuk mengantar. Kalian kan sudah berjodoh, dan sebentar lagi mau bertunangan." Jawab Pak Argo.
Gadis berparas cantik dengan hijab warna abu-abu itu tersipu malu, seolah meng iya kan perkataan Pak Argo. Gendhis pun pergi meninggalkan halaman rumah nan luas itu.
"Lintang, bantu Bapak mengangkat tumpukan karung sayuran dari gudang ke mobil. Ini sudah sore, sebentar lagi pedang sayur di pasar segera pergi." Pinta Pak Argo sambil berjalan menuju gudang sayuran.
"Siap, Ndan!" Jawab Lintang sigap sambil tersenyum pada Sang ayah.
Keduanya lantas mengangkat puluhan karung yang berisi berbagai macam sayuran ke atas mobil.
Pak Argo hanya menggeleng-gelengkan kepala. Tidak heran dengan sikap anaknya yang seolah meledek tapi serius itu. Sudah sejak Lintang kecil ketika ditanya cita-cita pasti jawabnya "Ingin menjadi Pak Tentara.", jawab Lintang kecil yang saat itu masih berumur empat tahun. Ternyata sebegitu dalamnya cita-cita Lintang hingga saat ia dewasa, keinginannya menempuh pendidikan militer akan ia wujudkan seusai lulus dari SMA nanti.
Lintang sangat faham, kalau orang tuanya pasti tidak akan setuju dengan impian Lintang. Tapi dia berjanji akan mewujudkan impian itu walau harus melewati banyak rintangan menghadang. Toh dia baru masuk kelas XII SMA, masih cukup waktu untuk bisa meyakinkan hati keluarganya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Noer Anisa Noerma
menyimak
2022-11-03
1
Maminya Nathania Bortum
halo hadir dengan paker komplit
2022-04-15
0
AiniyaFazmi
aku udah mampir kak
2022-03-11
1