DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM20
Kulihat bulek Darmi sedang memarahi Yanti di meja sate. Rupanya dia meminta lebih dari porsi yang sudah disiapkan. Aku memanggil Lika, kuminta Lika untuk menyampaikan pada Yanti agar memberikan saja apa yang dipinta bulek Darmi. Daripada jadi omongan orang, soalnya aku masih menyambut teman-teman Mas Rama.
"Nah gitu dong, dari tadi gitu lho. Kamu ini cuma jongos, jadi nurut aja ama saya, saudara bosmu," ketus Bulek Darmi.
Wajah Yanti sudah merah padam nahan emosi.
"Bentar ya, Mas, aku ke tempat Yanti dulu. Bulekmu ini masih butuh pelampiasan rupanya." Gantian ku bisiki Mas Rama.
Suamiku itu hanya memberikan senyum dan jempolnya kepadaku.
Ku dekati Yanti sambil ku elus punggungnya saat sudah tidak ada tamu di mejanya. "Sabar ya, Yan. Buleknya Mas Rama yang 1 itu emang rada unik. Tolong dimaafkan perkataan dan kelakuannya tadi. Ini kan syukuran, ya sudah kita ngalah saja. Tapi, kalau bulek tadi atau siapapun berulah di toko, kamu boleh kok melawannya ya."
"Iya, Mbak. Aku sempat kesel banget tadi. Padahal bukan tidak boleh, Mbak, aku cuma bilang tunggu sebentar karena tadi kan sudah ku bagi-bagi di piring. Mau ku ambilin yang masih di wadah gitu. Eh, malah gak sabaran. Mana sambil makan, sambil ngatain Mbak mulu lagi. Duh, Mbak, amit-amit jabang bayi."
Satu per satu tamu sudah pergi. Untungnya bulek tidak membuat masalah lagi selain minta sate lebih tadi. Setiap tamu yang pulang membawa kotakan nasi kuning lengkap yang dimasak ibu-ibu sejak kemarin.
Untuk keluarga kami, kusiapkan nasi kuningnya di kotak terpisah.
Untuk ibu-ibu yang masak, selain ku bawakan nasi kuning, sudah ku siapkan sepaket sembako dan amplop berisi uang yang sudah ku masukkan dalam paket tadi.
Untuk bapak-bapak yang membantu di depan, nanti Mas Rama yang akan membagikan rokok beserta amplopnya.
Karyawan-karyawanku, termasuk Bang Dono juga mendapat jatahnya.
Ucapan selamat dan doa, mereka ucapkan untuk kami. "Terima kasih ya, Nak Alana dan Nak Rama. Semoga rumah barunya membawa berkah untuk keluarga. Amiinn"
"Amiinn. Sama-sama Bu, Pak," jawabku dan Mas Rama, sambil ku gendong Bian.
...****************...
Terhitung sudah hampir 2 bulan sejak kami syukuran rumah baru. Usaha kue ku makin laris. Sudah ku beli 1 unit mobil MPV bekas dengan kondisi masih bagus sebagai kendaraan untuk mengirimkan hasil produksi ke kios-kios. Motor modif Pak Karto, tetap dipakai untuk mengirim pesanan ke customer. Kecuali jika pesanan tersebut dalam jumlah besar, maka MPV akan dipakai.
Sore itu Mas Rama pulang dengan wajah yang berbeda. Biasa kami bercengkrama setelah makan malam. Bian sudah tidur setelah kenyang menyusu tadi.
"Yank, Mas akan diangkat jadi Ketua Regu bulan depan. Atasan Mas yang merekomendasi. Dia sendiri diangkat jadi asisten manajer. Gimana menurutmu, Yank?" Mas Rama memulai pembicaraan.
"Wah beneran, Mas? Bagus itu, selamat ya!" Aku mengecup pipi Mas Rama. "Artinya atasan mj menghargai kerja keras mu selama ini, Mas!"
"Iya, Yank. Atasan Mas dipersiapkan untuk jadi manajer line baru, makanya sekarang jadi asisten manajer dulu. Tapi, line barunya paling masih 6 bulan lagi. Soalnya kan mesinnya baru dipasang gitu."
"Berarti akan ada lowongan donk, Mas? Itu Bang Dono bisa direkomendasikan?"
Setahuku kemarin Bang Dono masih ngojek.
Kemarin ku tawari jadi sopir MPV ternyata, Bang Dono tidak bisa menyetir mobil, apalagi punya SIM A.
