Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIDAK DIINGINKAN
Damian menghela napas panjang di depan cermin, memandang bayangannya sendiri dengan ekspresi dingin yang telah menjadi bagian dari dirinya. Kata-kata Annisa tadi terngiang di pikirannya, tapi, semakin ia mengingatnya, semakin ia merasa marah. Baginya, perkataan Annisa seolah mencoba menyudutkan dirinya, membuatnya terlihat sebagai orang yang mengabaikan perasaan orang lain.
"Padahal aku juga kehilangan sosok Kakak yang kusayangi..."
Damian mendengus, membuang ingatan itu jauh-jauh. Kecewa? Merasa tidak dianggap? pikirnya dengan sinis. Dia memilih hidup ini. Dia tahu sejak awal seperti apa situasinya.
Keputusan Damian sudah bulat—perkataan Annisa tadi tidak layak untuk terus ia pikirkan. Kehilangan yang ia rasakan terhadap Arum terlalu dalam, terlalu pribadi, dan Annisa tidak akan pernah benar-benar memahami itu.
Dengan langkah tegas, Damian keluar dari kamar mandi, lalu mendapati Annisa di ruang keluarga, sedang membereskan beberapa berkas yang tadi ia bawa dari kantor. Annisa menoleh ketika Damian mendekat, namun raut wajahnya berubah menjadi tegang ketika melihat tatapan dingin suaminya.
“Jadi, setelah drama yang tadi di depan Clara, sekarang kamu kembali sibuk dengan pekerjaanmu?” suara Damian terdengar datar, tapi ada ketajaman di dalamnya.
Annisa berhenti sejenak, menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Mas Damian, aku hanya menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Tadi, aku—”
“Pekerjaan,” Damian memotong dengan nada sarkastik. “Sepertinya pekerjaanmu sangat penting, ya? Sampai kamu lupa kalau tugas utamamu adalah di rumah ini, dengan Clara.”
Annisa merasakan dadanya sesak mendengar nada Damian yang tajam. “Aku tidak lupa, Mas. Tapi, aku juga punya kehidupan di luar rumah ini. Aku mencoba sebaik mungkin untuk mengurus Clara dan tetap bekerja. Aku hanya ingin…”
“Tentu saja,” Damian memotong, menatapnya dengan tajam. “Hidupmu dan perasaanmu sendiri yang kamu utamakan, kan? Jangan berpura-pura, Annisa. Kamu hanya mementingkan kariermu, sementara Clara dibiarkan berantakan.”
Annisa menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang. “Mas, aku selalu melakukan yang terbaik untuk Clara. Aku mencintainya. Tapi aku juga berhak mendapatkan sedikit ruang untuk diriku sendiri…”
Damian mendekat, suaranya semakin rendah namun penuh amarah. “Jangan berharap terlalu banyak dariku, Annisa. Kamu mungkin telah menikah denganku, tapi kamu bukan pengganti Arum. Kamu tidak akan pernah bisa menjadi seperti dia. Jadi berhenti bertingkah seolah-olah kamu berhak atas lebih banyak perhatian atau pengakuan dariku.”
Annisa tercekat, merasa hatinya hancur mendengar kata-kata itu. Dia tahu Damian masih mencintai Arum, tapi mendengar langsung bahwa dirinya tidak akan pernah diakui adalah rasa sakit yang tak pernah ia bayangkan.
“Mas,” bisiknya dengan suara bergetar, “aku tidak pernah mencoba menggantikan Mbak Arum. Aku hanya… ingin menjadi bagian dari hidupmu, dari rumah ini. Aku ingin kamu menganggapku ada…”
Damian mendengus, menatapnya dengan ekspresi menghina. “Menjadi bagian dari hidupku? Satu-satunya alasan kamu ada di sini adalah karena permintaan Arum. Jangan lebih dari itu.”
Annisa hanya bisa menundukkan kepala, air mata akhirnya jatuh tanpa bisa ia tahan. Rasa sesak yang selama ini ia pendam semakin menyakitkan. Damian tidak memberinya ruang sedikit pun untuk menjadi dirinya sendiri, untuk merasa dihargai. Di matanya, ia hanyalah bayangan, sebuah janji yang harus ia tanggung tanpa hati.
“Mas Damian…” Annisa mencoba bicara lagi, berharap ada sedikit pengertian, tapi Damian berbalik tanpa menghiraukannya.
“Jangan mengharapkan apa pun dariku, Annisa. Kamu tahu tugasmu di sini. Fokus pada Clara, atau fokus pada kariermu. Tapi jangan berharap aku akan melihatmu lebih dari itu.”
Dengan kata-kata terakhir yang dingin itu, Damian meninggalkannya berdiri di sana dengan hati yang remuk. Annisa menyeka air matanya, menyadari bahwa di dalam rumah ini, ia hanya bayangan yang tidak akan pernah terlihat oleh suaminya.
