Di jantung kota Yogyakarta, yang dikenal dengan seni dan budayanya yang kaya, tinggal seorang wanita muda bernama Amara. Dia adalah guru seni di sebuah sekolah menengah, dan setiap harinya, Amara mengabdikan dirinya untuk menginspirasi siswa-siswanya melalui lukisan dan karya seni lainnya. Meski memiliki karir yang memuaskan, hati Amara justru terjebak dalam dilema yang rumit: dia dicintai oleh dua pria yang sangat berbeda.
Rian, sahabat masa kecil Amara, adalah sosok yang selalu ada untuknya. Dia adalah pemuda yang sederhana, tetapi penuh perhatian. Dengan gitar di tangannya, Rian sering menghabiskan malam di kafe-kafe kecil, memainkan lagu-lagu yang menggetarkan hati. Amara tahu bahwa Rian mencintainya tanpa syarat, dan kehadirannya memberikan rasa nyaman yang sulit dia temukan di tempat lain.
Di sisi lain, Darren adalah seorang seniman baru yang pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan tatapan yang tajam dan senyuman yang memikat, Darren membawa semangat baru dalam hidup Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon All Yovaldi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9_ Hati Yang Mulai Terbuka
Matahari pagi perlahan naik di balik gedung-gedung tinggi kota. Amara mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha mengusir rasa kantuk yang masih menggantung. Semalam pikirannya dipenuhi bayangan Darren dan Rian. Meski sudah berkali-kali mencoba memejamkan mata, hatinya tak bisa tenang.
Di meja makan, ibunya sudah menyiapkan sarapan sederhana. “Kamu nggak kuliah hari ini?” tanya sang ibu sambil menuangkan teh hangat.
Amara menggeleng. “Mau istirahat dulu, Ma. Lagi nggak enak badan.”
Ibunya mengamati Amara dengan tatapan curiga. “Bukan karena Darren atau Rian kan?”
Amara terdiam. Ibunya memang selalu bisa membaca pikiran, bahkan tanpa dia cerita sedikit pun.
“Dua-duanya anak baik, Ma…” Amara menghela napas panjang. “Tapi aku bingung harus pilih yang mana.”
Ibunya tersenyum tipis. “Kamu nggak perlu buru-buru, Nak. Dengerin kata hati kamu sendiri. Yang penting, jangan sampai kamu nyakitin diri sendiri.”
Amara mengangguk pelan. Kata-kata ibunya terasa menenangkan, meski kebingungan masih bergelayut di pikirannya.
Amara memutuskan untuk menghabiskan pagi dengan berjalan-jalan di sekitar kompleks. Udara segar dan suasana tenang mungkin bisa membantu mengosongkan pikirannya. Namun, baru beberapa langkah dari rumah, suara motor memanggilnya dari belakang.
“Amara!”
Amara menoleh dan melihat Rian dengan helm di tangan, senyum khasnya menghiasi wajah.
“Gue kebetulan lewat sini. Mau jalan-jalan? Gue anterin,” tawarnya.
Amara ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Boleh deh. Tapi ke tempat yang nggak jauh ya.”
Rian tersenyum dan menyerahkan helm. “Tenang aja, gue tau tempat bagus.”
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah kafe kecil di pinggir danau. Tempatnya sepi dan nyaman, jauh dari keramaian kota. Mereka duduk di sudut ruangan, memesan minuman, dan mulai ngobrol santai.
“Kamu sering ke sini?” Amara bertanya sambil menyesap cokelat hangatnya.
“Sering. Gue suka tempat yang tenang kayak gini. Bisa bikin otak gue istirahat,” jawab Rian.
Obrolan mereka mengalir begitu saja. Rian bercerita tentang pekerjaannya yang semakin sibuk, sedangkan Amara berbagi cerita soal kuliah dan impiannya. Untuk sesaat, dunia terasa sederhana.
Namun, di tengah percakapan, ponsel Amara bergetar di meja. Sebuah pesan dari Darren muncul.
Darren: “Lagi di mana? Gue mau ngajak lo makan siang.”
Amara menggigit bibir bawahnya. Sekali lagi, Darren muncul di saat yang tak terduga.
“Kenapa? Dari Darren ya?” Rian menebak dengan senyum tipis di wajahnya.
Amara merasa sedikit canggung. “Iya… Dia ngajak ketemu.”
Rian tertawa pelan. “Gue udah duga. Lo kayak magnet buat dia.”
Amara tertawa kecil. “Kayaknya gue malah bikin semua makin ribet.”
“Lo nggak perlu terlalu keras sama diri sendiri, Mara. Apa pun keputusan lo, gue akan terima. Yang penting, lo bahagia.”
Kata-kata Rian membuat hati Amara terasa hangat. Di balik sikap tenangnya, Rian selalu memberi ruang bagi Amara untuk berpikir dan merasa.
Setelah beberapa saat, mereka menyelesaikan minuman mereka dan Rian mengantar Amara pulang. Sepanjang perjalanan, pikiran Amara dipenuhi oleh perasaan campur aduk. Kebaikan Rian yang membuatnya merasa nyaman, dan spontanitas Darren yang selalu bisa bikin dunianya berwarna.
Ketika motor berhenti di depan rumah, Amara turun dan melepas helm. “Thanks udah ngajak ke kafe tadi. Gue butuh banget itu.”
Rian tersenyum. “Kapan pun lo butuh, gue ada buat lo.”
Amara hanya bisa mengangguk pelan. Setelah Rian pergi, dia masuk ke rumah dan langsung menuju kamar.
Ponselnya masih bergetar di atas meja, dan kali ini pesan Darren masuk lagi.
Darren: “Lo beneran nggak bisa keluar? Gue udah di depan rumah lo, lho.”
Amara terkejut. Dengan cepat, dia melongok keluar jendela. Benar saja, Darren sudah berdiri di depan gerbang dengan senyum nakal di wajahnya.
Amara tertawa kecil sambil membuka pintu. “Lo nekat banget ya, Dar.”
Darren mengangkat bahu. “Gue bilang kan, gue selalu ada buat lo?”
Amara hanya bisa geleng-geleng kepala. “Masuk deh, tapi bentar aja. Gue masih capek.”
Darren mengikutinya masuk dan duduk di ruang tamu. Seperti biasa, dia mulai bercerita tentang hal-hal konyol yang bikin Amara tertawa tanpa sadar.
“Lo selalu tau cara bikin gue ketawa, Dar,” ucap Amara di sela tawa.
“Dan lo selalu jadi alasan gue buat bahagia,” balas Darren dengan nada serius.
Tatapan Darren begitu tulus, membuat Amara merasa terjebak dalam perasaan yang semakin rumit. Dia tahu harus segera membuat keputusan, tapi saat bersama Darren maupun Rian, hatinya selalu terasa nyaman.
“Lo beneran spesial, Mara,” Darren berkata pelan. “Tapi gue nggak akan maksa lo. Gue cuma mau lo tau kalau gue akan selalu nunggu.”
Kata-kata itu membuat Amara terdiam. Hatinya terasa hangat, tapi juga berat. Di satu sisi ada Darren dengan cintanya yang penuh warna, dan di sisi lain ada Rian yang selalu menjadi tempat berpulang.
Amara tahu, pada akhirnya dia harus memilih. Tapi untuk saat ini, dia hanya ingin menikmati momen ini—bersama dua pria yang mencintainya dengan cara yang berbeda, namun sama-sama tulus.
Guys Sabar yaa🤣🤣🤣🤣
#Jangan ya dek ya
Next part ajaaa.....
semangat berkarya../Determined//Determined//Determined/