"Mas sudah merekomendasikan. Kemarin surat lamarannya sudah Mas kasih. Semoga aja diterima. Tapi, kurang tahu juga mulai rekrutnya kapan."
"Iya semoga ya, Mas. Mas sendiri juga harus tambah hati-hati kerjanya. Posisi baru makin tinggi, biasa makin kencang anginnya," nasihat ku.
"Iya, Yank. Doakan semoga Mas bisa mengemban tugas baru."
"Pasti kudoakan, Mas. -- Ngomong-ngomong, bagaimana jika Bang Dono yang bawa motor modif 1 lagi. Yang seperti punya Pak Karto. Sekarang kan yang pake, Alif tuh, tapi, cabutan. Kalau Pak Karto lagi ngirim, terus mobil juga dipake, barulah Alif pake motor itu. Nah akhir-akhir ini, Alif lebih sering jadi kurir dari pada bikin roti. Gimana menurut, Mas? Bang Dono bakal tersinggung atau tidak?"
"Harusnya sih nggak ya, Yank. Apalagi, kan jadinya ada pemasukan tetap untuknya. Mas sudah bantu dia nyari-nyari lowongan, sampai sekarang belum dapat. Kan lumayan tuh, lagian masih nunggu 6 bulan sebelum beneran dipanggil. Sementara kebutuhan jalan terus. Coba Mas ajak ketemuan besok ya. Kalau dia mau, bisa kerja kapan?"
"Ya kalau Bang Dono setuju dengan tawaran ku, langsung kerja aja besoknya ...." Mas Rama manggut-manggut seraya mengeluarkan ponsel di saku nya.
Ponsel Mas Rama berbunyi, memotong pembicaraan kami.
"Halo, ya, Bu? "
"...."
"Iya baik, Rama segera ke sana, Bu."
Mas Rama mengakhiri panggilan telepon tersebut, dengan wajah kalut.
"Yank, Bapak sakit. Barusan Ibu yang telepon, karena telepon ke Mbak Raya tidak diangkat. -- Mas pinjam mobilnya ya, Yank."
"Iya, Mas, silahkan. Jangan panik, Mas. Aku tidak bisa ikut karena jaga Bian ya."
Mas Rama hanya mengangguk. Lalu mengambil jaket dan dompetnya saja, lalu langsung keluar menuju garasi.
Mas Rama memang sudah bisa mengendarai mobil, karena dulu suka disuruh mengantar mantan bosnya yang di travel kesana-kemari.
"Nanti kabari kondisi Bapak ya, Mas. Nyetirnya tetep fokus." Peringat ku sambil melepas kepergian Mas Rama.
Semoga tidak ada yang serius, semoga bapak bisa bertahan. Tidak jauh jarak rumah bapak dengan kami, hanya 15 menit. Meski lebih dekat lagi sebenarnya dengan rumah Mbak Raya. Ibu pasti panik banget sampai menelpon Mas Rama. Tapi, aku juga kepikiran, nanti Mas Rama kena masalah lagi gak ya sama ibu?
Tak sampai 1 jam, Mas Rama meneleponku.
"Yank, Mas ada di RSUD sekarang. Bapak masih ditangani dokter di dalam, doakan semoga Bapak gak kenapa-kenapa ya."
"Iya, Mas, pasti ku doakan. Ibu gimana, Mas?"
"Ibu nangis terus dari tadi, sekarang malah ikutan pingsan. Tapi, kata suster tidak kenapa-kenapa, hanya shock."
"Ya Allah, Mas. Aku nyusul aja ke sana apa? Biar Bian dititip ke Bu Karto."
"Gak usah, Yank. Mas masih bisa, ini Dono sudah nyampe juga buat nemeni Mas. Mbak Raya ditelepon tidak diangkat-angkat. Mas Budi juga sama."
"Coba adek telepon Bu Atmaja ya, Mas. Sekarang Alana tutup dulu teleponnya. Nanti kabari Alana perkembangannya ya, Mas."
Aku lekas mengakhiri panggilan telepon dan ku kirim pesan ke Mbak Raya.
"Mbak, Bapak sakit. Ada di RSUD sekarang."
Sudah centang 2 tapi masih abu-abu. Ke mana ya Mbak Raya ini? Tadi ibu dan Mas Rama telepon juga tidak diangkat. Udahlah ku telepon Bu Atmaja saja.