•••
Damian merasa suasana di rumah semakin menyesakkan. Setelah melepaskan semua kemarahan dan kepahitan kepada Annisa, ia langsung mengambil kunci mobil dan melangkah keluar tanpa mengatakan apa pun lagi.
Ia menghubungi beberapa temannya dan memutuskan untuk pergi ke sebuah club eksklusif di pusat kota. Tempat itu adalah pelariannya setiap kali ia merasa terbebani atau jenuh dengan masalah rumah tangga yang tidak pernah benar-benar ia inginkan. Club itu adalah tempat di mana ia bisa melupakan segalanya untuk sementara waktu.
Sesampainya di sana, Damian bertemu dengan tiga temannya—Raka, Dion, dan Andi—teman-temannya sejak masa kuliah yang selalu ada untuk bersenang-senang tanpa banyak bertanya tentang masalah pribadinya. Raka, yang sudah terlihat menunggu di depan pintu masuk, langsung menyambutnya dengan tepukan di punggung.
“Hey, akhirnya datang juga,” kata Raka sambil tersenyum lebar. “Gue pikir lo gak bakal dateng lagi minggu ini.”
Damian mengangguk, menahan diri untuk tidak mengungkapkan perasaan apa pun. “Butuh hiburan, bro. Hari ini berat banget.”
Dion menoleh dengan seringai kecil. “Wah, kayaknya butuh minum yang banyak, nih. Tenang aja, malam ini kita semua siap buat bantu lo melupakan semua.”
Tanpa banyak bicara lagi, mereka semua masuk ke dalam club yang penuh dengan lampu neon dan musik elektronik yang berdentum keras. Suara musik dan keramaian seolah langsung menghapus segala kesunyian dan ketegangan yang menyelimuti pikiran Damian. Mereka duduk di VIP booth yang cukup terpencil dari keramaian utama, namun tetap memungkinkan mereka untuk melihat suasana lantai dansa.
Andi memesan sebotol whiskey terbaik, dan tak lama kemudian, minuman itu tiba di meja mereka. Damian langsung menuang minumannya sendiri, lalu meneguknya tanpa ragu.
“Apa yang bikin berat, Dam?” tanya Raka setelah beberapa saat, matanya menatap Damian dengan penasaran.
Damian tertawa kecil, sedikit getir. “Pernikahan, bro,” jawabnya sambil mengangkat gelasnya. “Pernikahan yang dari awal nggak pernah gue inginkan.”
Andi mengangkat alis. “Lagi ada masalah sama istri lo?”
Damian meneguk minumannya lagi, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. “Masalah terus, kayaknya. Dia… dia nggak ngerti gue. Dia selalu minta lebih, minta perhatian, minta diakui, padahal dari awal dia tahu kalau pernikahan ini bukan tentang cinta.”
Dion menatapnya sambil tersenyum sinis. “Ya namanya perempuan, Dam. Mereka selalu cari perhatian, selalu minta diprioritaskan.”
Damian tertawa pelan, meskipun di dalam hati ada rasa kosong yang tak bisa dihilangkan. “Gue udah bilang dari awal, gue gak akan pernah bisa kasih dia apa yang dia mau. Gue cuma ada di sini buat Clara. Selebihnya, gue nggak butuh dia untuk apa-apa.”
Raka mengangguk sambil meneguk whiskey-nya. “Gue ngerti, Dam. Pernikahan kayak gitu berat. Tapi lo nggak sendirian. Lo masih punya kita buat pelampiasan, ya, kan?”
Damian mengangguk, merasa sedikit terhibur. Bersama mereka, ia bisa melupakan tanggung jawab yang berat dan perasaan bersalah yang terkadang muncul tanpa ia sadari. Bersama mereka, ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus berpura-pura untuk siapa pun.
Malam itu, mereka menghabiskan waktu dengan minum dan berbicara, membiarkan Damian melupakan sejenak kehidupan rumah tangganya yang terasa begitu menguras emosi. Gelas demi gelas dihabiskan, dan Damian mulai merasa lebih ringan. Semua kata-kata Annisa yang tadi sempat menggangu pikirannya perlahan menghilang, tergantikan oleh suara musik dan gelak tawa teman-temannya.
Ketika malam semakin larut, mereka mulai bercanda dan saling melempar lelucon tanpa beban. Damian tertawa keras bersama mereka, seolah-olah semua masalah di rumah tak pernah ada. Baginya, malam ini adalah kebebasan sementara, momen untuk melupakan segala tuntutan yang harus ia jalani sebagai suami dan ayah.
Namun, di balik semua itu, ada bagian kecil dalam dirinya yang menyadari bahwa saat ia pulang nanti, kenyataan yang ia tinggalkan tidak akan pernah benar-benar hilang. Tapi malam ini, ia tidak peduli. Ia hanya ingin terbebas dari segala beban, meskipun hanya untuk sesaat.