Maha Rani Larasati rela menikah dengan Daniel Nur Indra seorang duda ber anak satu tapi jauh dari kata bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Trisubarti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 11
Pagi mendung gelap gulita, suara guntur, menggelegar. Icha dan Daniel duduk di meja makan.
"Kok petirnya serem ya Pa" kata Icha sambil mengunyah roti isi mes jes yang ia buat sendiri. Sebab Rani tidak turun membuatkan roti bakar menu favorit Daniel dan Icha.
"Iya, musim hujan lagi sepertinya, sudah dihabiskan sarapannya, terus kita berangkat" Kata Daniel.
Icha selesai sarapan kemudian memasukan bekal kedalam tas.
"Icha pamit Umi dulu ya pa" Icha beranjak ingin pamit Uminya.
"Papa tunggu di mobil ya Cha" Daniel keluar di antar simbok menggunakan payung. Icha mengacungkan jempol nya ke Papanya.
"Mbok Rani di suruh sarapan ya" Pesan Daniel sambil membuka pintu.
"Baik Tuan" kata Simbok sambil menggandeng Icha. Setelah pamit Uminya Icha segera menyusul Papanya.
Daniel menjalankan mobilnya, akan mengantarkan Icha ke sekolah, lalu lanjut ke kantor.
Keysia ( Icha) PoV
Aku selalu di buat pusing oleh Papaku sendiri. Kenapa sih orang tua selalu senang bertengkar?
Tadi aku Pamit Umi kekamar nya, Umi tidak ada semangat. Ia meringkuk dengan selimut masih menutup tubuhnya.
"Umi... Icha berangkat dulu ya, jangan lupa makan! tadi malam Umi sudah melewatkan makan malam loh." Kataku.
"Iya bawel! Umi sudah besar loh tidak usah di ingetin pasti makan kok." Jawabnya menarik hidungku dan menjembil pipiku.
"Ah Umi sakit tau!" kataku. Sebenarnya bukan sakit karena aku ingin menggodanya, sudah berapa hari ini, aku dan Umi tidak bergurau.
Aku gelitik perutnya supaya mau tertawa, jujur seminggu ini Rindu tertawanya.
"Ahh! ampun..ampuni tuan putri...!" Ahahaha..."
Aku senang melihat Umi bisa tertawa.
"Sudah Icha berangkat nanti terlambat loh, belajar yang rajin ya..muach.." Daaaaa...sayaaang.."
"Dadaaa Umi.."
Umi mencium pipiku berkali-kali. Kemudian, aku menyusul Papa yang sudah menunggu di mobil.
Simbok memayungi aku, karena hujan sangat lebat. Kalau bukan karena memenuhi kewajiban untuk sekolah rasanya ingin tidur saja bersama Umi.
"Pah.." Aku memanggil Papa yang sedang menyetir. Papa menoleh sekilas kemudian kembali Fokus memegangi setirnya.
"Apa?" Jawab Papa.
"Papa kenapa sih! selalu membuat Umi menangis, Icha sedih Pa, setiap melihat Umi manangis pasti gara-gara Papa."
"Kamu masih kecil Cha belum mengerti urusan orang dewasa" kata Papa selalu menganggap aku anak kecil.
"Kata siapa Icha anak kecil Pa? Icha sudah umur sembilan tahun! Icha cukup mengerti apa yang terjadi antara Papa sama Umi." Aku semakin kesal dengan Papa.
"Papa selalu menuduh, menghakimi, tidak di selidiki dulu apa yang terjadi"
"Maaf kalau Icha nggak sopan sudah bicara kasar sama Papa"
"Apa Papa ingin, Umi pergi seperti dulu! lalu kita semua kehilangan?" Aku sebenarnya nggak mau bicara kasar sama Papa. Tapi Papa sudah keterlaluan.
"Kok kalian semua pada menyalahkan Papa sih? Simbok, Uti, kamu!" Tanya Papa menatap aku kesal.
"Ya iyalah! karena memang Papa yang salah, Papa menuduh Umi pencuri."
"Bicara apa Umi sama kamu tentang masalah ini?" Papa menatap aku menuduh. Papa kira Umi mengadu.
"Nggak usah di tutupi Papa! kemarin malam Icha mendengar semuanya, perlu Papa tau, Umi bukan orang yang seperti itu." Kataku.
"Tidak usah pusing memikirkan urusan orang dewasa Cha, yang penting kamu belajar." Kata Papa mengalihkan pembicaraan. Tidak terasa aku sudah sampai di depan sekolah. Aku tidak lagi menjawab Papa. Kemudian turun dari mobil cium punggung tangan Papa dan masuk kedalam pagar.
Author
Didalam kamar, Rani masih bergulung selimut.
Deerrr...Deeerrr.
Suara telepon bergetar Rani terbangun dari tidurnya, ambil handphone di atas bufet, kemudian mengangkatnya.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam"
"Mbak e, Ini saya Bambang, masalah ruko kemarin saya sudah temui pemiliknya," Suara Bambang di seberang.
"Oh iya bang, terus bagaimana?" Tanya Rani semangat.
"Lebih baik Mbak e temui orangnya ya...saya otw jemput Mbak e"
"Okay bang saya tunggu"
Rani kemudian melipat selimutnya dan membereskan kamar. Setelah rapi, kemudian mandi ganti baju dan kebawah menuruni anak tangga.
"Mbak Rani mau kemana?" Sapa Simbok yang sedang menyapu lantai.
"Saya mau ada urusan sebentar Mbok"
"Mungkin nanti pulangnya agak sorean sekalian jemput Icha" Kata Rani.