"Halo selamat malam, Bu. Ini Alana, Bu. Maaf mengganggu malam-malam."
"Iya, Nak Alana. Ada apa ya, Nak?" Bu Atmaja menjawab dengan lembut tapi suasana di tempatnya sepertinya sedang ramai. Apa mungkin ada acara?
"Begini, Bu. Tadi Bu Tini dan Mas Rama menelepon Mbak Raya, tapi, tidak diangkat-angkat. Saya kirim pesan juga belum dibalas. Saya mau mengabarkan kalau Bapak sakit, dan saat ini ada di RSUD."
"Oh, ya ampun. Kapan Pak Yanto dibawanya? Sakit apa, Nak? Apa parah?"
"1 Jam yang lalu Mas Rama dikabari ibu, langsung dibawa ke rumah sakit. Tadi saya dapat kabar, Bapak masih dalam penanganan, Bu. Belum tahu sakitnya apa dan seberapa parah. Saya juga sedang menunggu kabar perkembangan Bapak dari Mas Rama. Minta tolong disampaikan kabar ini ke Mbak Raya ya, Bu."
"Iya, Nak. Maaf ya, kami memang sedang di kabupaten sebelah. Ada acara keluarga saya. Sebentar saya kasih tahu Raya, mungkin bisa pulang duluan menengok Bapaknya."
"Baik, Bu. Terima kasih. Saya tutup teleponnya ya, Bu."
Setelah mengucapkan salam, aku mengakhiri panggilan telepon tersebut. Lalu, ku kirim pesan ke Mas Rama.
"Mas, Mbak Raya lagi di kabupaten sebelah, sedang ada acara keluarganya Bu Atmaja. Tapi sudah kutitip pesan soal, Bapak."
Tidak butuh waktu lama, Mas Rama meneleponku kembali.
"Halo, Mas. Bapak dan ibu gimana kondisinya, Mas?"
"Bapak kena serangan jantung ringan, Yank. Sebentar lagi mau dipindahkan ke ruang perawatan. Kalau Inu sudah sadar, sedang menunggui Bapak di UGD. Mas lagi ama Dono, ini mau mengurus administrasi nya. BPJS Bapak tidak dibawa, di dompet Mas cuma ada 200 ribu, Yank."
"Tadi gak kepikiran bawa ATM ya, Mas. Sudah panik sih ya, terus bagaimana? Mau Alana yang antar ATM nya ke rumah sakit atau gimana?"
"Mas yang akan ambil, Yank. Dono nunggu di sini, tapi, kamu ikhlas kan uangnya dipake buat bayar pengobatan Bapak?"
"Mas ini ngomong apa coba? Ya jelas ikhlas lah, Mas. Masa ngobatin orang tua tidak ikhlas sih, jangan mikir macem-macem dulu, Mas. Yang penting Bapak sembuh dulu, Alana siapin baju Mas sekalian ya? Mas nginep kan di rumah sakit?"
"Iya, Yank. Mas jalan sekarang ya."
Segera ku kemas baju Mas Rama dan juga sarung sekalian untuk ibu dan bang Dono. Ku buatkan kopi 1 termos kecil, beserta cemilan. Kebetulan ada persediaan air mineral botolan ukuran sedang di rumah. Jadi sekalian saja ku bawakan beberapa botol.
Tak berselang lama, Mas Rama sampai. Kulihat wajahnya sedih dan khawatir. Ku ulurkan ATM ke Mas Rama, dan suamiku hanya memegangnya.
"Ini ATM-nya, Mas. Pinnya masih sama, bayarnya gesek aja. Jangan Mas ambil tunai, bahaya."
"Iya, Yank. Ternyata BPJS Bapak tidak bisa dipakai lagi. Dibawa juga percuma, kata Ibu tidak pernah dibayar entah berapa lama."
"Nanti kita urus kemudian, Mas. Yang penting kondisi sekarang dulu, satu-satu, Mas. Kalau dipikirkan semua, malah kita yang stress sendiri. Besok saat antar Ibu balik, Mas foto saja kartu BPJS nya, kita bereskan tunggakannya. Sekarang pake ATM ini aja dulu, Alana beneran ikhlas kok."
Mas Rama menatap kartu ATM yang di tangannya.
"Yank ...."
*
*
Bagus banget /Kiss/
Apalagi part di mana Alana hamil, ya ampun, saya sampai meneteskan air mata. /Good/