Mentari dijodohkan oleh ayahnya dengan pria lumpuh. ia terpaksa menerimanya karena ekonomi keluarga dan bakti dia kepada orangtuanya.
apa yang terjadi setelah mentari menikah?
apa akan tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya?
apakah mentari bahagia? atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ristha Aristha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ejekan dari keluarga Part 1
" Loh! Ini mana yang malu melamar? Kok tidak ada? Apakah Bapak ini yang akan menjadi calon suami keponakan kami?" tanya Bulek Narti.
"Kamu mau menikah sama Bapak-bapak itu, Tar? Aku tahu kalo kamu iri sama Gendis, karena dia sudah menikah duluan... Tapi tidak gini juga dong!" imbuhnya lagi.
Suara bisik-bisik mulai terdengar di telingaku. Terlihat jelas jika keluarga dari ayahku mengejekku. Karena mereka dari dulu tidak begitu suka kepada keluargaku. Apalagi sekarang mereka mengira aku akan di lamar oleh bapak-bapak. Padahal orang yang datang bersama Bu Dita bukanlah calonku, melainkan suaminya Bu Dita sendiri yaitu pak Revan.
"Kamu kalau kebelet kawin gak apa-apa sama buruh pabrik, tapi gak harus sama Om-om juga kali, Tari! Buat malu saja tau!" ujar Gendis dari pojokan dengan nada mengejek.
"Narti! Gendis! Kalian ini apa-apaan sih? jangan buat malu di depan tamuku!" ucap Ayah sambil menahan malu.
Lalu Ayah bangkit dari duduknya dan mempersilahkan Bu Dita dan Pak Revan masuk. Sepertinya mereka datang cuma berdua saja, tidak membawa rombongan.
"Maaf ya, Pak, Bu. Kalau perkataan keluarga saya terlalu ceplas-ceplos". Ucap bapak sambil menunduk, karena merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa, Pak. Tidak apa-apa". Jawab cepat Bu Dita.
meskipun sebenarnya, terlihat jelas dari raut wajahnya yang teramat enggan. Setelah semua orang duduk, Pak Revan yang dari tadi diam saja, mulai mengeluarkan suaranya, yang terdengar tegas dan juga berat. Jadi beliau terlihat tambah berwibawa.
"Pak, Bu. Saya dan istri saya malam ini ingin menyampaikan niat baik saya untuk melamar Mentari untuk putra saya. Sebelumnya saya akan memperkenalkan diri saya dulu,
perkenalkan nama saya Revan dan istri saya Dita orang tua dari laki-laki yang akan melamar Mentari". Ucap Pak Revan dengan senyum kecil. "Jadi... Kalian disini jangan sampai salah menduga-duga kalau Mentari akan menikah dengan laki-laki tua seperti Saya". imbuh pak Revan.
"Sekali lagi, maafkan saudara-saudara saya, Pak. Saya benar-benar mohon maaf". Kata Ayah dengan raut wajah bersalah. Bagaimanapun Pak Revan dan Bu Dita adalah pemilik dari pabrik garmen tempat Ayah bekerja. Jadi mereka berdua adalah Bosnya Ayah.
"Tidak apa-apa Pak Bagas, yang terpenting saya sudah memberi tahu, agar tidak terjadi salah paham lagi". Jawab pak Revan dengan senyum kecil.
"Oh.. Jadi Bapak ini orang tua dari laki-laki yang akan melamar Mentari, toh? Jadi syukurlah, kalau Mentari tidak menikah dengan bapak-bapak tua karena kebelet kawin. Takutnya nanti gara-gara kehidupannya Mentari memprihatinkan jadi terpaksa mau menikah dengan Bapak-bapak tua, untuk memperbaiki kehidupannya". Kata Bulek Denok dengan nada mengejek.
Aku menunduk bukan karena malu, melainkan menahan amarah karena mendengar omongan pedas Bulek Denok. Andai disini tidak ada Bu Dita dan Pak Revan, pasti Aku sudah membalas omongan pedasnya Bulek Denok tadi.
Aku tidak habis pikir. Bagaimana bisa, ia ngomong seperti itu di depan orang lain? Padahal aku ini keponakannya sendiri.
"Nah, betul itu Pak! Wajarlah kalau kami tadi berfikiran seperti itu, karena bagaimana pun Mentari adalah keponakan kami. Jadi kamu tahu watak Mentari yang sebenarnya seperti apa? Karena Mentari itu iri sama Gendis yang sudah bahagia karena menikah duluan dengan Abdi negara. Jadi saat melihat Bapak tadi, kami langsung mengira bahwa Mentari rela menikah dengan Bapak-bapak asalkan keluar dari lingkaran kemiskinan!" ucap Bulek Dewi
"Astaghfirullah, Wi! Bagaimana bisa kamu berbicara seperti itu?" ucap ibu dengan kesal.
Baru kali ini ibu meladeni ucapan mereka. Padahal sebelumnya Ibu tidak pernah meladeni ucapan mereka yang pedas itu. Mungkin ibu kesal dengan ucapan mereka yang sudah sangat keterlaluan.