"Tapi Mbak Rani sarapan dulu! dari tadi malam belum makan loh"
"Mbak Rani kan sering masuk angin." Kata Simbok memohon.
"Saya belum berselera Mbok, gampang kalau lapar tinggal jajan," Jawab Rani enteng.
"Tapi bener ya, nanti Mbak Rani harus jajan" Nasehat Simbok.
"Siip Mbok, saya berangkat dulu ya" Rani melangkah keluar ternyata Bambang sudah menunggu di depan.
"Selamat pagi Mbak e..." Bambang pagi ini penampilannya lebih keren dari kemarin.
"Pagi bang," Jawab Rani singkat. Bambang membukakan pintu mobil untuk Rani.
"Mbak, mengenai Ruko yang kemarin ada dua tempat di kawasan xxx harganya 400 juta, dua lantai, kata pemiliknya di jual murah karena beliau sedang butuh dana untuk keluarganya yang sedang sakit." Tutur Bambang.
"Wah mahal ya bang! uang saya nggak bakal cukup dong" Rani putus asa.
"Tenang Mbak e, menurut pemiliknya bisa di cicil kekurangannya, yang penting ada uang muka seratus juta"
"Pemiliknya masih orang pribumi mbak e jadi harga segitu masih murah loh"
"Untuk lebih jelasnya, Mbak e bicara sendiri sama pemiliknya." Tutur Bambang.
"Oh gitu ya bang! Baik lah coba nanti kita tawar menawar harga, siapa tau bisa miring"
"Mbak e, sebenarnya buat apa to Mbak e repot-repot dagang, punya suami sugeh (kaya) suka keluar negeri kok malah pengen capek." Tanya Bambang menyelidiki.
"Ya kadang orang ingin mencari uang sendiri bukan karena suami tidak mencukupi"
"Dalam hidup tidak yang mamanya kondisi terus stabil"
"Bukan tidak mungkin tiba-tiba krisis seperti usaha suami bangkrut, atau suami mendahului"
"Bagi saya harus mempersiapkan hal yang terburuk"
"Ketika hal itu terjadi, nenangis dan menyalahkan nasip sudah tidak ada gunanya"
"Dengan memiliki penghasilan sendiri, maka goncangan dalam ekonomi keluarga akan lebih bisa untuk di lewati dan tidak lagi pasrah dengan nasib, maka bagi saya harus bisa mengantisipasi nasib." Tutur Rani.
"Weh lha, sampean jempolan Mbak e, pikiranya jauh kedepan otak saya tidak sampai berpikir kesana."
"Makanya, kalau Istri abang ingin mencari penghasilan sendiri jangan dilarang, biarkan dia berkembang."
"Kalau abang melarang sama saja abang memutuskan harapannya."
"Weh lah saya nggak bisa mikir hehehe" Bambang terkekeh, cirikasnya garuk -garuk.
"Abang sudah punya istri atau pacar mungkin?" Tanya Rani basa basi.
"Hehehe...pacar saja belum punya apa lagi istri Mbak e, ndak perlu pancaran kalau sudah cocok langsung lamar"
"Buat apa pacaran! hanya akan menambah dosa, target nikah umur 28 th"
"Sambil mencari calon istri yang mau terima saya apa adanya, tidak memandang harta, atau apapun dan yang penting sholehah."
"Aamiin..semoga bang saya doakan"
Bambang dan Rani saling tukar pengalaman, tidak terasa sampai tempat yang mereka tuju.
"Mbak sudah sampai di kediaman pemilik ruko, ini rukonya mbak." Bambang menunjukkan Ruko, ukuran 3x 10 meter persegi, berlantai dua.
"Tapi kita akan kebelakang mbak, rumah dia posisi di belakang" Bambang mengajak Rani mengunjungi pemilik Ruko.
"Assalamualaikum.."
"Waalaikumsalam"
"Maaf Pak, mbak ini yang saya ceritakan kemarin, ingin melihat Ruko Bapak" Kata Bambang sopan.
"Oh si eneng yang berniat membeli Ruko, walau agak masuk kedalam lokasinya strategis kok neng, lihat! ada tempat parkir, dan biasanya orang mencari makan yang tempat nya berkesan alami, ya seperti ini neng." Tutur pemilik Ruko.
"Tapi mengenai harga bagaimana ya pak?" Tanya Rani.
Ruko ini saja jual 400 juta neng, penting ada uang seratus juta dulu" "Sisanya boleh di cicil, yang penting saya segera bisa operasi jantung kakak saya,"
Rani kasihan melihat bapak setengah baya itu sangat sedih.
"Baik Pak, saya punya uang seratus lima puluh juta, sisanya saya cicil, doakan usaha saya laris ya Pak."
"Aamiin...neng semoga lancar, jangan khawatir Ruko ini sudah sertifikat nanti si eneng tinggal balik Nama." Tutur pemilik Ruko.
"Baik Pak! saya permisi dulu, besok saya kembali dan saya minta nomor rekening."
Setelah urusan selesai Rani minta izin pulang kepada bapak pemilik Ruko. Sampai di depan Ruko Rani mengelus perutnya.
"Mbak e lapar ya?" Tanya Bambang.
"Hehehe...iya, dari Rumah sakit kemarin saya malah belum makan bang" keluh Rani.
"Weh lah wong sugeh, uang ratusan juta kok makan saja di tahan! cek, hayo kita cari makan dulu Mbak e.
lumayan buat nambah penghasilan tambahan 🙏😭😭😭