"Kamu ini kenapa sih Mbak? Aku kan cuma bercanda saja, jadi gak perlu diambil hati juga kali!" ucap Bulek Narti santai. "Ya sudah lanjutkan lagi acaranya. Tapi, ngomong-ngomong kenapa putra kalian tidak ikut kesini?" Bulek Narti mengalihkan pembicaraan.
Aku mendongak dan langsung menoleh ke arah Pak Revan dan Bu Dita. karena aku juga begitu penasaran, kenapa Dirga tidak datang untuk melamar ku? Padahal aku juga pengen tahu seperti apa Dirga sebenarnya. Meskipun aku sudah tau, tapi melalui foto yang ditunjukkan oleh Bu Dita.
"Eh, tunggu dulu! Dari tadi Aku lihat-lihat sepertinya kalian ini bukan dari kalangan orang miskin, ya? Karena dilihat dari baju yang di pakai kelihatan mahal dan juga kesini bawa mobil lagi. Padahal kami mengira Mentari akan dilamar oleh seorang buruh pabrik". Ucap Bulek Denok dengan wajah mengejek.
"Iya, Alhamdulillah kami bekerja di tempat seorang pengusaha terkenal dan kami di ijinkan memakai mobilnya datang kemari untuk melamar Mentari ", sahut Bu Dita datar.
"Oh, ternyata pembantu,toh! Pasti suaminya seorang supir? Ternyata, calon suami Mentari adalah anak dari seorang sopir. Lebih baik sih dari pada buruh pabrik, tapi derajatnya masih lebih tinggi dari suami Gendis, yaitu seorang abdi negara". Ucap Bulek Narti sambil memuji-muji menantunya.
"Iya, saya adalah seorang sopir dan istri saya seorang pembantu di rumah Kakaknya yang mempunyai perusahaan garmen di desa ini". Pak Dirga menyahuti ucapan saudara dari ayah.
Aku, bapak dan juga Ibu, saling pandang. Kami heran dengan ucapan Pak Revan barusan. Kenapa mereka berbicara seperti itu. Padahal mereka berdua adalah pemilik perusahaan garmen sebenarnya yang ada disini.
Setahuku yang mengelola adalah adiknya Bu Dita sendiri. Tapi kenapa mereka harus berbohong?
padahal saat ini bisa dilihat langsung tatapan dari saudara-saudara Ayahku dengan tatapan mengejek kepada Bu Dita dan Pak Revan. Dan pastinya mereka merasa orang tua Dirga nantinya bisa di injak-injak.
"Wah! Ternyata kalian ini bekerja pada saudaranya Pak Beni, ya? Pak Beni adalah pemilik dari pabrik garmen yang ada disini.
Dan ternyata kalian bekerja pada saudaranya yang ada di pusat kota? Benar begitu kan? Baik sekali mereka, bahkan mereka Sudi meminjamkan mobilnya untuk melamar anak orang, agar kalian terlihat kaya malam ini". Terang-terangan Bulek Dewi mengejek.
"Ya.. Begitulah, Alhamdulillah majikan kami sangat baik". Jawab Bu Dita santai.
"Baiklah, pak. Bagaimana dengan lamaran kami? Apakah keluarga Pak Bagas menerimanya?" Tanya pak Revan.
"Kalau keluarga saya sih, semua jawaban kami serahkan kepada Mentari. Karena yang akan menjalaninya nanti juga Mentari". Ucap Ayah dengan lembut.
"Nak, Mentari. Ibu dan Bapak datang kemari ingin melamar kamu, seperti yang sudah kita bicarakan tempo hari lalu. Bagaimana? Apakah kamu mau menerima Dirga sebagai suamimu?" tanya Bu Dita kepadaku dengan senyuman.
"Iya, Bu. Saya menerima lamarannya Mas Dirga sebagai suamiku". Jawabku
Karena ku tahu ini hanyalah sebuah formalitas saja. Karena sebenarnya Aku, ayah, Ibu, dan Bu Dita sudah berbicara panjang lebar tentang hal ini, dan aku telah menerima Dirga sebagai suamiku.
Karena Bu Dita telah memintaku atau lebih tepatnya mengancam keluargaku. Jika aku tidak menerima lamarannya Dirga, maka Ayahku terancam akan di pecat dari pekerjaannya.
"Oh iya, Bu. Ngomong-ngomong anaknya kok tidak ikut datang kemari? kalau boleh tahu pekerjaannya apa ya?" tanya Bulek Denok tiba-tiba.
"Kebetulan putra saya tidak bekerja, Bu. Dia di rumah saja, karena dia memang lumpuh, kakinya tidak bisa di gerakkan". Jawab Bu Dita dengan wajah yang sulit aku artikan.
"HAHAHAHA". tiba-tiba terdengar suara gelak tawa yang memenuhi isi rumahku.
...****************...
aku mampir yah, kayanya ceritanya menarik.
sukses selalu